Dialog Di Balik Penolakan DOB di Tanah Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Dialog Di Balik Penolakan DOB di Tanah Papua

Methodius Kossay, kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti

DI TENGAH berbagai aksi massa penolakan daerah otonom baru (DOB) di tanah Papua, masyarakat Papua disegarkan dengan langkah pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog Papua. Ketua Komisis Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik mengaku pihaknya telah menginisiasi dialog damai antara pemerintah Joko Widodo dan Orang Asli Papua (OAP), termasuk dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Taufan mengklaim Presiden Jokowi, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Prof Dr Mahfud MD hingga TNI-Polri telah menyetujui untuk melakukan dialog damai tersebut. Pemerintah dalam waktu dekat akan ke Papua untuk mempersiapkan dialog damai tersebut. Rencana kunjungannya tersebut terjadi di tengah-tengah corak maruk aksi penolakan DOB di tanah Papua.

“Kita akan melakukan dan minggu depan kita akan berangkat, inisiasinya, kan prosesnya panjang. Aceh juga dulu kan prosesnya lama, butuh menemui ke mana-mana. Meskipun ini lembaga negara, istilahnya Indonesia, mereka masih sangat menghormati. Tim kita di sana sering bertemu dan saling kontak. Dan mereka bersedia, kalau difasilitasi Komnas HAM, mereka katakan bersedia. Paling pokok ya mereka (kubu pro-kemerdekaan). Tapi kan ada juga yang lain, misalnya tokoh adat yang tidak bicara merdeka atau tidak merdeka tapi bicara perlindungan hak ulayat mereka, tokoh gereja lain lagi misalnya, tapi tokoh OPM adalah yang paling pokok,” kata Ahmad Taufan Damanik (cnnindonesia.com, Rabu, 3/9 2022)

Aneka pertanyaan berkelebat. Mengapa isu dialog damai ini dimunculkan di tengah-tengah aksi penolakan DOB di tanah Papua? Pertanyaan lebih lanjut: mengapa dialog terkesan sebegitu urgen dimunculkan kembali sedangkan masalah dialog sudah sering disuarakan masyarakat dan berbagai elemen jauh sebelumnya, baik di tanah Papua maupun Jakarta.

Konsep Dialog Papua

Wacana pemerintah membuka ruang dialog damai ini merupakan harapanan masyakakat Papua. Semua masyarakat menginginkan adanya dialog damai untuk mengakhiri konflik bersenjata dan kekerasan di tanah Papua. Akibat tidak adanya titik temu selama ini, banyak nyawa orang asli Papua dan aparat keamanan melayang sia-sia.

Bahkan setiap berganti hari dan bulan, setiap anak manusia yang tinggal dan mengabdi di Bumi Cenderawasih berada dalam bayang-bayang maut yang siap memangsa menyusul konflik dan kekerasan yang datang ibarat maling yang menyatromi rumah sendiri saban waktu.

Saban bulan hingga tahun nyawa orang asli Papua dan sesama anak bangsa yang mengabdi di tanah Papua seolah jadi taruhan para bandar judi kelas kakap. Mereka jadi korban dalam berbagai aksi kontak senjata berbagai kelompok kekerasan yang dilabeli semisal kelompok kriminal besernjata (KKB) atau kelompok teroris bahkan nyawa aparat keamanan dari TNI-Polri.

Saat ini, ada harapan besar di depan mata. Isi konsep dialog dan formula seperti apa yang akan digunakan dalam dialog damai tersebut. Hemat penulis, pemerintah Indonesia dan pemerintah Papua serta masyarakat tanah Melanesia itu perlu mempertimbangkan konsep dialog yang pernah diusulkan imam diosesan Keuskupan Jayapura Pastor Dr Neles Kebadabi Tebai, Pr (Alm) dari Jaringan Damai Papua (JDP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dimotori Dr Muridan S. Widojo (Alm) dan kawan-kawannya.

Mengapa hal itu penting? Dalam pandangan penulis konsep dialog yang diusulkan tersebut berdasarkan dari hasil kajian yang kompherensif. Walaupun pemerintah tentu memiliki konsep dan formula dialog mirip bahkan berbeda dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dan membelit masyarakat tanah Papua selama pelaksanaan otonomi khusus bahkan jauh sebelumnya, sejak integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Jika meminjam pandangan Pastor Neles Tebai Pr, putra asli Papua dari wilayah adat Meepago (Kabupaten Dogiyai) selaku penggagas dialog Jakarta-Papua, hemat saya konsepnya sederhana. Dialog diandaikan seperti petani membuka kebun baru. Sebelum membuka kebun, lahan harus dibersihkan terlebih dahulu. Apa yang kemudian ditanam dalam kebun itu, menjadi pilihan pembuka lahan. Dialog damai berpeluang menjawab kegelisahan hati sekaligus kerinduan masyarakat Papua yang selama ini terpendam dalam bilik hati mereka.

Dialog damai juga menjadi salah satu tawaran solusi mutualistik (win win solution) yang dipercaya efektif atau ampuh untuk meredam aneka konflik dan kekerasan di tanah Papua. Dialog berupaya memadamkan potensi konflik dan kekerasan sekaligus membantu memadamkan tanah Papua yang kerap tak jauh ibarat bara dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa menyulut apa lebih besar lalu membakar bahlkan membumihanguskan penghuniya.

Inventarisir akar masalah

Dalam menyelesaikan konflik Papua melalui dialog damai, dua belah pihak baik Jakarta maupun Papua harus menginventarisir terlebih dahulu lalu memetakan akar masalah di tanah Papua. Dengan begitu, dialog damai tersebut dapat menyelesaikan masalah secara tuntas dan bermartabat. Ada sejumlah akar masalah di tanah Papua yang patut untuk diselesaikan dalam dialog damai.

Dalam Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future karya Muridan S Widjojo, dkk, (2009), sumber konflik mencakup empat isu strategis. Pertama, sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua. Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ketiga, gagalnya pembangunan di Papua. Keempat, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus serta marginalisasi orang Papua. Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua.

Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. Kemudian, peneliti politik dan HAM Papua dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(Elsam) Amiruddin al Rahab dalam bukunya, Heboh Papua (2010) melukiskan, ada ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa dialami rakyat Papua selama ini. Ketakutan dan kekhawatiran itu terbentuk dalam struktur kekerasan yang terjadi.

Penyelesaian akar masalah di Papua melalui dialog damai, harus melibatkan seluruh komponen masyarakat Papua khususnya orang asli Papua. Keterlibatan orang asli Papua dalam dialog damai Papua tidak bisa ditawar lagi dan merupakan suatu keharusan. Partisipasi aktif dari masyarakat Papua dalam mengawal dialog damai ini akan menjadi landasan ketuntasan dalam menyelesaikan akar persoalan Papua.

Partisipasi aktif masyarakat Papua ini melibatkan orang asli Papua dan warga Papua yang tinggal di Bumi Cenderawasih. Maka diperlukan sosialisasi yang intens pemerintah kepada seluruh lapisan masyarakat di tanah Papua. Dengan demikian, masalah Papua ini diselesaikan secara tuntas, menyeluruh, dan bermartabat dengan sikap saling menghormati dan menghargai.

Tinggalkan Komentar Anda :