Oleh Abinus Sama
Alumnus Australian National University, tinggal di Jayapura
PEMUNGUTAN Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua segera digelar Agustus mendatang. Masyarakat Papua yang memiliki hak suara, dihadapkan pada pilihan politik penting dan strategis untuk menentukan arah masa depan tanah ini.
Pilihan masyarakat Papua bukan sekadar tentang pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur yang lebih populer atau paslon dengan baliho bertebaran di jalanan. Namun, pilihan warga Papua adalah tentang mana paslon yang benar-benar mengerti Papua dari hati, dari akar, dan dari luka-luka sejarahnya.
Sebagai warga negara yang memiliki hak pilih, penulis tentu tidak bisa memilih kedua pasangan calon gubernur secara bersamaan. Dengan segala hormat kepada kedua pasangan calon gubernur, penulis harus menentukan pilihan kepada satu calon saja sesuai aturan di negara ini.
Ada kerinduan menentukan pilihan pada figur calon Gubernur Dr Drs Benhur Tomi Mano, SE alias BTM dan Drh Constant Karma alias CK (BTM-CK) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua periode 2025-2030. Dukungan dan arah pilihan paslon ini lahir dari pertimbangan mendalam, rasional, dan historis. Pilihan bukan alasan emosional sesaat.
Berpengalaman
Mengapa memilih BTM-CK memimpin Papua periode 2025-2030, ada sejumlah alasan. Namun, paling kurang ada enam yang bisa dikemukakan di sini. Pertama, BTM adalah politisi sipil berpengalaman, bukan dari latar belakang aparat keamanan.
Kepemimpinan dalam konteks Papua lima tahun ke depan membutuhkan sensitivitas sosial, budaya, dan kemanusiaan yang tinggi. Hemat penulis pemimpin dari kalangan sipil seperti BTM justru lebih dekat dengan realitas keseharian hidup masyarakat Papua. Selama ini, pendekatan keamanan (security approach) mengurus Papua kerap tidak menyentuh akar persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
Malah, sebaliknya. Kerap menciptakan luka baru. Pemimpin dari latar belakang aparat, cenderung membawa pendekatan struktural berbasis komando dan kekuatan, bukan pelayanan dan komunikasi dua arah yang produktif. Hubungan emosional dan loyalitas terhadap institusi lama juga mengaburkan keberpihakan mereka terhadap aspirasi sipil.
Sepintas, sosok calon gubernur paslon nomor urut 1 telah dibuktikan BTM sebagai Walikota selama dua periode memimpin Kota Jayapura. BTM diketahui rakyat Kota Jayapura mampu memimpin dengan menggunakan pola kepemimpinan yang mengutamakan pendekatan partisipatif, bukan tekanan (pressure).
Sebagai Walikota Jayapura, BTM hadir di tengah lalu berbaur dengan rakyat, bukan melirik dari balik pagar kekuasaannya. Ia mendengarkan rakyat, bukan memberi perintah atau instruksi. Meski kerap tak abai atau bebas kritik atas kepemimpinannya selama menjadi walikota. Hal yang tentu sungguh disadari BTM bahwa siapapun pemimpin pasti tak sempurna.
Apalagi daerah seperti Papua dengan tensi politik tinggi dan cenderung menjadi sentra perhatian pemerintah pusat dalam banyak hal. Karena itu, melimpahkan kualitas kemajuan Kota Jayapura hanya kepada seorang BTM atau melancarkan kritik kepadanya, tentu merupakan sesuatu yang tidak adil dan jujur.
Kedua, konsistensi iman BTM menjadi cerminan integritas dan komitmen. BTM adalah tokoh yang konsisten dalam iman dan identitasnya sebagai orang Kristen. Ini bukan soal sektarianisme, tetapi tentang prinsip dan integritas pribadi. Di Papua, keimanan bukan sekadar soal spiritualitas, tetapi bagian tak terpisahkan dari identitas sosial dan politik.
Ketika seseorang mampu mempertahankan imannya di tengah tekanan politik dan godaan kekuasaan di Indonesia, itu menunjukkan bahwa ia memiliki nilai-nilai yang kokoh. Karena jika keyakinan (agama) saja bisa digadaikan, maka jangan harap rakyat akan dijaga hak-haknya secara konsisten.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin teguh pada hal mendasar seperti iman, maka kita bisa percaya bahwa ia juga akan teguh dalam membela rakyat.
Dalam sejarah Papua, kita telah menyaksikan banyak pemimpin yang ‘berubah warna’ ketika sudah berada di dalam lingkar kekuasaan. Konsistensi BTM dalam iman dan nilai-nilai kepapuaan adalah fondasi kuat untuk sebuah pemerintahan yang jujur dan tahan uji.
Ketiga, BTM adalah putra asli Mamta, wilayah ada yang menjadi ibukota Provinsi Papua. Konteks wilayah adat tidak bisa diabaikan dalam struktur politik di tanah Papua. Pembagian wilayah adat di tanah Papua bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga mekanisme sosial-politik untuk menjaga keseimbangan dan representasi.
Saat ini Papua mencakup wilayah adat Tabi dan Saireri. Maka, sudah selayaknya kepala daerah yang memimpin provinsi ini berasal dari wilayah adat ini. Analogi sederhananya, jika Papua adalah rumah adat besar, maka setiap wilayah adat harus mendapat gilirannya untuk menjadi “kepala suku” sesuai domisilinya.
BTM bukan hanya berasal dari wilayah ini, tetapi juga tumbuh, hidup, dan mengabdi di dalamnya. BTM paham bahasa adat, tradisi lokal, roh leluhur dekat dengannya, dan mengerti dinamika sosial masyarakat setempat. Ini penting agar kebijakan-kebijakan yang diambil tidak bertabrakan dengan nilai-nilai kultural lokal.
Tentu saja, saudara-saudara tanah Papua lainnya dari wilayah adat La Pago, Mee Pago, Anim Ha, Doberai, dan Bomberai juga berhak memimpin sebagai gubernur dan wakil gubernur, tetapi pada ruang wilayah otonomi mereka sendiri. Dalam konteks Papua induk (Mamta-Saireri), representasi dari wilayah ini adalah manifestasi dari keadilan kultural.
Keempat, OAP Kristen harus menjaga ruang kepemimpinan di wilayah sendiri. Dalam sistem demokrasi nasional (Indonesia), orang asli Papua yang beragama Kristen tidak memiliki peluang realistis untuk menjadi kepala daerah di luar Papua.
Hal ini bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem demokrasi mayoritas cenderung menutup ruang bagi kelompok minoritas, baik secara jumlah maupun identitas agama.
Papua adalah satu-satunya ruang politik di mana OAP Kristen masih bisa memimpin. Maka, mempertahankan kepemimpinan ini bukan tindakan diskriminatif, tetapi bentuk afirmasi terhadap hak-hak minoritas dalam sistem yang didominasi kelompok mayoritas.
Di Indonesia, sejak kemerdekaan, presiden selalu berasal dari kelompok mayoritas, baik dari sisi agama maupun suku, dan itu diterima sebagai “kenyataan politik.”
Mengapa prinsip itu tidak boleh diterapkan di Papua? Ketika kelompok mayoritas nasional mempertahankan kekuasaan mereka, itu disebut stabilitas. Tetapi ketika kelompok minoritas seperti OAP ingin mempertahankan ruang kepemimpinan di wilayahnya sendiri, itu disebut diskriminasi? Ini standar ganda yang tidak adil.
Kelima, sedikit dukungan partai, tapi banyak dukungan rakyat menandakan demokrasi sehat. BTM tidak didukung oleh mayoritas partai politik besar nasional.
Banyak yang mungkin melihat ini sebagai kekurangan, tapi hemat penulis justru di situlah letak keistimewaannya BTM. Ini menandakan bahwa BTM bukan bagian dari “kartel politik” yang kini mulai merasuki demokrasi kita di Indonesia.
Mari kita kritisi fenomena ini: ketika hampir semua partai mendukung satu pasangan calon, di mana posisi rakyat? Di mana keberagaman pilihan? Bukankah demokrasi seharusnya memberi ruang bagi banyak pilihan? Partai politik di Indonesia sebagian besar dimiliki oleh elite di Jakarta (partai keluarga).
Mereka mengelola partai layaknya bisnis keluarga. Ketika semua partai kompak mendukung satu calon, ada kemungkinan besar bahwa Papua hanya dijadikan ladang bisnis politik dan ekonomi oleh elite-elite tersebut. Mereka tidak datang untuk melayani rakyat, tapi untuk menanam investasi kekuasaan.
Sebaliknya, dukungan kecil dari partai terhadap BTM justru menunjukkan bahwa mereka tidak tunduk pada kepentingan elit pusat. Mereka hadir sebagai calon rakyat, bukan boneka partai.
Meskipun partai yang mendukung BTM juga milik keluarga di Jakarta, namun perbandingan pengaruhnya tergolong sedikit meskipun ada dibandingkan kongsi besar.
Keenam, Papua butuh pemimpin sipil untuk merajut perdamaian dan rekonsiliasi. Papua adalah wilayah dengan sejarah panjang kekerasan, konflik, dan ketidakpercayaan antara negara dan rakyat.
Oleh karena itu, jabatan strategis seperti gubernur, wakil gubernur, bupati, dan walikota harus diisi oleh tokoh sipil yang mampu membangun dialog dan rekonsiliasi.
Kita harus jujur mengakui bahwa trauma masyarakat terhadap aparat keamanan masih sangat kuat. Kehadiran pemimpin dengan latar belakang militer atau kepolisian, meskipun sudah purna tugas akan terus menghidupkan bayang-bayang kekuasaan koersif. Ini tidak sehat dalam konteks pembangunan perdamaian.
BTM-CK sebagai tokoh sipil membawa harapan akan adanya pemerintahan yang lebih partisipatif, transparan, dan dekat dengan sipil. Keduanya bisa menjadi jembatan antara pemerintah pusat dan rakyat, bukan tembok kekuasaan yang membatasi.
Mendukung BTM-CK bukan karena keduanya bersih tanpa cela, tetapi karena penulis yakin mereka berdua lebih mendekati harapan rakyat Papua saat ini. Keduanya adalah pemimpin yang lahir dari rakyat, tumbuh bersama rakyat, dan bersedia berjalan bersama rakyat dalam suka maupun duka.
Papua bukan daerah biasa. Papua adalah tanah dengan sejarah kompleks, budaya kaya, dan trauma mendalam. Maka, memilih pemimpin bukan sekadar memilih orang yang bisa bekerja, tetapi orang yang bisa mengerti. BTM-CK adalah pilihan rakyat Papua.
BTM-CK mungkin bukan pilihan semua orang, tapi dalam demokrasi, setiap suara punya hak untuk didengar. Kalau bisa memilih keduanya sekalian maka penulis akan pilih dorang dua, tapi karena harus memilih satu, maka pilihan realistis adalah BTM-CK.