Oleh Yakobus Dumupa, S.IP, M.IP
Bupati Dogiyai, Pendiri dan Pembina Odiyaiwuu.com
KETIKA saya masih bekerja sebagai anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), tahun 2014, saya pernah menulis sebuah pertanyaan di media sosial, Facebook, “Apakah Alkoholisme adalah ideologi bangsa Papua?” Pertanyaan ini saya ajukan untuk memancing reaksi publik atas maraknya tindakan mabuk-mabukan di Tanah Papua.
Secara umum muncul dua jenis reaksi. Pertama, sebagian orang tidak menerima pertayanyaan saya karena dianggap menghina orang Papua dan bangsa Papua. Kedua, sebagian orang membenarkan dan mendukung pertanyaan saya karena maraknya konsumsi minuman beralkohol di tanah Papua adalah fakta yang tidak terelakan.
Ketika menjabat sebagai Bupati Dogiyai, tahun 2019, saya pernah menulis sebuah pertanyaan di media sosial, Facebook juga, “Jika orang menjual tahi ayam, apakah Anda akan membeli dan memakannya?” Hampir semua orang yang menanggapinya menyatakan tidak akan membeli dan memakannya.
Alasannya, karena tahi ayam bukan makanan, tahi ayam menjijikan, dan tahi ayam berbahaya bagi kesehatan. Saya menanggapinya, begitu juga seharusnya minuman beralkohol. Jika ada orang yang menjual minuman beralkohol, Anda jangan membeli dan mengonsumsinya. Alasanya, minuman beralkohol berbahaya bagi kehidupan.
Fenomena “Budaya Alkoholisme” di Tanah Papua
Menurut Wikipedia yang merujuk pada World Health Organization (WHO), Organisasi Kesehatan Sedunia Perserikatan Bangsa Bangsa, dalam pengertian yang luas Alkohlisme diartikan sebagai meminum segala bentuk alkohol yang mengakibatkan suatu masalah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Alkoholisme diartikan sebagai gaya hidup membudayakan alkohol dan hal kecanduan alkohol, yang ditandai dengan cara penyalahgunaan alkohol dan ketergantungan alkohol.
Sedangkan dalam konteks medis, alkoholisme terindikasi saat terpenuhi dua atau lebih kondisi berikut ini: seseorang meminum sejumlah besar dalam rentang waktu yang lama, kesulitan untuk membatasi, memperoleh dan meminum alkohol butuh banyak waktu, sangat menginginkan alkohol, meminum atau menggunakan alkohol mengakibatkan tidak terpenuhi tanggung jawab, meminum atau menggunakan alkohol mengakibatkan masalah sosial, meminum atau menggunakan alkohol mengakibatkan masalah kesehatan, meminum atau menggunakan alkohol mengakibatkan situasi yang berbahaya, terjadi sindrom penghentian alkohol, dan terjadi toleransi alkohol (respon tubuh terhadap alkohol lebih tinggi daripada normal).
Dengan merujuk pada pengertian Alkoholisme di atas, marilah kita melihat fenomena Alkoholisme di Tanah Papua. Berikut ini hal-hal yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi Alkoholisme di Tanah Papua. Pertama, kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol (mabuk-mabukan) telah berlangsung dalam beberapa dekade terakhir dan diwariskan secara turun temurun dari negerasi ke generasi.
Kedua, produksi, distribusi (pengedaran) dan konsumsi minuman beralkohol telah menyebar di hampir seluruh Tanah Papua, mulai dari perkotaan hingga ke perkampungan.
Ketiga, hampir semua pihak (dalam arti kelompok dan profesi) terlibat dalam proses pengedaran dan menjadi konsumen minuman beralkohol. Keempat, jenis minuman beralkohol yang diedarkan dan dikonsumsi beraneka-ragam, baik minuman tradisional maupun modern.
Kelima, tingkat ketergantungan para konsumen minuman beralkohol sangat tinggi. Keenam, minuman beralkohol menjadi lahan bisnis yang subur dan banyak pihak baik secara personal maupun kelompok terlibat dalam bisnis ini. Ketujuh, minuman beralkohol telah dijadikan semacam “gaya hidup modern” yang layak diikuti oleh manusia modern sekarang.
Pertanyannya sekarang, apakah Alkoholisme telah menjadi budaya Papua? Yang dimaksud dengan budaya adalah suatu gaya hidup yang berkembang dalam suatu kelompok atau masyarakat dan diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Jika merujuk pada pengertian budaya ini dan dikaitkan dengan enam fenomena alholohisme di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Alkoholisme telah menjadi budaya Papua. Alkoholisme telah menjadi “gaya hidup” yang berkembang dalam kehidupan orang Papua dan diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi berikutnya
“Perang” Melawan Alkoholisme
Jika Alkoholisme telah menjadi budaya Papua, apakah kita harus dengan suka rela melestarikannya? Budaya yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan harus dilestarikan, sebaliknya budaya buruk yang mendatangkan malapetaka bagi kehidupan harus dimusnakan.
Alkoholisme adalah budaya buruk, yang mendatangkan malapetaka bagi kehidupan di Tanah Papua. Menyadari bahwa Alkoholisme adalah budaya buruk yang mendatangkan malapetaka bagi kehidupan orang Papua, maka berbagai upaya “perang” melawan Alkoholisme sudah dilakukan selama ini. Berikut ini beberapa upaya “perang” melawan Alkoholisme tersebut.
Pertama, penerbitan dan pemberlakuan Peraturan Daerah Khusus Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Provinsi Papua oleh Pemerintah Provinsi Papua. Doren Wakerkwa, Asisten I SETDA Provinsi Papua mengatakan, “Kita tidak ada kepentingan, ini demi umat manusia di atas tanah ini. Negara mana yang mau rakyatnya jadi korban, tidak diberikan kenyamanan, lalu biarkan saja begitu. Ini bukan negara komunis, ini negara demokrasi. Rakyat harus dilindungi, rakyat harus dijaga, supaya rakyat kita bisa bangkit dan jadi orang hebat diatas negeri ini. Itu yang diinginkan pemerintah provinsi. Jangan membiarkan rakyat Papua banyak yang meninggal akibat miras.” (Papua.go.id, 16 November 2016).
Kedua, Deklarasi Anti-Miras di Kabupaten Merauke, yang dilakukan oleh TNI-Polri, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh adat, tokoh perempuan dan organisasi kepemudaan di Kabupaten Merauke, pada tanggal 26 November 2015.
Dalam sambutannya, Kapolres Merauke AKBP Sri Satyatama, mengatakan, “Sebab kami lihat permasalahan yang ada di Kabupaten Merauke sini, baik kasus penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga, ataupun pembunuhan, disebabakan hampir 80 persen adalah pelakunya minum miras.” (Kabarpapua.co, 26 November 2015).
Ketiga, Deklarasi Anti-Miras Mahasiswa Papua di Jawa Tengah, yang dilakukan pada Minggu (14/03/2021) sebagai tanggapan atas meninggalnya tiga orang mahasiswa Papua akibat mengkonsumsi minuman beralkohol di Salatiga. Dalam deklarasi itu, perwakilan orangtua mahasiswa asal Papua, Melchior Sitokdana, mengatakan, “Kejadian ini harus mampu mengubah pola pikir kita dan masyarakat. Kita harus bisa mengubah stigma bahwa mahasiswa Papua itu pemabuk, kita harus membuktikan orang Papua itu intelek dan cerdas.” (Kompas.com, 14 Maret 2021).
Keempat, menolak Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang salah satunya disebutkan bahwa industri minuman beralkohol boleh dibangun di empat provinsi yaitu: Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Tetapi setelah dilakukan penolakan, maka Presiden Joko Widodo mencabut lampiran Peraturan Presiden tersebut yang melegalkan minuman beralkohol untuk keempat provinsi tersebut.
