Oleh Frans Maniagasi
Salah Satu Inisiator Majelis Rakyat Papua
APA kabar Majelis Rakyat Papua-Organisasi Perangkat Daerah (MRP OPD)? Pertanyaan ini tentu berkaitan dengan tak kunjung disahkan dan dilantiknya Anggota MRP oleh Menteri Dalam Negeri? Padahal sudah berkali-kali dilakukan konsultasi antara Kementerian Dalam Negeri dengan Pemerintah Provinsi Papua.
Berkaitan dengan tidak jelasnya pensahan dan pelantikan anggota MRP maka secara singkat saya perlu menjelaskan mengapa saya sebut MRP-OPD. OPD adalah organisasi perangkat daerah, meliputi dinas, atau badan yang merupakan bagian dari struktur perangkat organisasi pemerintahan daerah baik diprovinsi maupun kabupaten/ kota. Sedangkan MRP adalah lembaga representasi kultural orang asli Papua (OAP) yang anggotanya terdiri dari unsur adat, Perempuan, dan agama.
MRP sebagai institusi representasi kultural maka tentu memiliki posisi, kedudukan, peran dan fungsi maupun tugas yang strategis dalam rangka proteksi, affirmasi dan pemberdayaan OAP dengan hak-haknya (sosial, kultural, ekonomi, politik, dan HAM). Dengan kata lain MRP merupakan lembaga “parlemen” untuk OAP, sehingga basis rekruitmen anggota MRP berdasarkan dua hal yaitu konfigurasi kultural (wilayah adat/budaya) dan basis kontituennya OAP.
Perintah otsus
Perlu saya negasikan bahwa keberadaan MRP merupakan perintah dari Undang-Undang (UU) Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang merupakan amanat UUD 1945 (Pasal 18B) dan UU Otsus Papua di mana salah satu “kekhususan” Papua adalah MRP dalam tataran itu Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001) berbasis juga pada Deklarasi PBB tentang Perlindungan Terhadap Penduduk Asli. Perlindungan dunia terhadap orang asli Papua sebagai komunitas sosial yang merupakan bagian dari masyarakat-masyarakat asli itu.
Pertanyaannya kini adalah apakah MRP yang ada sekarang masih mencerminkan eksistensi dan rohnya, semangat, cita-cita dan tujuannya sebagai lembaga representasi kultural OAP? Menurut pendapat saya MRP tidak lagi merefleksikan dirinya sebagai lembaga representasi kultural. Bahkan menurut pendapat saya lembaga ini sudah menjadi bagian dari struktur dan organisasi perangkat birokrasi pemerintahan daerah atau MRP-OPD. MRP bukan lagi lembaga representasi kultural tapi representasi kultur birokrasi pemerintahan.
Sejak kapan MRP representasi kultural mengalami pergeseran makna menjadi representasi birokrasi dari organisasi birokrasi pemerintahan atau OPD? Sejak Papua dimekarkan menjadi beberapa provinsi yang diawali dengan terbentuknya Provinsi Iran Jaya Barat atau kini Papua Barat (2003). Seperti gayung bersambut dengan mata telanjang kita menyaksikan MRP pun disubordinatkan menjadi bagian dari struktur organisasi DOB pemekaran provinsi-provinsi di tanah Papua.
Identitas diri sebagai lembaga representasi kultural diidentikkan OPD dan kultur birokrasi pemerintahan. Ketika MRP dirumuskan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua keberadaan lembaga ini selain simbolisasi dari kekhususan Papua sekaligus institusi ini merupakan benteng terakhir yang memayungi dan melindungi, berpihak dan memberdayakan OAP dan hak-haknya.
Proteksi manusia Papua
Keberadaan MRP sebagai benteng terakhir bagi OAP dalam memproteksi, mengaffirmasi dan memberdayaakan manusia Papua dengan hak-haknya. MRP sebagai lembaga supra struktur politik yang menjadi wadah yang mengakomodir unsur adat, perempuan dan agama. Karena pengalaman dimasa lalu keberadaan tokoh adat, perempuan dan agama hanya sebagai “pemadam kebakaran” tatkala ada konflik dan kekerasan di masyarakat Papua. Mereka hanya dilibatkan sebatas pelengkap penyerta bukan diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan menyangkut eksistensi OAP.
Lembaga ini juga berperan sebagai rekonsiliator (rekonsiliasi) artinya sebagai institusi supra struktur politik maka MRP mengakomodir mereka yang dianggap pernah membangkang terhadap negara, yang pernah menjadi aktivis politk yang berseberangan dengan pemerintah atau tidak seideologi dengan NKRI. Sehingga melalui MRP-lah sebagai wadah rekonsiliasi antara masyarakat Papua dengan Negara dan Pemerintah untuk mencapai perdamaian dan kedamaian dimasyarakat untuk mewujudkan apa yang sering dislogankan Papua tanah damai.
Menyadari realitas posisi MRP dalam konteks negara-bangsa maka terjadi kesadaran (cogito) manusia Papua sebagai warga Indonesia. Puncak praksis rasionalitas “know how” ini yang diwujudkan melalui representasi kultural. Praktek rasionalitas sebagai benteng terakhir yang melindungi, berpihak dan memberdayakan manusia Papua dengan hak-haknya termasuk alamnya sehingga pada derajat kemanusiaan OAP tidak tergusur dari atas tanahnya sebagai sumber kehidupannya. (konsep tanah diidentikkan seorang mama, mother land).
Meminjam Freud yang menemukan psikoanalisisnya di mana penentu otonomi manusia bukan pada kesadarannya tapi justru ketidaksadarannya digugat balik oleh MRP bahwa manusia Papua sebagai subyek pelaku atau aktor dalam hidupnya. Freud dan Marx menyatakan, konstruksi sosial bukan ditentukan oleh otonomi manusia tapi bahwa melalui konstruksi sosial terbentuk relasi sosial, kultural dan ekonomi, disinilah hakekat dari keberadaan MRP itu.
Dengan kata lain setiap individu manusia Papua tak dapat hidup otonom tanpa tradisi, kultur, bahasa ibu, ikatan-ikatan sosial yang menjadi dasar nilai nilai yang membentuk karakternya yang diekspresikan dalam bentuk estetika, budaya dan pergaulan sosial.
Lewat substansi nilai dan simbolisasi itu maka tatkala negara hendak melakukan intervensi kebijakan yang dirasakan memberikan dampak negatif yang mengganggu keberadaan dan konstruksi serta relasi sosial kultural, politik, ekonomi dan pertahanan diri masyarakat Papua maka peran, fungsi dan tugas MRP untuk melindungi, berpihak dan memberdayakan OAP guna menghadapi kedahsyatan perubahan kemajuan dan modernisasi yang liar dan membongkar sendi-sendi kehidupan dari suatu komunitas sosial didunia sebagai bagian penduduk asli dari proses marginalisasi dan alienansi.
Ironi
Ironinya tatkala kebijakan negara melakukan pemekaran wilayah maka MRP pun diseretbahkan dikesampingkan dalam proses pengambilan keputusan mengenai pemekaran wilayah atau DOB. Akibat pandangan yang keliru terhadap MRP maka direduksi MRP di posisi hanya semata-mata lembaga kebudayaan saja, ekses dari proses reduksi yang keliru itu lembaga ini dijadikan bagian dari struktur organisasi perangkat birokrasi pemerintahan. Kultur birokrasi yang hierakhis dan terstruktur dan tunduk pada komando yang tersentralisasi maka terjadi benturan dengan “peradaban” kultural yang kontradiktif dengan substansi dari MRP. Dengan memposisikan dan meletakkan MRP sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan maka tanpa disadari negara telah melakukan perselingkungan terhadap keberadaan MRP.
Padahal Pasal 18 B UUD 1945 negara wajib melindungi, menghormati dan menghargai wilayah-wilayah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan. Tanpa disadari pula negara membuat paradok terhadap MRP apalagi mensubordinasikannya menjadi bagian dari OPD birokrasi pemerintahan daerah.
Dalam konteks semacam itu keberadaan MRP dipreteli dan dijadikan OPD, maka tertunda-tundanya pengesahan dan pelantikan anggota MRP menjadi bulan-bulanan pertarungan kepentingan dan kolaborasi kepentingan pragmatisme untuk meraih kekuasaan politik 2024. Nafsu untuk meraih dan merebut kekuasaan menjadi kepala daerah pada 2024, otomatis MRP sebagai lembaga OPD ditarik dalam pusaran dan arus kepentingan politik pragmatisme.
Padahal MRP sebagai lembaga representasi kultural bukan di sini lokusnya, tapi justru MRP mesti memainkan peran dan fungsinya sebagai lembaga negara yang memproduksi nilai-nilai etika, moral, politik kebudayaan, estetika, memberikan pesan-pesan moral yang etis dalam meraih kekuasaan dan jabatan agar mendepankan kearifan sehingga kekuasaan itu bukan untuk kepentingan individu yang berkuasa tapi untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat Papua.
MRP sebagai lembaga representasi kultural mesti memberikan legitimasi kultural dimanipulasi oleh praksis kekuasaan akibatnya lembaga ini mengalami degradasi fungsi dan perannya menjadi stempel untuk meraih kekuasaan. Dalam perspektif semacam itulah yang kita saksikan saat ini kekuasaan birokrasi menjadikannya seperti “bola” yang ditendang semau gue yang ditunjukkan dengan saling tolak menolak dengan pernyataan masih membutuhkan konsultasi antara pusat dan daerah.
Tolak-menolak itu bukan menyangkut hal hal yang substantif tapi teknis karena kekhawatiran yang berlebihan, kecurigaan terhadap calon anggota MRP terpilih karena ada yang membangkang terhadap kebijakan negara menolak revisi UU Otsus, maupun menolak pemekaran DOB, atau adanya anggota yang berasal dari unsur agama yang bukan berasal dari wilayah adat yang bersangkutan, atau ada calon yang diidentifikasi masih menjadi anggota partai politik.
Alasan-alasan teknis seperti itu mestinya dicarikan solusi dengan diskusi bersama melibatkan para pemangku kepentingan dan kewajiban yang terkait untuk memberikan rekomendasi dalam rangka memutuskan yang terbaik, sehingga pensahan dan pelantikannya pun dapat terwujud.