OPINI  

Yerusalem: Kota Suci yang Menjadi Sumber Luka Dunia

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

YERUSALEM — kota kecil di jantung Timur Tengah ini — telah menjadi pusat perhatian dunia selama ribuan tahun. Bagi tiga agama besar Abrahamik, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam, Yerusalem bukan sekadar tempat suci, tetapi juga simbol iman, sejarah, dan identitas. Namun, justru karena kesucian itulah kota ini berubah menjadi sumber pertikaian tak berkesudahan. Statusnya yang tumpang tindih secara religius dan politis menjadikannya titik paling sensitif dalam konflik Israel–Palestina, bahkan menjadi pemicu dukungan global yang memperpanjang luka di tanah yang disebut “kota damai”.

Yerusalem bagi Tiga Agama: Satu Kota, Tiga Iman

Bagi umat Yahudi, Yerusalem adalah jantung rohani bangsa Israel. Di sinilah “Bait Suci” — tempat yang dipercaya sebagai kediaman YHWH — pernah berdiri. Dinding Ratapan (Western Wall), sisa tembok Bait Suci Kedua yang dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 M, hingga kini menjadi tempat doa dan ziarah yang paling suci. Yerusalem melambangkan pengharapan akan kembalinya kejayaan bangsa Israel dan pemenuhan janji Tuhan kepada Abraham tentang tanah perjanjian. Dalam doa-doa mereka, umat Yahudi selalu berkata: “L’shana haba’ah b’Yerushalayim” — tahun depan di Yerusalem.

Bagi umat Kristen, Yerusalem memiliki makna yang tak kalah mendalam. Di kota inilah Yesus mengajar, disalibkan, mati, dan bangkit. Gereja Makam Kudus berdiri sebagai simbol kasih penebusan yang menjadi inti iman Kristen. Sejak abad keempat, Yerusalem menjadi tempat ziarah utama bagi umat Kristiani dari berbagai belahan dunia, sebagai tanda iman kepada Kristus yang bangkit. Namun bagi sebagian besar gereja, Yerusalem tidak hanya milik Israel atau Palestina — melainkan milik umat manusia yang percaya kepada kasih Allah yang universal.

Sementara bagi umat Islam, Yerusalem disebut Al-Quds — kota suci ketiga setelah Mekah dan Madinah. Di kota inilah berdiri Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu (Dome of the Rock), tempat Nabi Muhammad melakukan perjalanan Isra Mi’raj menuju langit. Sejak masa Khalifah Umar bin Khattab pada abad ke-7, umat Islam menjaga Yerusalem sebagai simbol keagungan Islam dan bukti kedekatan spiritual dengan para nabi terdahulu. Al-Aqsa tidak hanya simbol keimanan, tapi juga harga diri dan solidaritas umat Islam sedunia.

Dari tiga pandangan ini, jelas bahwa Yerusalem bukan hanya kota fisik, melainkan simbol iman yang paling dalam bagi ketiga agama Abrahamik. Namun, di balik makna spiritual itu, muncul benturan antara keyakinan teologis dan klaim politik.

Ketika Kesucian Menjadi Klaim Kekuasaan

Yerusalem tidak hanya menjadi rumah doa, tetapi juga panggung kekuasaan. Sejak perang 1967, Israel merebut Yerusalem Timur dari Yordania dan kemudian menegaskan bahwa Yerusalem adalah “ibu kota abadi dan tak terbagi” milik bangsa Israel. Bagi mereka, penguasaan Yerusalem adalah pemenuhan nubuat dan pembenaran atas eksistensi negara Yahudi di tanah leluhur.

Namun bagi bangsa Palestina, Yerusalem Timur — termasuk kompleks Al-Aqsa — adalah ibu kota masa depan negara Palestina. Penguasaan Israel atas wilayah itu dianggap sebagai bentuk penjajahan dan pelanggaran hukum internasional. Resolusi PBB No. 478 tahun 1980 bahkan menolak klaim Israel atas Yerusalem sebagai ibu kota, namun Israel tetap bersikeras mempertahankannya.

Ketegangan semakin meningkat ketika pada tahun 2018, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah ini disambut sukacita oleh pemerintah Israel, namun memicu kemarahan luas di dunia Islam. Banyak negara Muslim menganggap kebijakan tersebut sebagai pengakuan sepihak terhadap klaim Israel dan pengkhianatan terhadap aspirasi Palestina.

Keputusan ini juga memperlihatkan bahwa Yerusalem bukan sekadar urusan dua bangsa, melainkan medan perebutan legitimasi antara kekuatan dunia yang membawa bendera agama masing-masing.

