ABEPURA, ODIYAIWUU.com — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Yan Permenas Mandenas buka suara terkait silaturahmi yang diisi diskusi bersama sejumlah pimpinan organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) dan pimpinan mahasiswa di Papua di Cafe Socio Culture, Abepura, Papua, Selasa (19/4) lalu.
“Silaturahmi diisi dengan diskusi bersama beberapa OKP dan mahasiswa pukul 16.00 WIT. Undangan dikirim melalui pesan singkat, tidak ada yang dibatasi, siapa saja boleh datang untuk kegiatan tersebut. Kegiatan ini adalah murni silahturahmi bersama pimpinan OKP dan pimpinan mahasiswa,” kata Yan Mandenas kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Sabtu (23/4).
Menurut Mandenas, anggota Komisi I DPR Dapil Papua itu, setelah diskusi sudah berjalan satu jam, sekitar pukul 17.00 ada kelompok baru yang tiba-tiba masuk. Dalam kelompok tersebut ada Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Uncen, menggunakan jaket almamater warna kuning dan memperkenalkan diri. Kemudian Ketua MPM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa) Uncen (menggunakan almamater kuning dan memperkenalkan diri) dan beberapa mahasiswa yang memperkenalkan diri dari Fakultas Ilmu Sosial Politik, dan yang lainnya tidak memperkenalkan diri.
“Saat saya masih berbicara, mereka tiba-tiba angkat tangan dan menyuruh saya untuk diam dan mulai dengan kata-kata yang cukup keras. ‘Anda diam! Kami mau berbicara. Anda pengkianat’, dan lain-lain. Kata-kata ini sudah direkam semua dalam video. Seperti yang beredar di dalam video, mereka langsung menguasai forum tanpa memberikan kesempatan kepada yang lain. ‘Ade bos bicara saja. Kaka dengar’. Saya bilang begitu. Ya, sebagai kakak mereka, saya memilih diam, mempersilahkan mereka untuk berbicara,” ujar Mandenas, politisi muda Partai Gerindra.
Menurutnya, kurang lebih 40 menit para mahasiswa bicara ada beberapa orang merekam video, pembicaraan mereka ditutup dengan pembacaan rekomendasi oleh Ketua BEM Uncen. Rekomendasi tersebut mengatasnamakan seluruh mahasiswa dan masyarakat Papua. Setelah dibacakan kemudian diserahkan dan berfoto bersama.
“Setelah foto bersama, saya persilahkan adik-adik mahasiswa ini untuk duduk agar mendengar jawaban saya dari semua pernyataan yang mereka ajukan. Namun, mereka tidak mau duduk dan langsung keluar sambil berteriak. Satu dari antara mereka mencoba mengusir teman-teman mahasiswa OKP lainnya yang sudah mengikuti acara silahturahmi ini dari awal, tetapi tidak ada yang mendengar mahasiswa karena mereka juga tidak menghargai forum,” ujar Mandenas.
Setelah para mahasiswa keluar, diskusi dilanjutkan hingga pukul 19.30 WIT. Diskusi semakin menarik karena banyak pertanyaan yang kemudian dijawab satu persatu oleh Mandenas. Dalam narasi video, terkesan mahasiswa membubarkan silaturahmi dan diskusi bersama OPK dan pimpinan mahasiswa. Padahal, para mahasiswa tidak menghargai forum dan memilih keluar.
Tolak pemekaran
Saat berlangsung pertemuan, para mahasiswa yang tergabung dalam BEM dan MPM Universitas Cenderawasih menyampaikan pernyaan sikap terkait pemekaran daerah otonom baru (DOB) di Papua. Pemekaran dinilai sebagai produk Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 yang dipaksakan Jakarta. Pemekaran dinilai sebagai kebijakan elit Jakarta dan elit politik di Papua dengan kepentingan perluasan basis invasi militer, transmigrasi, investasi asing, dan perluasan budaya barat ke Papua.
“Kami melihat dengan kebijakan negara Indonesia tanpa mempertimbangkan sudut pandang rakyat Papua tentang pemekaran daerah otonomi baru di tanah Papua. Hal ini dibuktikan dengan berbagai aksi penggalangan petisi rakyat Papua tolak Otsus Jilid II sejak 4 Juni 2020 hingga saat ini. Selain itu aksi demonstrasi yang dilakukan rakyat Papua sejak awal pembahasan otsus awal Maret hingga 1 April 2022,” kata BEM dan MPM Uncen melalui keterangan tertulis yang dikirim Ketua Umum BEM Uncen Abniel Doo kepada Odiyaiwuu.com dari Abepura, Papua Jumat (22/4).
Mencermati kecenderungan elit politik Jakarta bersama elit politik Papua menjadi kontradiktif atas pandangan rakyat Papua yang tegas menolak berbagai kebijakan hukum dan politik pemekaran karena kebijakan itu dibuat pusat, bukan murni aspirasi rakyat Papua tetapi segelintir elit politik yang memiliki kepentingan jabatan dan kekuasaan baru di Papua.
Pihak BEM dan MPM Uncen menilai, dengan dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat saja terjadi banyak pelanggaran HAM di tanah Papua. Rakyat Papua memandang pemekaran sebagai terminal pemusnahan ras dan etnis orang asli Papua. Ketika terjadi pemekaran akan ada Kodim, Batalyon, Polda, dan perluasan basis militer di Papua.
Para mahasiswa juga menilai, militer menjadi salah satu pelaku kekerasan terbesar di Papua dengan fakta yang terlihat selama ini. Misalnya, 67 ribu pengungsi di Nduga, Intan Jaya, Oksibil, Kiwirok, Maybrat, Yahukimo, dan Puncak Jaya akibat operasi yang dilakukan TNI-Polri.
Pemekaran DOB merupakan instrument politik pecah belah sesama orang Papua dan alat diskriminasi rasial sesama rakyat pribumi Papua. Pemekaran DOB merupakan instrumen Jakarta menghancurkan eksistensi kehidupan rakyat Papua serta sumber daya alam.
Ada sejumlah poin yang merupakan sikap para mahasiswa. Pertama, bersama seluruh lapisan masyarakat Papua menolak tegas pemekaran daerah otonomi baru di atas tanah Papua. Kedua, rakyat Papua menolak dengan tegas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 diterapkan di Papua. Ketiga, rakyat Papua mendesak negara segera menarik 627 militer organik dan non-organik dari beberapa daerah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Oksibil, Maybrad, Yahukimo, Puncak Jaya, dan Papua umumnya yang sudah dikirim dalam skala yang besar.
Keempat, rakyat Papua mendesak kepada elit politik Papua dalam hal ini Gubernur Papua Lukas Enembe segera mencabut surat perijinan pertambangan khususnya Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) PT Mining Industry Indonesia. Kelima, rakyat papua menolak tegas negara Indonesia berhenti membuka ladang eksploitasi sumber daya alam di Papua. Keenam, rakyat Papua mendesak negara Indonesia segera membuka akses untuk Komisi Tinggi HAM PBB datang ke Papua guna menginvestigasi persoalan pelanggaran HAM di Papua.
Ketujuh, mahasiswa Universitas Cenderawasih mendukung penuh Petisi Rakyat Papua (PRP) menolak segala tawaran boneka Jakarta. Kedelapan, mahasiswa bersama rakyat Papua mendesak DPR RI segera melakukan sidang paripurna mencabut Undang-Undang Otsus Jilid 2 dan menghentikan wacana pemekaran daerah otonomi baru di atas tanah Papua. Kesembilan, rakyat Papua menuntut hak penentuan nasib sendiri atau kemerdekaan Bangsa West Papua. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)