Kelima, Deklarasi Anti-Miras di Kabupaten Dogiyai, yang dilaksanakan pada tanggal 3 Mei 2021, menyatakan menolak peredaran dan konsumsi minuman beralkohol dalam wilayah Kabupaten Dogiyai. Deklarasi ini ditandatangi oleh semua pihak, baik pemerintah maupun organisasi non-pemerintah.
Ketua Dewan Adat Mee Kabupaten Dogiyai, Germanus Goo mengatakan, “Hari ini di depan Tuhan, alam, leluhur, dan pemerintah sepakat untuk seratus persen berantas miras. Miras harus dimusnahkan dari Kabupaten Dogiyai. Jangan orang mati lagi gara-gara miras. Kita harus selamatkan kehidupan kita.”
Sebelumnya, pada tahun 2018, Pemerintah Kabupaten Dogiyai dan DPRD Kabupaten Dogiyai telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pelarangan Peredaran dan Konsumsi Minuman Keras di Kabupaten Dogiyai. Namun Perda ini terkendala dalam proses registrasi di Biro Hukum Setda Provinsi Papua.
Keenam, dalam kurun waktu tahun 2018-2021, ratusan orang kosumen minuman beralkohol (pemabuk) di Kabupaten Dogiyai yang saya pukul. Bertemu pemabuk dimana saja, saya pukul. Kebanyakan yang saya pukul adalah keluarga saya yang biasanya ke rumah saya dalam keadaan mabuk.
Akhirnya, orang menjuluki saya, “Bupati tukang pukul tukang mabuk”. Dari semua pemabuk yang saya pukul, tak seorangpun yang mempersoalkan atau memprotes tindakan saya, baik pemabuk, keluarganya, maupun masyarakat pada umumnya. Rata-rata orang justru mendukungnya.
Rupanya, memukul pemabuk seperti ini justru merupakan salah satu cara paling efektif untuk menyadarkan mereka, sekalipun tak semuanya langsung sadar dan berhenti mengkonsumsi minuman beralkohol lagi. Yang menarik dan membanggakan adalah sebagian dari para pemabuk yang saya pukul akhirnya sadar, bertobat dan kini aktif dalam berbagai kegiatan Gereja. Mereka telah menjadi “orang Gereja” sekarang. Beberapa diantaranya justru mendatangi saya dan meminta dibelikan alat musik untuk digunakannya bernanyi memuji Tuhan di Gereja.
Selain keenam contoh ini, upaya “perang” melawan alkoholisme di tanah Papua juga telah dan terus dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai cara pada berbagai kesempatan. Misalnya, oleh Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga keagamaan, organisasi perempuan, lembaga swadaya masyarakat (LMS), dan berbagai komponen lainnya. Pada prinsipnya semua pihak sepakat bahwa Alkoholisme harus dilawan dan dimusnahkan dari atas Tanah Papua.
Mengapa Alkoholisme Harus Dilawan?
Segala bentuk “perang” melawan Alkoholisme di Tanah Papua dilatarbelakangi oleh berbahayanya alkohol bagi kehidupan. Alkohol hanya bermanfaat untuk kepentingan medis, itupun dalam kondisi dan kadar tertentu. Berikut ini alasan-alasan mengapa Alkoholisme harus dilawan.
Pertama, dari perspektif kesehatan. Alkohol mempunyai sepuluh dampak yang serius bagi kesehatan manusia (konsumen minuman beralkohol), yaitu: menyebabkan kerusakan saraf, menyebabkan gangguan jantung, menangganggu sistem reproduksi, menurunkan kecerdasan, menyebabkan kenaikan berat badan, mengganggu fungsi hati, menyebabkan tekanan darah tinggi, menyebabkan ketidaknyamanan dalam tubuh, dan memperpendek usia seseorang (menyebabkan kematian).
