Di Antara Terang dan Gelap Golgota - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Di Antara Terang dan Gelap Golgota

Gregorius Kilok, guru SD Inpres Kota Baru, Nabire, Papua Tengah. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Gregorius Kilok

Guru SD Inpres Kota Baru, Nabire, Papua Tengah

PERJALANAN Yesus menuju Golgota bukan hanya peristiwa historis dalam narasi iman Kristiani. Ia adalah perjalanan ruang dan waktu yang menembus batas sejarah profan dan spiritual. Jalan salib itu menyimpan kedalaman makna yang tak pernah selesai diurai, terutama selama masa Prapaskah dan pekan sengsara.

Yesus tidak sekadar disalibkan. Ia berjalan dalam dua lanskap batin yang bertolak belakang: terang dan gelap. Keduanya berjalan bersama, tetapi menggambarkan dua sisi paling purba dalam diri manusia: kekerasan dan kasih, kebencian dan pengampunan.

Dua wajah

Dalam catatan para penulis Injil, perjalanan Yesus dari Getsemani ke Golgota bukan hanya kisah penderitaan fisik. Ia juga memperlihatkan wajah manusia dalam kondisi ekstrim. Ada yang berteriak menuntut penyaliban. Ada yang menyiksa tanpa perasaan. Ada pula yang mengkhianati, menyangkal, dan melarikan diri.

Di sisi gelap perjalanan ini, kita menemukan para pemimpin agama yang lebih sibuk menjaga posisi dan kuasa ketimbang mencari kebenaran. Ada kebencian, iri hati, ketakutan terhadap perubahan. Dalam kerumunan yang menghakimi, kita menyaksikan cermin masyarakat yang mudah digiring emosi, menolak berpikir, dan membiarkan kekerasan bekerja atas nama kesalehan.

Namun, di sisi terang, Yesus menapaki jalan yang sama dengan laku batin yang berbeda. Di taman Getsemani, Ia bergumul dalam doa. Di hadapan pengadilan, Ia tidak membela diri. Saat diludahi, Ia tidak membalas. Bahkan, ketika dipaku di kayu salib, Ia justru memberi pengampunan: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Di tengah kekacauan dan kekerasan, Yesus tidak menunjukkan kekuatan lewat kuasa, melainkan melalui kelembutan, kesabaran, dan pengorbanan. Dalam diam-Nya, Ia berbicara paling lantang.

Dalam Injil Yohanes (12:24), Yesus menyatakan, “Jika biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja. Tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Perumpamaan ini bukan sekadar metafora pertanian. Ia adalah kunci untuk memahami spiritualitas salib.

Kematian Yesus bukan akhir, tetapi awal dari kehidupan baru. Dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah, Yesus menolak logika dunia yang mengukur kemenangan dengan kekuasaan. Ia justru menyingkap bahwa kehidupan sejati lahir dari pengorbanan. Dalam pengosongan diri, ada kelimpahan. Dalam kematian, ada kelahiran kembali.

Yesus tidak memilih jalan kemuliaan yang instan. Ia memilih jalan sepi, jalan kalah, jalan yang tampaknya sia-sia. Tetapi justru di sanalah benih kehidupan ditanam.

Kematian kecil

Refleksi ini akan kurang bermakna jika hanya berhenti pada kisah Yesus. Sebab, setiap kita pun menapaki jalan Golgota dalam aneka bentuk yang berbeda. Dalam relasi yang rusak, harapan yang pupus, pengkhianatan atau rasa kecewa yang mendalam, kita mengalami apa yang disebut sebagai ‘kematian-kematian kecil’.

Setiap kali kita dilukai, disalahpahami atau merasa tidak berdaya, kita berjalan di jalan salib. Dan dalam setiap kesempatan itu, kita dihadapkan pada pilihan: membalas dengan kemarahan, atau merespons dengan kasih; menutup diri atau membuka hati.

Kematian-kematian kecil itu menjadi ladang di mana benih hidup baru bisa tumbuh. Seperti Yesus, kita pun dipanggil untuk menyerahkan luka dan penderitaan kepada kasih yang lebih besar. Bukan untuk menyangkal rasa sakit tetapi untuk menebusnya dalam terang iman.

Golgota bukan hanya bukit di luar tembok Yerusalem. Ia hadir dalam struktur sosial yang tidak adil, dalam relasi yang timpang, dalam sistem yang memperalat agama untuk kepentingan kuasa. Dalam semua itu, suara yang sama masih bergema, salibkan Dia!

Namun, di tengah dunia yang terus gelap oleh kebencian dan kekerasan, cahaya tetap menyala dari salib. Bukan cahaya yang menyilaukan, tetapi cahaya yang bertumbuh dalam keheningan, pengampunan, dan keberanian untuk menyerahkan diri demi kehidupan orang lain.

Setiap Prapaskah, kita diajak menapaki ulang jalan itu. Bukan sebagai ritual kosong, melainkan sebagai proses pembaruan. Kita diajak untuk melihat kembali pada pertanyaan reflektif. Apakah kita bagian dari kerumunan yang menghukum atau bagian dari mereka yang memilih setia, meski harus menderita?

Dalam dunia yang terus menuntut menang dan kuat, Yesus menunjukkan jalan lain: jalan yang terang justru lahir dari pelukan pada yang gelap. Golgota memang jalan sengsara, tetapi juga jalan menuju kebangkitan.

Tinggalkan Komentar Anda :