Catatan Antropologis Alam Pikiran Manusia Papua (4) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Catatan Antropologis Alam Pikiran Manusia Papua (4)

Ben Senang Galus, penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan Papua, tinggal di Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan Papua, tinggal di Yogyakarta

BATIN manusia pada hakikatnya bersifat halus. Sedangkan lahir itu kasar. Semakin unggul keadaan batin seseorang, semakin ia halus. Menurut Geertz, halus berarti murni, berbudi halus, halus tingkah lakunya, sopan, indah sekali, lembut, halus, beradab, ramah. Sebaliknya, kasar berarti tidak sopan, tidak tahu aturan, tak beradab, ungkapan-ungkapan perasan hati yang spontan, dan lain-lain. 

Segala manifestasi sifat-sifat kasar menunjukkan tingkat kesadaran diri yang masih dikendalikan oleh nafsu lahiriah; terikat dalam dunia lahir, kurang kontrol diri, dan tidak selaras. Sifat pamrih, yaitu sikap mengejar kepuasan dan kepentingan pribadi, hidup demi diri sendiri (keluarganya sendiri), dan mencari kekayaan serta kenikmatan pribadi, juga merupakan salah satu segi dari sifat kasar. Contoh nyata seperti orang melakukan korupsi. Korupsi adalah bentuk perlawanan dari dasar rohaniah.

Transubstansiasi

Lalu orang  juga percaya bahwa pada dasarnya manusia memiliki hakikat ilahi. Hakikat ilahi manusia terletak dalam batinnya. Tentunya kita ingat bahwa bagi orang, alam adikodrati -yang berada dibalik apa yang nampak merupakan realitas yang sesungguhnya. Sama halnya dengan pemahaman itu, batin (jiwa-sukma) manusia merupakan realitas yang sesungguhnya, di mana ia merupakan bagian dari realitas tertinggi (Tuhan). Jiwa merupakan ungkapan dari transubstansiasi diri Tuhan.

Sayangnya, tidak semua orang dapat menyadari kenyataan ini. Banyak yang menganggap bahwa alam lahirlah kenyataan yang sesungguhnya dan satu-satunya sehingga pikiran mereka hanya dipenuhi dengan nafsu-nafsu lahiriah belaka. Agar manusia dapat melihat dirinya yang sesungguhnya, seseorang harus menembus masuk ke dalam batinnya sendiri. 

Apabila ia telah berhasil mencapai batinnya maka ia tidak saja akan menjumpai dan mengenali identitas asalinya, melainkan sekaligus menemukan dan menyatu dengan realitas Yang Ilahi –realitas yang sesungguhnya. Atau sebagaimana dikatakan Magnis-Suseno, lebih tepat dapat dikatakan bahwa ia merealisasikan kenyataannya sendiri yang sebenarnya sebagai yang Ilahi. 

Keberhasilan menembus batin ini biasa dikenal dengan sebutan ‘kesatuan hamba dengan Tuhan.’Melalui kesatuan tersebut orang  percaya bahwa manusia telah mencapai kesempurnaan hidup (hidup kekal), yang berarti ‘pengetahuan tentang asal dan tujuan segala apa yang diciptakan’.

Adapun jalan yang harus ditempuh seseorang untuk dapat menembus batinnya sendiri lazimnya berupa melakukan serangkaian disiplin diri yang ketat seperti konsentrasi memusatkan pikiran, mengurangi makan-tidur, dan berpantang seksual. Dalam melakukan ini ia harus menyepi ke tempat-tempat yang cocok dalam waktu yang cukup lama. Tempat-tempat itu semisal puncak gunung, gua, mata air, sungai, dan tempat-tempat lain yang dianggap memancarkan energi-energi kosmis yang besar.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ide tentang manusia yang mencapai kesatuan dengan wujud tertinggi merupakan cita-cita ideal bagi setiap orang. Figur manusia yang halus, sopan, tahu aturan, sabar, serta memiliki sifat-sifat seorang ksatria semisal ikhlas, mengekang rasa (nafsu), tidak membalas penghinaan, berbelas kasih terhadap orang kecil adalah beberapa sifat yang akan nampak apabila seseorang telah mencapai kesatuan dengan Tuhan (hidup kekal). Inilah yang disebut manusia Papua.

Selain dari itu, yang tidak bisa dilupakan dalam konteks ini adalah bahwa orang yang telah menembus batinnya sendiri dan menyatu dengan realitas yang Ilahi, akan memiliki kesaktian sebagai konsekuensinya. 

Ketika seseorang menjalani pertapaan (kontemplasi), ia mengurangi atau menghentikan siklus biologis tubuhnya; seperti makan, minum, tidur dan berhubungan seks. Siklus-siklus biologis tersebut hanya merupakan keinginan atau tuntutan segi lahiriah dari diri manusia. Karena manusia cenderung untuk selalu memenuhi tuntutan-tuntuan tubuh jasmaninya tersebut maka manusia menjadi dikuasai oleh segi lahiriahnya. 

