PSU dan Cermin Retak Kedaulatan Rakyat Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

PSU dan Cermin Retak Kedaulatan Rakyat Papua

Frans Maniagasi, pengamat politik lokal Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Frans Maniagasi

Pengamat politik lokal Papua

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang mendiskualifikasi calon Wakil Gubernur (Cawagub) Yermias Bisai (YB) yang berpasangan dengan calon Gubernur (Cagub) Benhur Tomi Mano (BTM) pada 24 Februari 2025, bagaikan cermin retak yang telah membuayarkan harapan masyarakat di provinsi ini untuk segera memiliki gubernur dan wagub baru periode 2025-2030.

Selain mendiskualifikasi cawagub YB karena dianggap tidak jujur dalam memberikan keterangan tentang domisili, juga  memerintahkan KPU Provinsi Papua untuk melaksanakan Pemilihan Suara Ulang (PSU) di seluruh wilayah Provinsi Papua (induk) pada Agustus 2025. 

Perlu diketahui dalam pemilihan kepala daerah (2024) di Provinsi Papua ada dua pasangan calon selain BTM–YB juga Matius D Fakhiri (MDF) dan Aryoko Rumaropen (Mariyo).  

Putusan MK adalah benturan keras yang disertai guncangan terhadap anggaran daerah yang akan dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan PSU sebesar Rp 170 miliar. Seperti pernyataan Ketua KPU Papua Steve Dumbon, seusai rapat dengan penjabat gubernur di Jayapura (Cepos, 28/2/2025).

Artinya, putusan MK secara prinsipal telah mencederai kedaulatan rakyat Papua yang mengabaikan hak politik yang mestinya sama dan sebangun dengan nurani sosial seluruh rakyat di provinsi ini. 

Ketika putusan hukum diembel-embeli dengan politik kekuasaan yang dibalut ambisi kekuasaan, maka ibarat cermin retak lalu mereduksi bobot kedaulatan rakyat akibat kesalahan administrasi keterangan domisili dan menjatuhkan vonis PSU meliputi lokus seluruh wilayah provinsi Papua yang menelan dana hingga seratus tujuh puluh milyar rupiah. 

Respon penulis bahwa ada pembenaran oleh putusan MK yang menjatuhkan sanksi terhadap calon yang tidak jujur dalam persyaratan administrasi sebagai hal urgen. 

Apalagi dalam Sidang MK untuk konfirmasi (17/2/25), mendengar kesaksian dari cawagub YB dan orangnya yang ditugaskan mengurusi kelengkapan administrasi terjadinya ketidak-sinkronan dalam memberikan keterangan di hadapan yang mulia hakim MK Prof Dr Saldi Isra. 

Prof Saldi Isra yang patuh dan tegak lurus pada aturan dan berpegang fakta persidangan, maka dalam benak saya akan ada turbulensi yang serius dan menurut dugaan akan  muncul skenario paling buruk berupa  diskualifikasi YB sebagai cawagub telah terbukti.

Tapi penulis tidak membayangkan sebelumnya MK akan memutuskan PSU di seluruh Provinsi Papua. Paling banter di beberapa lokus saja. Katakan di Jayapura selatan (kota Jayapura) kasat mata kasus “suara siluman” yang tak sinkron dengan DPT dan perolehan suara calon Walikota dan calon Wakil Wali Kota Jayapura. Karena KPU Kota Jayapura tak dapat memberikan argumentasi atas dan penjelasan yang shahih terhadap  suara siluman tersebut. 

Situasi ini menuntut kita untuk berpikir jernih dan berpulang kepada nurani. Politik yang telah ontologis karena dominannya ambisi materialisme sebagai produk dari oligarki kekuasaan dan kapitalisme. Sehingga mengabaikan prinsip kebaikan dalam pengambilan putusan MK untuk melakukan pemilihan suara ulang di seantero Provinsi Papua. 

Pemilu bukan semata prosedur menemukan dan memilih kepada daerah dan wakil kepala daerah melainkan proses konversif, di mana rakyat menyerahkan seluruh keyakinan, harapan moralitas dan masa depan dirinya kepada kandidat yang akan terpilih. 

Dalam dialektika demokrasi putusan MK untuk pemilihan suara ulang telah meniadakan puncak tertinggi dialektika tesis – antithesis – sintesis. Mestinya MK menekankan pentingnya mengupayakan kesimbangan antara kesadaran dan kelalaian masalah teknis administrasi calon, pengetahuan dan kebenaran obyektif pada dirinya. 

Tentu tak mudah karena adanya benturan antara persoalan teknis administrasi calon dan pengetahuan serta realitas obyektif rakyat Papua yang telah berpengharapan melalui pemberian mandat (kedaulatan) lewat pemilihan kepala daerah. 

Jika kita mengikuti denyut jantung dan nuansa kebatinan sosial masyarakat Papua keniscayaan ini yang mesti dijadikan pertimbangan rasionalitas MK tatkala memutuskan diselenggarakannya PSU. Karena menurut pendapat saya dalam tataran seperti itu maka Pemilu hanya dipersepsikan sebagai suatu “sirkus demokrasi” dengan mengesampingkan substansi kedaulatan rakyat. 

Implikasinya pertimbangan teknis syarat administrasi telah melecehkan bahkan mengekangi dialektika demokrasi rakyat di Papua. MK telah memberikan legitimasi kepada ambisi kekuasaan dan oligarki kapitalisme dengan caranya yang machiavelli dengan meniadakan diskualifikasi “suara siluman” (Jayapura selatan) yang dengan terang benderang terjadi “perselingkuhan politik” terhadap substansi Pilkada Papua.

Dengan bahasa yang sederhana hendak dikatakan bahwa rakyat Papua menghormati dan menghargai putusan MK di satu pihak tapi di lain pihak di balik itu MK telah melecehkan dan menodai “kedaulatan” rakyat di provinsi ini. 

Rakyat menghargai putusan MK tapi putusan itu telah menihilkan kedaulatannya dan deliberasi publik dengan memerintahkan PSU yang berimplikasi terhadap terkurasnya dana pembangunan senilai RP 170 miliar. 

Terlalu mahal gadaian MK dengan mendasarkan pada putusan diskualifikasi calon karena tidak memenuhi syarat administrasi. Bukankah secara teknis administrasi  kependudukan (KTP online) individu hari ini bertempat tinggal di wilayah manapun di republik ini dapat diakses, mengapa hal ini tidak menjadi pertimbangan MK sekalipun.

Sejatinya “suara rakyat adalah suara Tuhan” mengekangi suara rakyat artinya pula telah mengekangi suara Tuhan. Rakyat selalu bersih dan murni dalam berdemokrasi namun kesucian dan kemurnian itu telah dinodai oleh putusan yang hanya mendasari syarat teknis administrasi dan memerintahkan pemungutan suara ulang menampakkan cermin retak kedaulatan rakyat.

Tinggalkan Komentar Anda :