DALAM perbincangan tentang nilai-nilai kemanusiaan dan kebahagiaan, ateisme sering kali dipandang sebagai sekadar penolakan terhadap kepercayaan akan Tuhan atau realitas transenden. Namun, di balik itu, ateisme juga memiliki kontribusi penting dalam membentuk etika sosial, memperjuangkan hak asasi manusia, dan mempromosikan kebahagiaan yang berbasis pada akal dan tanggung jawab moral.
Ateisme menempatkan manusia sebagai pusat keberadaannya sendiri, dengan mengandalkan rasionalitas, sains, dan etika yang tidak bergantung pada dogma keagamaan. Dari sudut pandang ini, kemanusiaan menjadi nilai tertinggi yang mendorong individu untuk bersikap lebih bertanggung jawab terhadap sesama, bukan karena takut akan hukuman ilahi, tetapi karena kesadaran akan pentingnya kebersamaan dan kesejahteraan kolektif. Banyak pemikir ateis, seperti Bertrand Russell dan Richard Dawkins, menegaskan bahwa moralitas tidak harus bersumber dari agama, melainkan dari empati dan prinsip-prinsip keadilan yang bisa dipahami melalui akal sehat.
Kontribusi ateisme terhadap kemanusiaan juga tampak dalam perjuangan hak-hak sipil, kebebasan berpikir, dan kebebasan berekspresi. Sejarah menunjukkan bahwa banyak ilmuwan, filsuf, dan aktivis yang memiliki pandangan sekuler telah memainkan peran besar dalam mendorong kemajuan sosial. Misalnya, dalam bidang kesehatan, ateisme dan humanisme sekuler telah mendukung pengembangan kedokteran berbasis sains yang membebaskan manusia dari takhayul dan kepercayaan yang menghambat pengobatan. Dalam aspek sosial, banyak kelompok humanis sekuler yang bekerja untuk menghapus diskriminasi berbasis agama, memperjuangkan hak-hak perempuan, serta mendukung kebijakan yang lebih adil dan inklusif.
Lalu, bagaimana dengan kebahagiaan? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masyarakat dengan pemikiran sekuler yang tinggi, seperti negara-negara Skandinavia, memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih baik. Kebahagiaan dalam konteks ini bukanlah janji akan kehidupan setelah mati, tetapi kepastian akan kehidupan yang lebih baik di dunia ini—dengan akses terhadap pendidikan, kesehatan, kebebasan, dan kesejahteraan ekonomi. Ateisme, dengan penekanannya pada rasionalitas dan ilmu pengetahuan, membantu menciptakan lingkungan di mana individu dapat berkembang tanpa ketakutan akan dogma atau hukuman ilahi, melainkan dengan dorongan untuk menjalani hidup yang bermakna bagi diri sendiri dan orang lain.
Namun, hal ini bukan berarti ateisme adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan dan kemanusiaan. Nilai-nilai universal seperti kasih sayang, solidaritas, dan kejujuran tetap menjadi fondasi utama, baik bagi mereka yang beragama maupun yang tidak. Perdebatan antara ateisme dan religiositas seharusnya tidak lagi terfokus pada siapa yang benar atau salah, tetapi pada bagaimana setiap individu—terlepas dari keyakinannya—dapat berkontribusi untuk membangun dunia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih bahagia bagi semua.
Pada akhirnya, ateisme bukan hanya tentang menolak Tuhan, tetapi tentang menegaskan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk menciptakan makna dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri serta sesamanya. Sebuah dunia yang lebih rasional, berbasis kemanusiaan, dan menjunjung tinggi kebebasan berpikir akan membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik—bukan karena takdir, tetapi karena pilihan dan usaha kita sendiri. (Yakobus Dumupa/Editor)