Oleh Yefta Lengka
Aktivis dan Pemerhati Sosial asal Wamena
DATA Badan Pusat Statistik (BPS) Papua per Maret 2024 mengungkapkan, Provinsi Papua Pegunungan (Lapago) menempati urutan pertama dengan angka 365,43 ribu jiwa belum bisa memenuhi kebutuhan ekonomi. Sedangkan urutan kedua adalah Provinsi Papua Tengah (Mepago) sebanyak 308,48 ribu jiwa belum memenuhi kebutuhan ekonomi.
Urutan ketiga adalah Papua (Mamta dan Saireri) 152,91 ribu jiwa. Urutan keempat adalah Papua Barat (Bomberai) dengan angka 110,16 ribu jiwa. Kemudian urutan kelima adalah Papua Barat Daya (Domberai) dengan angka 102,27 jiwa. Lalu, terakhir adalah Papua Selatan (Ha-Anim) dengan angka 92,20 ribu jiwa.
CNBC Indonesia mencatat, berdasarkan data BPS tahun 2023, Papua menduduki peringkat pertama provinsi termiskin. Angka kemiskinan di bumi Cendrawasih mencapai 26,03 persen. Posisi kedua yaitu Papua Barat dengan persentase kemiskinan masih di angka 20,49 persen. Kemiskinan di Papua melesat karena ekonominya jatuh.
Ekonomi Papua sempat terkontraksi sebesar 2,39 persen (year on year) pada kuartal pertama hingga 2023 tetapi kemudian tumbuh 3,41 persen pada kuartal kedua hingga 2023. Tingkat pengangguran terbuka di Papua juga melesat menjadi 3,49 persen per Februari 2023 dari 2,83 persen per Agustus 2022.
Kehidupan moyang orang Papua
Moyang orang Papua adalah orang-orang gagah perkasa dalam bekerja. Mereka hidup mandiri. Mereka mengatur dan mengatasi persoalan ekonomi sendiri tanpa melibatkan bangsa lain. Mereka mengolah tanah sebagai sumber makanan. Mereka hidup dan bergantung pada alam sebagaimana mestinya mereka harus hidup.
Mereka paham hukum alam. Mereka tidak bisa bahkan tidak pernah melawan hukum alam. Walaupun kehidupan mereka tidak seperti saat ini. Mereka memiliki hukum diplomasi, memiliki hukum dalam perang (sistem pertahanan), sistem kesehatan (etnomedisin), pendidikan, ekonomi serta ilmu astronomi dan tanda-tanda alam tentang masa dan waktu dan masih banyak lainnya.
Moyang orang Papua takut dan malu terhadap orang lain ketika ia tidak bisa bekerja dan memberi makan keluarganya. Dengan demikian mereka harus kerja keras untuk hidup sebagai orang Papua yang mandiri dan memiliki masa depan.
Moyang orang Papua memiliki batasan-batasan dalam segala hal sehingga selalu berbicara dan bertindak hati-hati, tidak sembarang. Mereka tahu diri, tahu teman, dan tahu tempat di mana harus berbicara dan melakukan.
Setelah tahun 1855 yang merupakan tahun dimana dua misionaris asal Jerman yaitu Ottow dan Geissler mendarat di Pulau Mansinam, Manokwari untuk mengabarkan tentang Injil Kristus. Kehidupan orang Papua (pesisir) berubah sesuai perkembangan pemberitaan Injil. Injil telah mengubah beberapa aspek dalam kehidupan termasuk perekonomian.
Setelah hampir satu abad, sekitar tahun 1955 atau 1956 Injil tiba di daerah pegunungan Papua, Dengan demikian orang Papua di daerah pegunungan mengenal Injil. Ini juga telah mengubah sebagian aspek kehidupannya. Setelah itu orang Papua mengenal budaya pemerintahan melalui pemerintah Belanda dan Indonesia.
Budaya pemerintahan telah mengubah hampir 95 persen kehidupan orang Papua. Dalam budaya pemerintahan, Sistem pendidikan orang Papua diubah, sistem pertahanan dihapus, sistem kesehatan dihilangkan, sistem kepercayaan menjadi kacau dan tidak jelas dan masih banyak lainnya yang tidak uraikan secara terperinci.
Namun penulis menyadari, kemiskinan adalah suatu masalah. Budaya pemerintahan telah menciptakan ketergantungan ekonomi pada negara. Dengan demikian banyak orang Indonesia hari ini menjadi miskin dan mati secara perlahan.
Kehidupan dan kemiskinan
Ketergantungan terhadap pemerintah Indonesia tidak hanya terdengar di telinga. Melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua hari ini. Orang Papua telah menciptakan suatu budaya baru yaitu budaya ketergantungan. Budaya ketergantungan ini adalah budaya tercipta secara terang-terangan, sistematis, terstruktur dan masif di kalangan orang Papua.