Agama dan Politik: Api yang Menyala dari Iman

Konflik Yerusalem tidak bisa dilepaskan dari peran agama yang dipolitisasi. Ketiga agama besar ini pada dasarnya mengajarkan kasih, keadilan, dan perdamaian. Namun dalam praktiknya, ajaran iman sering dijadikan pembenaran untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Bagi kelompok Zionis religius, penguasaan Yerusalem adalah bagian dari rencana ilahi — bahwa Tuhan telah menjanjikan kota itu kepada bangsa Israel. Bagi kelompok Islam politik, mempertahankan Al-Aqsa adalah kewajiban suci yang tak bisa ditawar. Sedangkan bagi sebagian Kristen konservatif di Barat, dukungan terhadap Israel dipandang sebagai bagian dari nubuat “akhir zaman” — bahwa kembalinya bangsa Yahudi ke Yerusalem akan mempercepat kedatangan kembali Kristus.

Dukungan ini menjelaskan mengapa negara-negara seperti Amerika Serikat dan sekutunya tetap membela Israel mati-matian, meskipun dunia internasional mengecam tindakannya di Palestina. Di sisi lain, negara-negara Islam seperti Iran, Turki, dan Qatar memposisikan diri sebagai pelindung Al-Aqsa dan rakyat Palestina. Dengan demikian, konflik Israel–Palestina bukan lagi hanya konflik politik atau etnis, tetapi juga perang simbol antara tiga iman besar.

Di titik ini, Yerusalem menjadi cermin bagaimana agama bisa berubah dari sumber kedamaian menjadi bahan bakar permusuhan. Kesucian yang seharusnya membawa penyembuhan justru menimbulkan luka baru yang diwariskan lintas generasi.

Kota Damai yang Dijadikan Medan Pertikaian

Ironisnya, nama “Yerusalem” sendiri berasal dari kata Ir Shalom — “Kota Damai”. Namun damai tampaknya menjadi hal yang paling sulit ditemukan di sana. Setiap kali ada upaya perdamaian, status Yerusalem selalu menjadi batu sandungan. Tidak ada pihak yang mau melepaskan klaimnya, sebab itu berarti kehilangan legitimasi teologis.

Dalam beberapa dekade terakhir, ketegangan di Yerusalem selalu menjadi pemicu meledaknya perang di Gaza dan Tepi Barat. Ketika polisi Israel menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa, dunia Muslim bereaksi keras. Ketika kelompok ekstremis Yahudi menggelar pawai di kawasan Muslim, kemarahan memuncak. Kedua pihak sama-sama merasa memiliki dasar moral dan ilahi untuk bertindak — padahal yang dikorbankan adalah rakyat kecil, anak-anak, dan kehidupan manusia yang tak berdosa.

Kekerasan yang terus terjadi di Yerusalem memperlihatkan bahwa kota ini telah kehilangan makna sejatinya sebagai pusat perjumpaan Tuhan dengan manusia. Ia telah berubah menjadi panggung di mana nama Tuhan dipakai untuk saling menghakimi, bukan untuk saling mengasihi.

Jalan Tengah: Yerusalem Bersama Umat Manusia

Solusi terhadap masalah Yerusalem sebenarnya telah lama dibicarakan, tetapi jarang diwujudkan secara serius. Salah satu gagasan yang pernah muncul adalah menjadikan Yerusalem sebagai “kota internasional” di bawah pengawasan bersama — bukan milik satu bangsa atau agama, melainkan milik seluruh umat manusia yang beriman kepada Tuhan yang sama.

Namun gagasan ini selalu terbentur realitas politik. Israel tidak mau kehilangan kedaulatannya, Palestina tidak mau mengorbankan haknya, dan negara-negara besar memiliki kepentingan strategis masing-masing. Dunia seolah lebih memilih membiarkan Yerusalem menjadi luka terbuka daripada berani melakukan tindakan penyembuhan yang menyakitkan tapi perlu.

Padahal, jika ditarik kembali ke akar ajaran tiga agama Abrahamik, semua mengajarkan hal yang sama: kasih, keadilan, dan perdamaian. Tuhan dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an bukan Tuhan yang membenci, melainkan Tuhan yang menghendaki hidup manusia dalam harmoni. Jika umat Yahudi, Kristen, dan Islam benar-benar menghayati nilai-nilai iman itu, maka Yerusalem seharusnya menjadi lambang persaudaraan, bukan arena perebutan.

Penutup: Yerusalem, Cermin Iman dan Luka Kemanusiaan

Yerusalem adalah kota yang mempersatukan dan memisahkan dunia pada saat yang sama. Ia adalah titik di mana iman tertinggi manusia bertemu dengan ego terendah manusia. Selama kota ini masih dijadikan simbol kemenangan satu pihak atas pihak lain, perdamaian tidak akan pernah lahir. Tetapi jika Yerusalem bisa dilihat sebagai ruang bersama — tempat di mana Tuhan disembah dalam nama yang berbeda namun dengan cinta yang sama — maka kota ini bisa kembali pada makna sejatinya: kota damai.

Yerusalem adalah ujian terbesar bagi kemanusiaan dan keimanan kita. Jika dunia gagal membawa kedamaian ke kota suci ini, itu berarti kita semua gagal memahami pesan Tuhan yang sesungguhnya: bahwa di atas semua perbedaan, manusia dipanggil untuk saling mencintai, bukan saling membunuh atas nama-Nya.