Belajarlah Merasakan Papua dari Hati Orang Asli Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Belajarlah Merasakan Papua dari Hati Orang Asli Papua

Belajarlah Merasakan Papua dari Hati Orang Asli Papua. Foto Ilustrasi: Dok. Odiyaiwuu

Loading

PAPUA telah menjadi bagian dari Indonesia selama lebih dari setengah abad. Namun, yang tidak pernah benar-benar terjadi adalah kemauan untuk merasakan Papua dari perspektif orang asli Papua sendiri. Selama ini, yang terjadi justru sebaliknya: pemerintah dan mayoritas rakyat Indonesia memandang Papua dari menara kepentingannya sendiri, sambil mengabaikan suara dan luka terdalam orang asli Papua yang hidup dalam penderitaan di negerinya sendiri.

Betapa sering Papua dipahami semata-mata sebagai tanah kaya yang harus dijaga, sumber daya alam yang harus dieksploitasi, atau wilayah yang harus “diamankan”. Namun sangat jarang—hampir tak pernah—Papua dipandang sebagai rumah bagi manusia-manusia yang memiliki martabat, sejarah, luka, dan harapan. Mereka adalah anak-anak bangsa yang ingin dihormati bukan karena kekayaan tanahnya, tetapi karena kemanusiaannya.

Realitas yang dihadapi orang asli Papua setiap hari sangat berbeda dengan narasi resmi yang sering dibanggakan. Di balik proyek-proyek infrastruktur, ada sekolah yang kosong guru, rumah sakit yang minim obat, dan kampung-kampung yang sunyi dari akses ekonomi. Di balik jargon “keamanan”, ada trauma panjang karena kekerasan, penghilangan paksa, dan pembunuhan yang tak pernah diusut tuntas.

Di tengah pembangunan yang megah, orang asli Papua merasa menjadi tamu di tanahnya sendiri. Mereka tersingkir dari ruang-ruang ekonomi, politik, pendidikan, bahkan ruang bicara. Mereka dibungkam ketika bersuara, dituduh separatis ketika mengeluh, dan dicurigai ketika meminta hak-haknya. Inilah yang tidak pernah sungguh-sungguh dirasakan oleh Jakarta dan mayoritas rakyat Indonesia.

Sangat mudah bagi orang luar Papua untuk menghakimi, menyalahkan, dan menuding orang asli Papua sebagai tidak bersyukur atau tidak setia. Namun, semua tudingan itu lahir dari ketidakmauan untuk duduk, mendengar, dan merasakan dari sudut pandang mereka yang selama ini terinjak. Ketika dialog digantikan dengan operasi militer, dan cinta digantikan dengan curiga, bagaimana mungkin luka akan sembuh?

Papua bukan sekadar soal pembangunan, tetapi soal pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan orang asli Papua sebagai manusia dan bangsa. Selama perspektif ini diabaikan, selama penderitaan mereka tidak dijadikan bagian dari kesadaran nasional, maka ketidakadilan akan terus berulang.

Sudah waktunya Indonesia berhenti berbicara tentang Papua, dan mulai berbicara dengan orang asli Papua. Lebih dari itu, sudah waktunya Indonesia merasakan luka Papua—bukan sekadar memahami dengan akal, tetapi menyelaminya dengan hati.

Karena hanya dengan merasakan, kita bisa memahami. Dan hanya dengan memahami, kita bisa mulai memperbaiki. Jika tidak, Papua akan tetap menjadi wilayah yang diklaim secara politik, tapi ditinggalkan secara kemanusiaan. Sebuah tanah yang indah, tapi terus menangis diam-diam di bawah bendera yang katanya satu. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :