Oleh Dr Otto Gusti Madung, SVD
Doktor Filsafat lulusan Hochschule für Philosophie, München, Jerman
BEBERAPA waktu lalu Ferdy Sambo telah dijatuhi hukuman mati. Putusan pengadilan ini menuai kontroversi. Sebagian warga mendukung putusan tersebut, namu para aktivis hak asasi manusia pada umumnya menolak putusan hukuman mati karena hukuman mati dianggap bertentangan dengah hak-hak asasi manusia, terutama bertentangan dengan prinsip martabat manusia sebagai landasan moral faham hak asasi manusia. Dalam tulisan ini saya ingin meneropong persoalan hukuman mati dari perspektif salah satu doktrin komprehensif yakni ajaran teologi Katolik.
Pada tanggal 2 Agustus 2018 Paus Fransiskus mengumumkan perubahan Pasal 2267 Katekismus Gereja Katolik tentang hukuman mati. Teks perubahan tersebut menegaskan bahwa hukuman mati ditolak secara kategoris oleh Gereja Katolik. Alasannya, kejahatan tidak pernah dapat menghilangkan martabat manusia. Gereja Katolik juga berjuang untuk menghapus praktik hukuman mati di seluruh dunia karena bertentangan dengan prinsip martabat manusia.
Akar konsep martabat manusia dalam Gereja Katolik dan masyarakat sekuler kontemporer pada umumnya dapat ditelusuri hingga tradisi filsafat Yunani Kuno yakni Stoa yang memahami martabat, dignitas, sebagai sesuatu yang mendasari perbedaan peringkat sosial. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan perbedaan peringkat sosial di dalam masyarakat tertentu, tapi menjadi pernyataan yang bersifat universal.
Martabat mengartikulasikan perbedaan manusia dari makhluk hidup lain dan memberi pendasaran bagi posisi khusus manusia di tengah kosmos. Hal ini berkaitan dengan status khusus yang dimiliki oleh semua manusia karena keanggotaannya dalam komunitas umat manusia. Dengan demikian, konsep martabat memainkan peran yang membedakan dan mempersatukan sekaligus.
Ambivalensi antara perbedaan dan kesetaraan yang terkandung dalam konsep martabat kemudian diambilalih oleh Kekristenan awal yang dari perspektif etis sangat berorientasi pada pemikiran Stoa. Teks biblis utama yang menghubungkan konsep filosofis tentang martabat dengan tradisi religius adalah gambaran tentang manusia sebagai citra Allah dalam Genesis 1: 26-28.
Kisah penciptaan memberikan pendasaran atas pandangan martabat yang khusus lewat gambaran tentang manusia sebagai citra dan ciptaan Allah. Pembicaraan tentang citra bernuansa positif karena mengungkapkan posisi khusus manusia di tengah kosmos. Sementara itu, ungkapan ciptaan lebih bernada negatif. Ia menunjuk kepada sejumlah perintah dan pembatasan kodrati yang membatasi penguasaan atas dunia alamiah dan sosial.
Paradigma tentang ciptaan dari awal mula mengandung ambivalensi. Ungkapan manusia sebagai ciptaan di satu sisi menekankan ketergantungan kemampuan dan hak manusia pada otoritas ilahi. Di sisi lain, manusia dipandang sebagai ciptaan khas dengan martabat yang khusus dan diangkat sebagai partner yang mengambil bagian dalam kehendak penciptaan Ilahi dengan status penguasa yang otonom atas konstelasi duniawi yang bekerja menurut hukumnya sendiri.
Interpretasi kekristenan awal tentang konsep martabat manusia memberikan penekanan pada posisi khusus yang setara bagi semua manusia di tengah kosmos karena keanggotaannya pada komunitas umat manusia. Pemahaman yang egaliter tentang martabat mulai nampak lebih jelas dalam Kekristenan purba. Pada masa ini Paulus merelativisasi dan menggugat perbedaan antara “orang Yahudi dan Yunani, budak dan tuan, laki-laki dan perempuan” dalam hubungan dengan persatuan di dalam Kristus (Gal 3:28).
Namun dalam perjalanan sejarah pandangan biblis tentang martabat bersama semua manusia dibatalkan oleh pandangan teologis yang memberikan penekanan berlebihan pada persoalan dosa. Pengakuan Gereja Katolik terhadap hukuman mati sebelum tahun 2018 antara lain berakar pada konsep teologi yang terlalu memberi penekanan pada dosa ini. Selain itu, pandangan tentang persekutuan umat manusia semakin luntur berhadapan dengan penekanan pada perbedaan antara agama dan perbedaan internal agama antara yang saleh dan yang sesat.
Akhirnya hierarki Gereja terbentuk dengan mengikuti pola tatanan masyarakat feodal. Perkembangan ini berujung pada dominasi pemahaman yang feodal tentang konsep martabat. Sebuah pemahaman yang menekankan aspek perbedaan antara manusia.
Atas dasar ini, pada abad modern dalam gerakan penolakan atas interpretasi teologis dan praksis politis yang dilegitimasi secara religius terdapat usaha untuk menemukan kembali makna egaliter dari konsep martabat manusia. Hal ini muncul secara kasat mata dalam gelora antiklerikalisme Revolusi Prancis yang memberikan pendasaran pada faham hak asasi manusia dengan merujuk pada konsep dasar sekuler tentang kebebasan, kesetaraan dan solidaritas.
Revisi katekismus menunjukkan bahwa gereja Katolik ingin kembali ke semengat dasar biblis tentang manusia sebagai citra Allah yang tidak dapat dihilangkan oleh siapa pun kendatipun manusia itu jahat atau jatuh ke dalam dosa. Sakramen pengakuan menegaskan bahwa ketika manusia berdosa status citra Allah itu tidak pernah hilang. Harapan ini membuka peluang akan pengampunan dosa.
Kalau Tuhan Allah Yang Mahakuasa saja tidak mampu menanggalkan status ontologis manusia sebagai citra Allah (martabat manusia), maka manusia sebagai makhluk yang kontingens dan terbatas pasti tidak mampu melakukan itu dan tidak perlu bertindak arogan untuk mengampil posisi Tuhan untuk menentukan mati hidupnya seseorang.