Oleh Ben Senang Galus
Penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan Papua, tinggal di Yogyakarta
SETIAP kebudayaan atau entitas suku bangsa di dunia memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai otensitas bangsa tersebut. Otensitas kebudayaan tersebut menandai jati diri dan kedaulatan bangsanya. Demikian juga halnya bangsa Papua, memiliki otensitas kebudayaan yang diyakini sebagai jati diri orang Papua.
Kebudayaan Papua terpromulgasi secara aseli dalam diri pribadi manusia Papua. Kemanapun mereka pergi sangat jelas promulgasi otensitas jati diri bangsanya akan selalu nampak. Ini merupakan suatu pertanda baik, bagaimana orang Papua selalu mengenakan identitas kulturalnya, agar tidak terjadi semacam loss generation culture.
Tulisan ini mencoba mendiskusikan dalam wacana publik agar manusia Papua tidak terjebak dalam arus kuat hegemoni kebudayaan asing. Agar segala pandangan hidupnya memiliki karakteristik budaya yang khas, sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
Pada garis besarnya pandangan hidup manusia Papua dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu pandangan lahir dan pandangan batin. Pandangan lahir terkait dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk individu dan sosial, sedangkan pandangan batin berkaitan dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk individu.
Dalam hal ini pandangan memiliki kaidah-kaidah yang diidentifikasikan berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakatnya. Sebaliknya, pandangan batin terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat supranatural akan tetapi menduduki tempat yang penting dalam sistem budaya.
Terdapat sistem yang menuntut untuk meminimalisasi berbagai kepentingan yang bersifat individu, hal tersebut didasarkan pada semangat komunal akan tetapi secara individu, seseorang dituntut untuk memiliki kepercayaan yang kuat serta tekad dalam memperjuangkan hidup (jujur dan adil).
Ungkapan di atas merupakan kristalisasi falsafah hidup bangsa Papua atau bahan untuk membaca semangat hidup agar mampu menempatkan diri sebagai individu guna menjaga keberadaan kehidupan manusia Papua sebagai sebuah otensitas kebudayaan penuh dan murni.
Secara sosial, orang memiliki orientasi utama yaitu dengan menciptakan sikap yang mulia terhadap orang lain. Untuk menciptakan hal tersebut banyak orang yang menghindari sikap sombong atau angkuh, sikap tidak tahu diri, serta menciptakan hubungan sosial yang harmoni. Dalam hal ini melibatkan norma sosial seperti rukun, tenggang rasa, jujur, rendah hati, dan sebagainya.
Sebenarnya tujuan serta pandangan orang itu sama, yaitu untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin bagi anggotanya kebudayaannya. Kebahagiaan tersebut diwujudkan sebagai hidup sejahtera, cukup makan, tempat tinggal aman dan tenteram.
Hubungan masyarakat adalah pengejawantahan yang lebih lanjut dari manusia di dalam keluarga. Sedangkan hubungan di keluarganya adalah pengejawantahan dari hubungan manusia sebagai pribadi dan orang lain.
Suatu sintesis nilai-nilai, cara berpikir, cara hidup, dan cara bertindak asli manusia Papua merupakan warisan para leluhur yang secara terus menerus menjiwai seluruh kepribadian manusia Papua dan seluruh bangsanya akan tetap mewarnai manusia Papua sampai kepada taraf yang lebih tinggi.
Kesatuan kosmos
Bangsa Papua dewasa ini tengah membangun dan akan terus membangun serta berusaha menyamakan tingkat perkembangannya dengan bangsa maju lainnya di dunia ini. Bangsa Papua kini berada di tengah arus perkembangan yang sangat pesat dalam segala aspek kehidupan.
Walaupun di tengah arus perkembangan yang sangat pesat toh hampir di seluruh pelosok tanah Papua baik mereka yang berada di pedesaan, pegunungan, lembah, ngarai maupun yang berada di kota-kota besar masih terlihat dengan jelas bahwa banyak masyarakat Papua, meminjam terminologi Stephanus Ozias Fernandez, 1990:106), masih sangat kuat berpegang pada adat kebiasaan serta mentalitas para leluhur mereka.
Bagi kebanyakan orang Papua; tujuan hidup adalah kesatuan dengan seluruh kosmos yang dilihatnya sebagai subjek yang secara analog mempunyai kepribadian seperti dirinya, mempunyai daya dan kekuatan dan yang tidak boleh ditaklukkan demi kepentingan manusia. Seluruh kosmos Papua perlu diiaga dan dilindungi sedemikian rupa sehingga terjamin adanya kesatuan dan keharmonisan dengan manusia dengan alam semesta.
Yang mempengaruhi manusia Papua berpikir dan bertindak sosial, konkret, total, intuitif, emosional, mitis-magis serta simbolis adalah kenyataan bahwa manusia Papua hidup dalam suatu lingkungan alam yang di satu pihak menyiapkan segala kebutuhan seperti udara, air, hutan, terang, makanan, pakaian dan lain-lain.
Demi mempertahankan kelanjutan hidupnya dan di pihak lain alam menimbulkan kesukaran-kesukaran yang sangat membahayakan kelangsungan hidup manusia seperti bencana, penyakit, kelaparan dan kematian, penebangan hutan secara liar oleh para kapitalis, pengerukkan isi perut bumi yang merusak relasi transenden dan imanen orang Papua, dan terutama kebudayaannya.
Dalam menghadapi kesukaran-kesukaran tersebut manusia Papua sering tidak mampu mengatasinya. Akibat lanjut dari ketidakmampuan manusia Papua untuk mengatasi kesukaran-kesukaran tersebut manusia sering mengalami perasaan tertekan dan frustrasi. Relasi dengan alam semesta terputus habis.
Manusia Papua malah berpikir bahwa alam mempunyai daya dan kekuatan untuk menguasai manusia. Dengan demikian bila manusia tidak berhasil mengatasi daya dan kekuatan alam maka ia melarikan diri dan berlindung pada alam.
Manusia baru menemukan arti hidup di dunia ini bila ia mencari perlindungan pada alam. Hidup manusia terjalin lebih berarti bila terjalin korelasi yang harmonis antara keduanya, karena alam merupakan tempat berdiam para leluhur yang Tertinggi (Stephanus Ozias Fernandez, 1990:107).
Berpikir merupakan suatu perbuatan mental untuk menertibkan gejala-gejala dan pengalaman-pengalaman sehingga menjadi logis, jelas dan dapat dimengerti. Bagi manusia Papua, cara berpikir nampak dalam cara menertibkan dan menafsirkan gejala-gejala alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Berpikir merupakan suatu gejala sosial. Dengan kata lain, meminjam Mulder 1973:58), pengalaman dan rencana hidup manusia dihubungkan oleh pikiran dan interpretasi terhadap gejala-gejala alam yang terjadi. (Bagian pertama)