Oleh Yosua Noak Douw
Doktor Lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura
MASYARAKAT tanah Papua memiliki banyak kekayaan budaya dan tradisi warisan leluhur. Budaya dan tradisi itu terawat baik dari generasi ke generasi. Salah satu yang sangat terkenal yaitu budaya bakar batu. Bakar batu merupakan tradisi khas masyarakat pegunungan Papua. Bakar batu sarat makna dan pesan filosofis, sosial, dan spiritual untuk tetap terjaga dalam kehidupan komunal masyarakat bumi Cenderawasih.
Bakar batu adalah ritual memasak bersama dengan memanfaatkan batu panas sebagai media pematang makanan. Di setiap komunitas suku-suku di sejumlah daerah tanah Papua, bakar batu memiliki istilah berbeda-beda. Misalnya, Lago Lakwi di kalangan masyarakat suku Lani/Dani, Barapen di Biak, Duwa Gapii di kalangan masyarakat suku Mee di Papua Tengah atau Kit Oba Isago di Wamena, Jayawijaya.
Meski demikian, proses dan tahapan bakar batu relatif sama dimulai dari tahap persiapan yaitu mengumpulkan batu, kayu bakar, dan bahan makanan seperti daging babi, ayam, ubi, dan sayuran. Kemudian, menyiapkan lubang dalam tanah sedalam 50-60 centimeter yang digali dan dilapisi daun pisang atau alang-alang.
Setelah itu, tahap berikut adalah pembakaran batu. Batu yang sudah disiapkan dibakar hingga membara lalu dimasukkan ke lubang bersama lapisan daun, daging, dan umbi-umbian. Proses memasak memakan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam hingga matang dan sehat untuk tubuh.
Kemudian distribusi makanan, di mana makanan dibagi secara merata, dimulai dari kepala suku atau pejabat lalu masyarakat. Antrean dilakukan tertib sehingga tidak saling rebutan sebagai cermin hadirnya nilai-nilai kebersamaan, solidaritas di antara anggota masyarakat yang hadir dalam acara tersebut.
Namun, bagi masyarakat asli Papua penganut Islam daging babi dalam tradisi bakar batu diganti ayam, domba atau dimasak terpisah seperti dalam komunitas masyarakat Muslim di Walesi, Jayawijaya. Bakar batu yang melibatkan masyarakat Muslim asli Papua dilaksanakan usai menunaikan puasa suci Ramadhan.
Sarat makna
Bakar batu bukan sekadar tradisi tanpa makna esensial dan filosofis. Bakar batu mengandung makna filosofis sebagai ungkapan syukur. Tradisi ini dilakukan sebagai wujud terima kasih masyarakat asli kepada Tuhan sang Pencipta atas panen berlimpah, pesta kelahiran atau peristiwa penting lainnya yang merekatkan soliditas komunitas masyarakat bersangkutan.
Bakar batu juga simbol pemersatu komunitas masyarakat dalam relasi sosial hariannya. Bakar batu juga media efektif menyelesaikan konflik di antara sesama anggota komunitas akibat konflik di tengah masyarakat, mempersiapkan perang, atau merayakan perdamaian. Bakar batu juga menjadi penanda bagi masyarakat petani saat pembukaan ladang atau pesta pernikahan.
Bakar batu juga menjadi simbol kesetaraan di antara anggota komunitas masyarakat adat. Pembagian makanan secara adil dan merata mencerminkan prinsip keadilan dan kesederhanaan. Keadilan yang dimaksud di sini, misalnya, baik pejabat maupun masyarakat mendapat jatah sama.
Bakar batu juga sikap dan tindakan pemimpin, baik formal maupun kultural, memberi makan rakyatnya sebagai ungkapan terima kasih dan tanggung jawab atas tugas yang dipercayakan rakyat. Dalam kesempatan tersebut, sang pemimpin dan rakyat yang dipimpin menyatu dalam relasi harmonis lalu mewujud dalam makan bersama sebagai ungkapan kegembiraan.
