Epistemisida Terhadap Kebudayaan Papua (1) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Epistemisida Terhadap Kebudayaan Papua (1)

Ben Senang Galus, pengamat masalah Papua, tinggal di Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Pengamat Masalah Papua, tinggal di Yogyakarta

JIKA kita bertanya, bagaimana kondisi kebudayaan Papua saat ini? Jawabannya tunggal: at death’s door. Jati diri kebudayaan Papua yang religius dan humanis serta memiliki peradaban cukup tinggi, ternyata mencatat banyak peristiwa “penyimpangan” dari peradaban asli Papua, oleh hadirnya sejumlah ideologi baru yang mencengkram Papua.

Seperti kita saksikan di layar televisi, di surat kabar, medsos yang menyuguhkan berita-berita, eksploitasi kebudayaan, penghancuran nilai,  pelenyapan otensitas diri, pengaburan makna sumber-sumber budaya, relasi kemanusiaan punah, relasi transenden dan imanen sulit ditemukan. Itu semua karena perubahan dadakan yang menghantam relung budaya Papua yang paling mendalam oleh hadirnya budaya baru secara epistemik.

Dalam kondisi yang demikian “menyimpang” akan memunculkan “kebudayaan baru” yang disebut “quasi culture”, yang berdampak pada jati diri kebudayaan Papua mengalami kerapuhan atau kepunahan.

Epistemisida Kebudayaan

Upaya penghancuran terhadap otensitas kebudayaan Papua adalah sebagai bentuk epistemisida kebudayaan. Ia memberi ruang satu kelompok untuk menentukan kebenaran dan menutup ruang bagi budaya Papua untuk mengekspresikan jati dirinya. 

Istilah epistemisida diperkenalkan oleh sosiolog De Sousa Santos dalam Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (2014) sebagai bentuk pembunuhan terhadap sistem pengetahuan yang tidak sesuai dengan logika dominan. 

Menurut Santos, epistemisida adalah pembunuhan, penghancuran atau penindasan sistem pengetahuan, terutama yang berasal dari luar wilayah dominan, seperti pengetahuan tradisional atau pengetahuan yang dihasilkan oleh masyarakat adat, seringkali sebagai akibat dari kekuatan kolonial atau dominasi budaya. 

Istilah ini juga dapat merujuk pada upaya untuk menghapus atau meremehkan pengetahuan tersebut, sehingga membuka jalan bagi pengetahuan lain, biasanya dari kelompok yang berkuasa, untuk mendominasi.

Epistemisida melibatkan tindakan aktif atau sistematis yang bertujuan untuk menghilangkan atau merusak sistem pengetahuan yang berbeda dari sistem pengetahuan yang dominan. Istilah ini sering dikaitkan dengan periode kolonialisme, di mana kekuatan kolonial sering kali merendahkan atau menghancurkan pengetahuan lokal untuk mempromosikan pengetahuan mereka sendiri. 

Contoh epistemisida adalah penghapusan bahasa lokal, praktik pengobatan tradisional, atau cerita rakyat masyarakat adat oleh penjajah, yang kemudian digantikan oleh bahasa, praktik, dan pengetahuan dari negara penjajah. 

Dampaknya bisa sangat luas, termasuk hilangnya identitas budaya, hilangnya pengetahuan berharga, dan hilangnya sumber daya yang penting bagi masyarakat yang terkena dampak. 

Dalam konteks Papua hari ini, epistemisida muncul dalam bentuk yang lebih halus, tapi tak kalah lebih berbahaya: penghapus ingatan kolektif masyarakat Papua atas peristiwa kelam yang tidak sesuai dengan narasi besar negara, “Selamatkan Papua.”

De Sousa Santos menulis, epistemicide is the foundation of modern colonial domination dan kita menyaksikan domestiknya hari ini, ketika sejarah atau identitas kepapuan tidak dijadikan ruang dialog, meminjam istilah Moh Faiz Maulana (2025), tapi medan tempur ideologis demi melanggengkan satu versi yang menguntungkan mereka yang berkuasa.

Demikian hancurnya kebudayaan Papua akibat epistemisida, setidaknya berbagai sebab kemungkinan berikut ini. Pertama, munculnya kesenjangan atau terputusnya hubungan antar generasi budaya dapat membawa akibat runtuhnya peradaban perkembangan kebudayaan. Oleh karena itu, saat ini maupun ke depan diperkirakan tidak mempunyai akar sejarah dengan peradaban masa lampau yang religius dan humanis.

Kedua, masyarakat Papua saat ini  semakin menipis perasaan kolektif dan telah mengalami disharmoni. Kurang menghargai musyawarah atau konsensus dalam mengelola kehidupan bermasyarakat. Menyelesaikan masalah dengan mengabaikan dialog, ingin menang sendiri. 

Hal demikian tidak sesuai dengan jati diri kebudayaan Papua yang religius dan humanis. “Kekerasan” adalah semacam ideologi baru yang notabene tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan yang secara sah memiliki monopoli atas perangkat kekerasan (organized violence) melainkan telah dilakukan pula oleh masyarakat kebanyakan.

Ketiga, tidak dapat dipungkiri bahwa proses dinamisasi dan peningkatan, kreativitas terjadi pula di kalangan masyarakat. Masyarakat dihadapkan pada tantangan kehidupan sehari-hari yang serba sulit, sulit mencari makan, sulit mengakses pendidikan, sehingga mau tidak mau harus berusaha untuk survive ditambah lagi suatu kemungkinan terjadinya involusi kebudayaan, yaitu kecenderungan sebagian masyarakat semakin eksklusif.

Keempat, dengan perubahan yang begitu cepat dapat menyebabkan timbulnya gejala disorientasi kultural, yakni lapisan dalam kebudayaan Papua “ethico-mythical nucleus” yang merupakan central point of reference telah mengalami kematian, seperti moral, peradaban, etika. 

Dalam  masyarakat luas telah terjadi penyimpang etika dan moral yang serius, mulai dari rumah tangga sampai kantor pemerintah, kecenderungan mudah terjadi tindakan balas dendam. Demikian pula halnya di sekolah sebagai lembaga penanaman ilmu dan pengetahuan telah mengalami anomali.

Dalam arus kuat perubahan saat ini kita dihadapkan dengan beberapa pertanyaan yang substansial, sanggupkah kita merevitalisasi jati diri kebudayaan kita/Papua? Ataukah dibiarkan hancur? Masihkah moral bangsa Papua mempunyai fungsi dan berperan sebagai “benteng” terhadap perubahan yang keliru akibat epistemisida? 

Paradigma Perubahan

Papua tengah mengalami paradigma perubahan dalam rangka membangun Papua baru, di atas komitmen religius dan humanis, keadilan, etika, demokrasi, HAM, setidak-tidaknya itulah yang saat ini kita perjuangkan. Pertanyaannya, akankah paradigma perubahan sekaligus membawa pergeseran nilai budaya pada warga bangsa Papua? Jawabannya dilematis.

Perubahan  tidak berarti ada mall, ada mie,  ada rumah mewah, banyak hotel berbintang, mahasiswa menenteng handphone baru, ada baju dan sepatu baru, jalan diaspal, banyak koruptor ditangkap, banyak kendaraan mewah berseliweran di jalan, semua orang berdasi, berjas. Namun perubahan itu bisa juga diterjemahkan lain yakni seluruh sistem budaya mengalami kematian alias hancur.

Kita boleh membangun mall, hotel mewah, kantor mewah, namun sedikit di antara kita yang merasa prihatin dengan kemiskinan, stunting, kelaparan, literasi, ketidakadilan, penyakit HIV/AIDs, kekerasan dalam rumah tangga, ini sama hal dengan kematian alias epistemisida alias tidak maju. 

Atau lebih berdosa lagi, kita dengan gigih menyusun program anggaran pembangunan demi melegitimasi kebudayaan, tapi mutu kebudayaan tetap merosot, dengan kata lain menyusun program demi melegitimasi kebudayaan, tapi tetap tidak memelihara, sama dengan tidak maju alias epistemisida. (bagian pertama)

Tinggalkan Komentar Anda :