Oleh Yakobus Dumupa, S.IP, M.IP
(Bupati Dogiyai & Pembina ODIYAIWUU.com)
SEORANG pendeta dari sebuah dedominasi gereja di Papua (maaf, saya tak perlu sebut namanya) yang pernah menyebarkan Alkitab di sejumlah wilayah di sepanjang aliran sungai Mamberamo, suatu kesempatan bercerita. Katanya, ia menyesal sekali karena dahulu menyiarkan Alkitab membabi-buta. Membabi-buta karena yang diajarkan kepada warga dan umat dipengaruhi misionaris, di mana segala sesuatu yang berkaitan dengan adat dan budaya adalah simbol dan tindakan berhala. Karena itu, saat si pendeta dan teman-temannya jalan dari kampung ke kampung mereka memerintahkan masyarakat menghancurkan atau memusnahkan semua barang-barang, ajaran-ajaran dan ritual-ritual yang berkaitan dengan adat dan budaya. Gereja Protestan modelnya begitu. Menghancurkan dan memusnahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan adat dan budaya dengan alasan menyembah berhala.
Gereja Katolik masih baik. Mengapa? Ajaran Gereja Katolik diwartakan dan diletakkan di atas pondasi adat dan budaya. Ia dan rekan-rekan dari Gereja Protestan kala itu, ikut menghancurkan adat Papua. Sekarang setelah semua hancur baru ia sadar bahwa adat dan budaya itu penting, adat dan budaya itu kekuatan, adat dan budaya itu warisan luhur. Hal paling penting dari adat dan budaya itu bukan berhala. Pendeta itu mengaku baru tahu dan sadar. China dan Jepang berkembang cepat, maju dan mayoritas rakyatnya sejahtera. Kedua negara itu dibangun di atas pondasi adat dan budaya. Sementara masyarakat di Papua sudah hancur. “Kami para pendeta Gereja Protestan yang sudah kasih hancur. Ini dosa gereja, dosa kami, dan dosa saya,” ujar Pendeta itu kepada penulis.
Berangkat dari kata-kata penyesalan dari pendeta yang berusia lanjut ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam hal kaitan ajaran Alkitab dan Adat sebagai berikut. Pertama, (ajaran) agama apapun selalu terkontaminasi dengan adat dan budaya dimana agama itu lahir dan/atau berkembang. Misalnya, agama Kristen cenderung terkontaminasi dengan budaya Eropa (belakangan agama Protestan pada dedominasi tertentu di Papua cenderung bersifat dan/atau berbudaya “keyahudi-yahudian ”atau “keisrael-israelan”), agama Islam cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Arab, agama Hindu dan Budha cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya India, agama Yahudi cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Yahui/Israel (bahkan adat dan budaya Yahudi itulah yang dianut sebagai “agama” Yahudi), agama Kong Hu Chu cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Thionghoa (bahkan adat dan budaya Thionghoa itulah yang dianut sebagai “agama” Kong Hu Chu), dan agama lainpun cenderung begitu.
Kedua, jika ajaran agama Kristen telah terkontaminasi dengan adat dan budaya Eropa –yang belakangan agama Protestan dedominasi tertentu di Papua cenderung bersifat dan/atau berbudaya “keyahudi-yahudian” atau “keisrael-israelan”– maka harus dipahami bahwa ajaran agama Kristen yang diwartakan di Papua juga merupakan pewartaan adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel yang terselib dan terikat kuat dalam ajaran dan tradisi Alkitab. Uniknya, adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel diwartakan, tetapi pada saat yang sama adat dan budaya Papua dihancurkan dan dimusnahkan. Adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel dianggap “firman Tuhan”, sedangkan adat dan budaya Papua dianggap “firman Iblis”. Banyak pendeta atau siapa saja di Papua telah menjadi “Tim Sukses” yang sukses “meng-Eropa-kan” dan “meng-Yahudi-kan/meng-Israel-kan” orang Papua dan mengasingkan orang Papua dari adat dan budaya luhurnya.
Ketiga, banyak dedominasi Gereja Protestan di Papua yang tidak mampu membedakan antara “ajaran Alkitab” dan “ajaran Adat”. Akibatnya, ajaran adat dan budaya yang terselib dan tertradisi dalam ajaran Alkitab dianggap, diimani, dan diagung-agungkan sebagai ajaran adat dan budaya yang luhur bahkan dianggap sebagai “firman Tuhan”. Sedangkan ajaran adat dan budaya yang tidak terkontaminasi dalam ajaran Alkitab dianggap ajaran kafir dan dihancurkan. Ajaran adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel dianggap, diimani, dan diagung-agungkan sebagai ajaran adat dan budaya yang luhur bahkan dianggap sebagai “firman Tuhan”. Sedangkan ajaran adat dan budaya Papua dimusuhi, dilecehkan, dan dihancurkan karena dianggap sebagai “firman Iblis”.
Keempat, selain tidak mampu membedakan antara ajaran Alkitab dan ajaran Adat. Banyak dedominasi Gereja Protestan di Papua yang mempunyai “tradisi memahami isi Alkitab secara parsial dan hanya tekstual”. Isi Alkitab selalu dipahami secara sepotong-potong dan terpisah-pisah. Isi Alkitab selalu dipahami hanya secara tekstual (semata-mata yang tertulis) tanpa dikaitkan dengan kondisi kontekstual (perkembangan zaman: waktu dan tempat di mana isi Alkitab itu diwartakan). Dalam pewartaan Alkitab, kondisi Papua selalu dipahami seolah-olah sebagai “Israel di masa Perjanjian Lama” atau “Israel di masa Perjajian Baru”.
Padahal saat ini, ketika isi Alkitab diwartakan di Papua, tempatnya adalah “Papua di Abad 20 dan 21”. Tentu saja tempat, waktu dan konteks sudah berbeda. Sehingga seharusnya pemaknaan, penafsiran, dan peruntukan firman Tuhan sudah berbeda mengikuti perkembangkan zaman, kondisi masyarakat/jemaat, tempat, dan waktu tanpa meninggalkan nilai dasar firman Tuhan. Kondisi faktual Papua di Abad 20 dan 21 (dan seterusnya) dan segala dinamikanya harus menjadi “lahan garapan” penyebaran ajaran Alkitab.
Kelima, setelah adat dan budaya Papua telah hancur dan musnah dan setelah kita menganut budaya Eropa dan Yahudi/Israel, sekarang apa hasil dari ajaran adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel yang terselib di dalam ajaran Alkitab di Papua? Apakah kita telah menjadi orang-orang beradab? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang beretika dan bermoral? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang bercinta-kasih? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang telah bahagia dan sejahtera? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang sukses dalam pembangunan? Apakah kita menjadi orang-orang yang telah memenuhi syarat untuk masuk surga? Atau jangan-jangan kita sudah tidak menjadi apa-apa lagi; tidak laku di dunia dan tidak laku di surga.
Keenam, saya kira yang paling penting ke depan adalah “revolusi”. Segenap orang di Papua yang beragam Kristen harus merevolusi otak, hati, dan tindakan dalam memahami dan/atau menghayati dan mengamalkan firman Tuhan yang diajarkan melalui Alkitab secara sungguh-sungguh. Harus dipahami, kita baru mengenal dan baru beragama Kristen tetapi leluhur kita sudah ada sebelum kita mengenal dan beragama Kristen. Itu artinya, cinta-kasih Allah dan firman Allah sudah ada dalam hidup orang Papua sejak leluhur perdana orang Papua diciptakan dan/atau dilahirkan. Jadi, hargailah dan lestarikanlah adat dan budaya Papua bersandingan dengan ajaran Alkitab karena keduanya adalah “kekuatan hidup”.