Bakar batu juga simbol atau penanda keberhasilan. Jika babi mati saat dipanah dianggap menjadi sinyal acara akan berlangsung sukses. Sebaliknya, bila saat babi yang dipanah gagal mati atau tewas dipanah diyakini membawa petaka atau nasib yang kurang beruntung.
Spiritualitas dan religius
Bakar batu juga menyimpan aneka nilai spiritual dan religi. Salah satunya, nilai sosial yang akan dihayati anggota komunitas untuk memperkuat solidaritas melalui kerja sama dalam persiapan dan makan bersama. Sedangkan nilai religius bertujuan mendekatkan dan meningkatkan relasi manusia dengan sang Pencipta dan leluhur. Relasi anggota komunitas dengan sang Pencipta bersemayam ungkapan syukur tanpa batas manusia di hadapan Tuhan.
Begitu juga nilai ekonomi di mana anggota komunitas masyarakat asli memanfaatkan sumber daya lokal seperti babi, ubi, dan kayu bakar sekaligus mengurangi ketergantungan pada peralatan modern.
Sedangkan nilai politis dalam bakar batu sepintas menjadi media komunikasi antara pemimpin dan masyarakat. Sambil menunggu makanan matang, masyarakat setia mendengar wejangan atau nasehat para pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin kultural.
Bakar batu juga menjadi media pelestarian identitas, jati diri, dan nilai-nilai budaya yang diwariskan para leluhur dan orangtua di masa lampau. Tradisi ini menjadi identitas, jati diri anggota komunitas suku-suku di tanah Papua seperti Dani, Lani, Damal, dan lain sebagainya yang telah diwariskan turun-temurun setiap generasi.
Dalam tradisi bakar batu, nilai pendidikan karakter sangat kental. Bakar baru menyodorkan dan mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab melalui proses kerjasama kolaboratif di antara anggota komunitas masyarakat adat.
Bakar batu juga menjadi sebuah sajian pariwisata budaya. Potensi wisata budaya ini menjadi daya tarik seperti pertunjukan seni di Galeri Indonesia Kaya yang memadukan tari dan edukasi tentang bakar batu.
Upaya pelestarian tradisi bakar batu diintegrasikan dengan acara modern. Misalnya, diadopsi kemudian disajikan peserta tari yang merupakan masyarakat asli tanah Papua dalam menyambut tamu penting atau perayaan nasional atau hari-hari besar keagamaan bahkan dalam pesta demokrasi seperti Pemilu, baik Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Legislatif (Pileg) di tingkat daerah.
Bakar batu juga menjadi wadah edukasi melalui pertunjukan seni. Kelompok seni seperti Indonesia Art Movement di Jayapura pernah mementaskan ritual bakar batu dalam bentuk pertunjukan seni tari yang dibalut narasi budaya yang sarat pesan nilai-nilai tentang persatuan, persaudaraan, kasih, dan kerja sama.
Bakar batu juga menjadi media efektif menyesuaikan dan beradaptasi dengan nilai-nilai universal modern. Meski globalisasi dengan segala pernak-pernik yang mengancam kelestarian budaya lokal seperti bakar baru, tradisi ini berusaha mempertahankan makna dan esensi bakar batu agar tradisi dan budaya khas warisan leluhur tak punah atau hilang di tengah masyarakat asli.
Bagaimanapun, keberadaan tradisi bakar datu bukan sekadar ritual memasak. Ia malah lebih dari itu yakni cerminan kehidupan harmonis masyarakat asli tanah Papua yang masih menjunjung kebersamaan dan penghargaan satu sama lain antara sesama anggota selaras alam dan lingkungannya.
Pelestarian bakar batu juga menuntut sinergi antara pemerintah, masyarakat, komunitas budaya lintas generasi agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi ini tetap hidup di tengah modernitas.
Pesan leluhur juga bisa terbaca dalam tradisi bakar batu. Siapa yang melupakan sejarah warisan leluhur akan tergilas atau ditelan zaman bertabur hedonisme namun di saat bersamaan perlahan menghapus bahkan menggerus sendiri nilai-nilai dan ajaran hidup melalui tradisi dan budaya warisan leluhur.