Budaya ini tercipta akibat beberapa hal di antaranya adalah peran masyarakat diambil alih pemerintah, Waktu produktif diambil alih pemerintah, pemberian bantuan kepada masyarakat dalam bentuk uang dan bahan makanan, termasuk fasilitas umum lainnya. Pada akhirnya orang Papua tidak mau bekerja keras untuk hidup sebagai manusia yang mandiri. Hal inilah yang menciptakan kemiskinan.
Apakah orang Papua miskin?
Awalnya nenek moyang tidak mengenal kata miskin. Kecuali lapar karena malas. Kata miskin baru di kenal oleh masyarakat Papua melalui Pemerintahan Indonesia dalam beras untuk rakyat miskin (raskin) yang sebenarnya sebagai bentuk penghinaan terhadap orang Papua.
Dengan demikian, orang Papua tidak miskin. Sebab orang Papua adalah pemilik negeri yang sah. Orang Papua adalah pewaris negeri yang sah. Orang Papua adalah pemilik tanah yang sah. Lalu bagaimana mungkin orang asing mengatakan orang Papua adalah miskin?
Orang Papua akan menjadi miskin apabila telah menjual habis tanahnya. Jika ini terjadi, maka tidak ada lagi pijakan bagi orang Papua. Dengan kata lain, orang Papua menunggu kematian. Tetapi jika orang Papua masih menjadi pemilik tanah yang sah, berarti label yang digunakan dan diberikan pemerintah Indonesia adalah salah dan tidak benar. Yang lebih tepat adalah orang Papua tidak mau bekerja. Etos kerja orang Papua telah berubah atau menurun.
Apakah orang Papua dimiskinkan?
Jawabannya adalah ya dan benar. Orang Papua dimiskinkan secara terang-terangan, sistematis, terstruktur dan masif di atas negerinya sendiri. Bagaimana kita melihat hal ini terjadi? Penulis telah mengamati dan ikut serta dalam kehidupan orang Papua akhir-akhir ini.
Triliunan rupiah digelontorkan oleh pemerintah Indonesia ke Papua namun tidak menghasilkan apa-apa. Dengan demikian orang Papua dimiskinkan oleh beberapa hal. Pertama, Pemerintah Indonesia menggantikan posisi Papua penyedia bahan makanan. Seolah-olah di Papua tidak ada tanah.
Kedua, pemerintah menjadi penyalur bahan makanan dan minuman secara aktif. Dengan demikian masyarakat menjadi konsumen aktif. Dan tingkat kesadaran produktif mulai tersingkir. Ketiga, masyarakat menjadi penerima aktif bantuan langsung tunai tanpa mengerjakan apapun untuk dirinya dan pemerintah.
Otonomi khusus, dana desa, bantuan dana hibah dan lainnya telah membuat orang Papua tidak bisa berpikir untuk hidup produktif. Keempat, masyarakat menjadi penerima hasil produk luar negeri dan lain sebagainya.
Selain itu, Pemerintah Indonesia berhasil menciptakan penyakit sosial di kalangan masyarakat Papua. Beberapa penyakit sosial yang paling masif, sistematis, dan terstruktur adalah perjudian, minuman keras dan narkoba serta pelaku seks komersial di tanah Papua secara ilegal.
Penyakit-penyakit ini sangat menagih. Dengan demikian waktu produktif anak-anak muda di tanah Papua habis di perjudian, minuman keras, narkoba dan lain sebagainya.
Sikap ketergantungan
Sekali-kali tidak. Penyakit ini harus diberantas dari akar-akarnya. Ini adalah penjajahan secara terang-terangan, sistematis, terstruktur dan masif. Tidak ada negara yang menginginkan rakyatnya mati di tangan pemerintahan yang sah.
Akan tetapi Pemerintah Indonesia rupanya telah lama merahasiakan hal ini. Kini, rahasia itu terbongkar melalui data dan fakta atas situasi dan keadaan orang Papua hari ini. Oleh karena itu ada dua langkah penting yang harus dilakukan.
Pertama, orang Papua harus bisa melawan diri sendiri. Setiap orang Papua harus bisa memutuskan rantai ketergantungan dalam dirinya. Hal ini mencakup bahan makanan, pakaian dan rumah. Setiap orang Papua bisa melawan budaya ketergantungan jika ia berhasil mengalahkan musuh dalam dirinya.
Kedua, orang Papua harus kembali kepada habitatnya yaitu berkebun dan tokok sagu. Menghidupkan kembali pangan lokal adalah satu-satu cara untuk melawan stigma “miskin” dari Pemerintah Indonesia.
Tuan rumah tidak dapat berunding dengan maling. Tuan rumah tetap tuan rumah. Menghidupkan kembali pangan lokal berarti mengatur ulang pola makan dan IQ yang selama kita gunakan adalah IQ palsu hasil Indomie dan mie instan lainnya.