Akibat dari itu, hakikat manusia yang sesungguhnya yaitu segi batinnya -tidak mampu lagi menguasai dan mengendalikan dirinya. Batinnya dibiarkan mati, karena manusia lebih senang menjadikan keinginan-keinginan lahirnya sebagai ‘tuan atas dirinya’. Meminjam kata-kata Plato, ‘tubuh kita adalah makan jiwa’.

Apabila seseorang mendambakan untuk mengenali dirinya yang sesungguhnya (hakikat manusianya), ia harus mampu untuk menahan atau mematikan segala tuntutan-tuntutan lahiriahnya. Segera setelah manusia mampu melakukan ini, segala keinginan tubuhnya (lahirnya) tidak mampu lagi berkuasa atas dirinya sehingga hakikat dirinya yang asali itulah (batin atau sukma) yang kemudian mengendalikan hidupnya. 

Karena batin atau sukma manusia merupakan ungkapan dari yang Ilahi, maka manusia dalam puncak proses ini tak lain adalah yang Ilahi itu sendiri sehingga dengan demikian ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan segala energi kosmis yang dahulu berada di luar kendalinya. 

Ibarat bendungan yang menahan air sungai dari segala penjuru untuk kemudian disalurkan sedikit demi sedikit ke persawahan, demikianlah seseorang yang telah menyatu dengan realitas ‘yang Ilahi’, dapat mewadahi dan mengendalikan kekuatan-kekuatan kosmis. 

Atau ibarat lensa pembesar yang memusatkan cahaya matahari ke bawahnya sehingga muncul panas api, demikianlah seseorang memusatkan kekuatan-kekuatan kosmis sehingga mampu menghasilkan daya yang luar biasa besarnya.

Dari gambaran tersebut, kita dapat memahami mengapa orang gemar mencari ilmu kesaktian (kesucian diri). Selain karena pertama, hal itu merupakan cita-cita ideal manusia, yaitu seorang manusia yang berbudi luhur, manusia dalam arti yang sesungguhnya. 

Seorang manusia yang tahu siapa dirinya, dari mana ia berasal dan kemana tujuan; yang kedua, segi konsekuensi dari pencapaian kondisi tersebut, yaitu kesaktian diri, juga diharapkan dapat membantu kepentingan-kepentingan pragmatis sehari-hari masyarakat, seperti misalnya mendatangkan hujan di musim kemarau agar sawah tidak mengalami kekeringan atau menolak wabah penyakit, dan lain-lain.

Manusia Papua tidak berkeinginan untuk tinggal sempit disertai dengan pikiran yang picik dalam segala hal. Manusia Papua tidak membiarkan dirinya terisolir dalam keasliannya. Bangsa Papua menyadari bahwa pengaruh luar khususnya pengaruh Barat sudah masuk dalam diri setiap manusia Papua dengan resapan yang sangat kuat. 

Manusia Papua merasa seolah-olah dirinya terhanyut oleh banjir pengaruh dari luar dalam berbagai bidang seperti: ekonomi, sosial, pendidikan dan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, kebudayaan, filsafat juga ideologi-ideologi politik serta usaha bersama memelihara perdamaian di seluruh dunia.

Harus terbuka

Manusia Papua terseret oleh berbagai pengaruh pemikiran dan cara hidup dari luar. Maka sekarang manusia Papua harus membuat sintesis antara cara hidup yang asli dan pengaruh-pengaruh dari luar sehingga meskipun dia maju dan menerima pengaruh dari luar tetapi nilai asli yang dianggap baik dan cocok tetap dipertahankan dan diperhatikan. 

Manusia Papua sekarang tidak lagi berjuang untuk masa lampau yang telah silam, melainkan berjuang untuk menikmati dan membangun masa sekarang dan masa yang akan datang yaitu manusia yang merdeka lahir dan batin.

Untuk itu, bangsa Papua harus terbuka dalam menerima pengaruh luar khususnya pengaruh Barat yang cocok dan baik lagi sesuai dengan situasi dan kondisi bumi Papua. Bangsa Papua harus berusaha agar dapat ditemukannya suatu sintesis yang mantap antara kebudayaan Papua asli dan pengaruh kebudayaan asing yang berasal dari luar Papua. 

Dari sintesis ini diharapkan agar bangsa Papua mampu dan lebih kreatif bersama-sama dengan bangsa lain merealisasikan suatu humanisme universal, dalam cinta kasih, solidaritas, kerja sama, penuh tanggung jawab membangun dunia dan Papua khususnya dengan dilandasi iman dan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, Allah semua bangsa manusia.

Manusia Papua harus yakin dengan entitas dan otentitasnya yang berkebudayaan tinggi. Kebudayaan Papua membentuk watak khas antropologi manusia Papua. Manusia Papua hendaknya tidak terjebak dalam arus pemikiran ideologi yang tidak cocok dengan identitas bangsa Papua. 

Identitas bangsa Papua adalah noken, honai, panah, dan semua komoditas kepapuaan dan semua local genius termasuk locus loci-nya (nilai kehidupan), sebagai pandangangan hidup, akar kebudayaan Papua. Oleh karena itu meletakkan nilai kepapuaan sebagai pilar fundamen adalah sebuah cara pilihan terbaik masa depan baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. (Bagian terakhir)

Tinggalkan Komentar Anda :