Kedua, dari perspektif sosial. Alkohol (pemabukan) melahirkan masalah sosial yang serius seperti tidakan kekerasan dalam rumah tangga, perkelahian, pemalangan, kenakalan remaja, tindakan asusila, tidak memiliki norma dan cenderung sulit mengontrol emosi, dan tindakan kejahatan lainnya yang pada akhirnya menyebabkan ketidaktentraman kehidupan.
Ketiga, dari perspektif agama. Alkohol dilarang untuk dikonsumsi dan dilarang untuk mabuk-mabukan. Misalnya, sebagaimana tertulis dalam Kitab Yesaya 5:22: “Celakalah mereka yang menjadi jago minum dan juara dalam mencampur minuman keras.” Allah tidak suka jika umat-Nya minum minuman beralkohol. Juga tertulis dalam Kitab Amsal 20:1: “Anggur adalah pencemooh, minuman keras adalah peribut, tidaklah bijak orang yang terhuyung-huyung karenanya.” Minuman beralkohol hanya membuat orang menjadi ribut dan tidak bijak (menciptakan masalah).
Keempat, dari perspektif hukum. Di Tanah Papua telah lahir berbagai produk hukum daerah yang mengatur tentang produksi, peredaran dan konsumsi minuman beralkohol. Karena pemerintah punya otoritas untuk mengatur kehidupan warganya, termasuk dalam hal minuman beralkohol, maka warga masyarakat wajib mematuhinya.
Ketaatan pada hukum bertujuan untuk menciptakan ketentraman dan kebahagiaan hidup, maka ketaatan pada hukum untuk tidak memproduksi, mengedarkan dan mengkonsumsi minuman beralkohol bertujuan untuk menciptakan hidup yang tentram dan bahagia.
Kelima, dari perspektif hidup dan keselamatan orang asli Papua. Minuman beralkohol telah menjadi salah satu penyebab utama kematian orang asli Papua. Hampir setiap hari orang asli Papua mati karena mengkonsumi minuman beralkohol. Bahkan dalam berbagai kasus, kematian terjadi secara beramai-ramai (berkelompok).
Sebagai contoh, menurut hasil penelitian almarhum Pastor Nato Gobai, Pr., di wilayah Meepago (Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya, dan Mimika), angka kematian akibat minuman beralkohol berkisar 6-7 orang perhari. Jika angka ini dirata-ratakan berlaku di seluruh wilayah adat di tanah Papua (di Papua terdapat 7 wilayah adat), maka diperkirakan 42-49 orang meninggal akibat minuman beralkohol perhari. Orang asli Papua sedang dimusnakan oleh minuman beralkohol dalam budaya alkoholisme.
Masa Depan Tanah Papua Tanpa Alkoholisme
Apakah orang Papua bisa hidup tanpa Alkohol di masa depan? Apakah orang Papua bisa melepaskan diri dari budaya Alkoholisme yang sudah lama dilestarikan? Sebagian orang pasti merasa optimis, tetapi tak sedikit juga yang pasti merasa pesimis.
Masing-masing pihak pasti punya alasannya sendiri. Dengan berpegang pada narasi “Tak ada yang tak mungkin jika kita mau dan Tuhan menghendakinya”, maka kita harus optimis bahwa orang Papua bisa hidup tanpa alkohol dan melepaskan diri dari budaya alkoholisme.
Agar orang Papua bisa hidup tanpa Alkohol dan melepaskan diri dari budaya Alkoholisme, maka yang perlu dilakukan kedepan adalah sebagai berikut. Pertama, semua pihak harus menjadikan alkohol sebagai “musuh bersama” yang harus dilawan dan dikalahkan.
Kedua, para pemabuk berhenti mengonsumsi minuman beralkohol dan orang yang belum pernah mengonsusinya agar jangan mengonsumsi minuman beralkohol. Ketiga, kampanyekan perang melawan minuman beralkohol secara massif dan perketat pengawasan mulai dari keluarga sampai ke lingkup yang lebih luas. Keempat, hentikan seluruh aktivitas produksi dan distribusi minuman beralkohol di Tanah Papua, termasuk yang diimpor dari luar tanah Papua.