Pria Asal Papua Ajukan Judicial Review ke MK Karena Tak Bisa Menikahi Wanita Muslim - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Pria Asal Papua Ajukan Judicial Review ke MK Karena Tak Bisa Menikahi Wanita Muslim

Elias Ramos Petege, pria lajang asal Papua mengajukan judicial review atau uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Foto: Ansel Deri/Odiyaiwuu.com

Loading

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Elias Ramos Petege, seorang pria lajang asal Papua mengajukan judicial review atau uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Judicial review ditempuh Ramos setelah ia mengalami kesulitam menikahi Michella Putri (nama rekaan) gadis pilihannya, seorang wanita Muslim warga negara Indonesia.

“Saya mengajukan judicial review karena negara dalam hal ini pemerintah tidak menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara dalam kebebasan untuk memilih agama, kebebasan memilih dan menentukan pasangan hidupnya, hak atas membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah,” ujar Ramos Petege saat dihubungi Odiyaiwuu.com melalui sambungan telepon selular di Jakarta, Senin (7/2).

Pria Papua asal Kabupaten Dogiyai itu menambahkan, pemerintah melalui UU itu tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai perkawinan beda agama sesuai Pasal 2 UU tersebut sehingga pada implementasinya mengalami tantangan atau penolakan atas perkawinan beda agama. Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 dan 28 UUD 1945. Aturan yang tegas itu, katanya, berpotensi mengandaskan cintanya dengan Putri, gadis berdarah Arab warga negara Indonesia, menuju bakhtera rumah tangga sebagai pasangan suami-isteri (pasutri) yang sah.

“Setelah mengajukan judicial review, saya berharap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengabulkan atau menerima gugatan saya selaku pemohon agar hak asasi kami sebagai warga negara terlindungi dan terjamin, terutama hak memiliki pasangan berbeda agama yang sudah saling mengasihi dan mencintai satu sama lain sehingga hak-hak kami sebagai warga negara dilindungi negara,” kata Ramos Petege lebih lanjut.

Menurut Ramos Petege, gugatan ini bukan untuk dirinya sebagai pribadi selaku warga negara tetapi agar semua warga negara yang cintanya kandas berlabuh di hati gadis pilihannya gara-gara beda agama. Pihaknya berharap agar para hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara ini secara adil berdasarkan konstitusi, dan bukan berdasarkan kitab suci agama tertentu. “Cinta tak bisa ditentukan oleh iman, tetapi pilihan atas kehendak bebas sesuai hati nurani dan dijamin UU,” tandas Ramos Petege.

Alasannya, perkawinan dengan wanita pilihannya merujuk juga pada arti dan esensi perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. “Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional,” katanya menambahkan.

Situs resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Senin (7/2) melansir berita Ramos Petege mengajukan judicial review terhadap UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, Undang-Undang Perkawinan menyebabkan dirinya tidak bisa menikah dengan wanita Muslim. Pemohon adalah warga negara perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam.

“Akan tetapi setelah menjalin hubungan selama tiga tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda,” ujar Ramos Petege dalam permohonannya yang dilansir website MK, Senin (7/2).

Dalam Undang-Undang Perkawinan, diatur syarat sahnya suatu perkawinan yang tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda. Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menyebutkan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

“Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinannya karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara,” kata Ramos Petege.

Di MK, gugatan Rames Petege pernah diputus dan hasilnya ditolak dalam putusan Nomor 68/PUU-XII/2014. Namun Ramos Petege menilai permohonannya berbeda dan bukan nebis in idem. “Karena tentunya terdapat perbedaan dalam hal konstitusionalitas yang menjadi alasan diajukannya permohonan,” ujar Ramos Petege.

Menurut Ramos Petege, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Sebab, negara tidak mencampuri urusan ibadah agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia akan tetapi menjamin keberlangsungan peribadatan tersebut dapat terlaksana dan terpenuhi dengan baik.

“Perkawinan yang dilangsungkan secara beda agama tetap berlandaskan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilaksanakan melalui ketentuan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing calon pasangan sebagai suatu hak asasi manusia yang bersifat adikodrati dan merupakan hak privat antara individu dengan Tuhan Yang Maha Esa,” kata Ramos Petege.

Selain itu, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan juga dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Sedangkan Pasal 2 berbunyi, perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan ayat 2 secara jelas menyebutkan, yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU HAM tersebut secara jelas menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan adanya kehendak bebas (tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan dari pihak manapun) dari calon pasangan.

“Oleh karena itu, sejatinya perkawinan (beda agama) merupakan bagian dari hak kodrati yang melekat pada diri seseorang yang tidak dapat dipaksakan oleh negara melalui perangkat hukum yang dibentuknya dan terhadap Pasal 2 ayat (1) dalam perkara a quo bahwa perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama untuk menentukan secara bebas akan tunduk pada hukum agama dan kepercayaannya tertentu dalam melangsungkan perkawinannya,” urai Ramos Petege. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :