Kisah Orang Asli Papua dari Paniai Bertaruh Peluh di Kali Nabarua Demi Memenuhi Kebutuhan Hidup - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Kisah Orang Asli Papua dari Paniai Bertaruh Peluh di Kali Nabarua Demi Memenuhi Kebutuhan Hidup

Alpen Tatogo, pemuda asli Papua dari Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah. Foto: Eman You/Odiyaiwuu.com

Loading

ENAROTALI, ODIYAIWUU.com — Suatu siang di Kali Nabarua. Terik mentari membakar ubun-ubun. Keringat mengucur di sekujur tubuh Alpen Tatogo. Pun rekan-rekan Alpen, sesama anak muda asli Papua dari Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah.

Alpen bersama rekan-rekannya sesama anak muda dari suku Dani dan suku Mee tak bergeming. Panas yang menyengat bahkan membakar punggung adalah ujian yang setia dilewati di bantaran Kali Nabarua. 

Aplen dan rekan-rekannya setia menunggu truk yang lalu lalang keluar dan masuk area Kali Nabarua.  Truk-truk itu saban hari menyambangi bantaran kali itu untuk mengambil material seperti batu, kerikil maupun pasir.

Mata pemuda Alpen, pria orang asli Papua asal suku Mee setia mengawasi material baik batu, kerikil maupun pasir yang ia kumpulkan agar segera terjual demi menghidupi ekonomi keluarga. 

Sesekali, Alpen, pria kelahiran 17 Agustus 1979 di Minou, Kampung Uwebutu, Distrik Deiyai Miyo, Kabupaten Paniai, menatap material yang ia kumpulkan agar segera laku sehingga asap dapur keluarganya tetap mengepul.

“Saya kumpul batu ini lalu jual satu reit (truk) truk seharga 1 juta rupiah. Kalau dua reit harganya 2 juta rupiah, dan seterusnya. Satu reit itu langsung disekop kasi naik di truk,” ujar Alpen kepada Odiyaiwuu.com di Kali Nabarua, Kampung Kali Harapan, Distrik Nabire, Papua Tengah, Kamis (25/4).

Saban hari, Alpen bersama rekan-rekannya mengakrabi bantaran demi menjaga kelangsungan ekonomi keluarga. Alpen mengaku, setiap hari ia mengumpulkan batu, kerikil, dan pasir untuk dijual kepada calon pembeli.

“Setelah batu, kerikil, dan pasir terkumpul, kemudian saya jual ke calon pembeli dan dibawa truk yang hampir setiap saat datang dan jumlahnya mencapai belasan unit,” ujar Alpen lebih lanjut.

Pria berbadan mungil ini menceritakan, ia mulai mengumpul batu sejak tahun 1994 hingga kini tahun 2024. Perjalanan waktu yang sudah 30 tahun tak melumpuhkan pemuda asli Papua ini. 

Kesetiaannya menggeluti profesi sebagai buruh kasar mengumpulkan batu, kerikil dan pasir adalah opsi yang ia ambil. Alpen, pria asal Bunauti Kebo, setia dengan profesinya demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sejak tahun 1994 hingga saat ini ia setia mengumpulkan batu, kerikil, dan pasir. Artinya, sudah 30 tahun ia geluti pekerjaan itu atas nama menjaga kelangsungan hidupnya dan keluarga. 

“Hasilnya, saya bisa penuhi kebutuhan hidup saya, om. Kali Nabarua ini seperti kantornya saya karena itu setiap hari saya harus masuk ‘kantor’. Kalau tidak saya mau kemana dan kalau tidak kumpul batu saya mau makan, minum dengan uang dari mana? Bantaran Kali Nabarua sudah kantor saya selama 30 tahun lebih,” kata Alpen dengan mata sembab. 

Kerja keras dan ketabahan selama mengumpulkan batu, kerikil dan pasir di bantaran Kali Nabarua berujung berkat. Alpen mengaku, ia mampu menghasilkan 3 hingga 4 juta per bulan. Sehingga selama ini ekonomi keluarganya tidak pernah goyah. Batu, kerikil, dan pasir adalah juruselamat ekonomi Alpen. Kebutuhan primer maupun sekunder terpenuhi meski dalam skala kecil.

Selain mengumpul batu ia juga kerap membantu mengambil pasir kemudian dimasukkan dalam truk sekadar menambah pemasukan. Kendati demikian, Alpen mengaku mengumpulkan batu, kerikil dan pasir adalah sumber penghasilan tetap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Sering saya ikut-ikut truk, jalan angkat batu dan pasir tapi itu usaha sampingan. Sekadar cari untuk beli kopi, gula atau rokok. Kalau saya kumpul batu saya dapat uang besar jadi saya mau bikin apa saja bisa,” ujar Alpen.

Tampaknya, di kali itu bukan hanya si pemuda tersebut yang terlihat mengumpulkan batu untuk kemudian ditukar menjadi rupiah. Namun beberapa ibu dan laki-laki umur separuh baya ikut mengumpulkan batu di sekelilingnya.

Suasana di kali tersebut berangin kencang. Debu beterbangan dan bisa mengancam kesehatan. Apalagi saat itu, baru setengah jam bersua dengan Alpen, terik matahari membakar tubuh. Namun, panas tak menjegal semangat kerja pemuda ini. Banyak rekan Alpen juga selalu menutup hidung agar terhindar dari debu.

“Kalau makan siang biasanya saya bakar pisang dan singkong yang saya tanam di sekitar kali ini. Di sana saya buat kebun dan saya tanam singkong, keladi dan pisang. Jadi kalau lapar tinggal saya ambil, bakar dan makan,“ ujar Alpen sembari menunjuk kebun yang diolahnya tak jauh dari bantaran sungai.

Sebuah truk yang baru saja tiba menghentikan dialog. Alpen mohon ijin pamit sambil bergerak mendekati truk yang baru saja tiba. Pemuda asli Papua itu bergerak cepat atas nama rezeki yang menghampirinya. 

“Sa pamit dulu, om. Ada satu truk yang masuk untuk muat batu. Doakan, semoga kita sehat selalu dan penuh berkat Tuhan melalui profesi dan karya kita masing-masing,” kata Alpen. (Eman You/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :