TIMIKA, ODIYAIWUU.com — Uskup Dr Bernardus Bofitwos Baru, OSA menyampaikan seruan kepada para imam (pastor), baik imam yang berkarya di paroki maupun di bidang kategorial di Keuskupan Timika mempersembahkan Misa khusus berturut-turut selama sembilan hari mulai November ini.
“Wujudnya, mendoakan para pihak yang bertikat atau berkonflik baik pemerintah pusat, TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka/OPM), TNI-Polri, dan seluruh masyarakat Papua serta Indonesia,” ujar Uskup Timika Bofitwos melalui seruannya di Timika, kota Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Mgr Bofitwos, Uskup putra asli Papua kelahiran Dusun Bokraby (Bakrabi), Distrik Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, menyampaikan hal tersebut melalui surat tertulis Nomor 78/USK/X/2025/1.1.2 perihal Seruan Misa Sembilan (9) Hari Berurut-Turut yang terbit pada Kamis, 27 Oktober 2025.
“Para pihak tersebut perlu didoakan agar membuka hati, duduk berdialog untuk menemukan solusi terbaik mengakhiri konflik bersenjata yang telah memakan ribuan korban manusia,” lanjut Uskup Bofitwos, doktor bidang Misiologi lulusan La Pontificia Università Urbaniana (Universitas Kepausan Urbaniana), Roma, Italia.
Uskup Bofitwos mengatakan, seruan tersebut berkaitan dengan isi kotbahnya atau homili saat Misa Tahbisan dua imam Projo Modestus Mametapare Pr dan Yohanes Kayame Pr di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, Papua Tengah, 18 Oktober lalu.
Isi homili Uskup Bofitwos, mantan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura, terkait situasi konflik bersenjata di seluruh tanah Papua, khususnya di Kabupaten Puncak dan Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah yang juga merupakan wilayah pelayanan gerejani Keuskupan Timika.
“Dalam kotbah tersebut saya menyerukan kepada Presiden RI Prabowo Subianto dan Panglima TNI agar menghentikan kekerasan bersenjata dan kebijakan pendropan pasukan ke Papua,” kata Mgr Bofitwos, Uskup dari Ordo Santo Agustinus (OSA).
Dalam kotbah tersebut, Uskup Bernardus juga meminta Presiden Prabowo secepatnya mengambil langkah dialog agar menemukan solusi terbaik untuk mengakhiri konflik bersenjata ini, yang telah memakan ribuan korban manusia, baik di pihak masyarakat sipil, TNI-Polri maupun di pihak TPNPB.
Menurut Uskup Bofitwos yang mengambil motto tahbisan Uskup: Ego Sum Ostium (Akulah Pintu), untuk mendorong upaya dialog tersebut agar terwujudnya perdamaian di tanah Papua, ia menilai bahwa diperlukan juga dukungan spiritual berupa doa-doa, puasa dan Misa khusus.
“Demikianlah seruan dari saya kepada rekan-rekan imam di seluruh wilayah Keuskupan Timika. Atas perhatian, pengertian, kerja sama dan dukungannya saya haturkan terima kasih. Tuhan Yesus memberkati. Salam hormat. Nimaowitimi, amolongo, saipa, koyao, amakanie, wa wa wa,” katanya.
Media ini sebelumnya memberitakan, ribuan warga masyarakat dari berbagai elemen, Selasa (28/10) menggelar aksi demonstrasi di Kantor Bupati Intan Jaya, Bilogai, Distrik (Kecamatan) Sugapa, Intan Jaya.
Ribuan massa itu berunjuk rasa guna menyampaikan kekesalan menyusul tingginya konflik kekerasan yang melibatkan aparat TNI-Polri dan anggota TPNPB OPM dalam lima tahun terakhir. Konflik tersebut berujung tewasnya warga sipil, aparat keamanan, dan warga sipil yang dilabeli anggota OPM.
Konflik tersebut juga mengakibatkan ribuan warga Intan Jaya melarikan diri ke hutan atau ke beberapa kabupaten tetangga di Papua Tengah dan provinsi lainnya di tanah Papua. Tak hanya itu, aktivitas kantor pemerintahan di distrik maupun kampung (desa) hingga sekolah-sekolah nyaris lumpuh total.
“Intan Jaya menangis dan Soanggama berdarah. Konflik ini terjadi karena ada hubungan erat dengan kepentingan tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya,” ujar Koordinator Lapangan (Korlap) Umum Massa Forum Rakyat Bergerak dan Bersuara Bagau dan Wakil Korlap Sondegau melalui keterangan tertulis dari Sugapa, Intan Jaya, Selasa (28/10).
Bagau dan Sondegau menegaskan, negara melalui aparat keamanan habis-habisan mempertahankan Intan Jaya menjadi status quo dan berusaha mengusir masyarakat dari kampung halamannya untuk kepentingan tambang Blok Wabu.
“Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menarik anggota militer non organik yang tengah melakukan operasi di Intan Jaya dan seluruh tanah Papua. Kasus terakhir yang memilukan terjadi di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa, Rabu (15/10) menewaskan 11 warga sipil dan 5 anggota TPNPB,” kata Bagau dan Sondegau.
Bagau dan Sondegau juga menguraikan kronologis pembunuhan terhadap warga sipil berdasarkan testimoni saksi yang enggan menyebut namanya saat berada di tempat kejadian perkara.
Sehari sebelum kasus Soanggama Berdarah sekitar pukul 16.00 WIT ada beberapa anggota TPNPB sempat mampir di rumahnya untuk minum kopi. Namun, saat itu hujan mengguyur deras Soanggama sehinga beberapa dari mereka menginap di rumah warga.
Namun, tak disangka pada Rabu (15/10) sekitar pukul 16:00 WIT ada operasi dan penyisiran Satuan Detasemen 1 dan 4 Satgas Rajawali II Yonif 500/S dan Yonif 712/WT di Kampung Soanggama. Sekitar jam 17:00 WIT Satuan Detasemen Yonif berpencar ke setiap honai untuk memaksa seluruh masyarakat keluar dan mengumpulkan di halaman Gereja Katolik Soanggama.
“Enam anggota TNI mulai melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat setempat. Masyarakat yang identik dengan busana ciri khas bulu kasuari, rambut gimbal atau rambut panjang, mengenakan topi noken kepala dipisahkan menjadi satu kelompok dan dibiarkan berada di luar gereja,” katanya.
Sedangkan masyarakat yang terlihat rapi, lanjut Bagau dan Sondegau, dipisahkan menjadi satu kelompok kemudian disuruh masuk ruangan gereja Katolik, terpisah dari mereka yang berada di luar gereja.
Sekitar pukul 18.00 WIT kelompok yang berada di luar gereja mulai diintrogasi dengan melihat kecocokan foto yang ada di handphone aparat keamanan. Wajah yang mencurigakan tanpa melihat kebenaran apakah warga sipil atau TPNPB dieksekusi mati dengan ditembak tak jauh dari gereja lalu dikuburkan secara tidak manusiawi dalam satu liang lahat.
“Di saat itu kelompok masyarakat yang ada di dalam gereja diintimidasi dan tidak diizinkan keluar. Bahkan mereka yang hendak merokokpun disuruh merokok dalam ruangan gereja,” katanya.
Saat itu ada seorang ibu hamil dari kampung tetangga hendak menuju Kampung Soanggama. Saat itu, ia mendengar rentetan bunyi tembakan. Si ibu hamil ini takut, panik, dan trauma lalu lari menyelamatkan diri dengan menyeberang kali, sungai. Namun, ajal menjemputnya karena tubuhnya terhanyut air.
Menurut Bagau dan Sondegau, identitas warga sipil korban Soanggama Berdarah yaitu Yanuarius Mirip (warga Ilaga), Pisen Kogoya, Sepi Lawiya, Agus Kogoya, Impinus Tabuni, Agopani Holombau, Winina Mirip (ibu hamil), Sakaria Kogoya, dan Kayus Lawiya. Sedangkan dari TPNPB yaitu Kaus Lawiya, Roni Lawiya, Ipe Kogoya, Poli Kogoya, dan satu yang belum diketahui identitasnya.
Bagau dan Sondegau mengatakan, Soanggama Berdarah menambah deretan kasus konflik kekerasan yang melanda Intan Jaya sejak tahun 2019. Misalnya, pembunuhan Pendeta Jeremias Zanambani pada 19 September 2020, pembunuhan tokoh agama atau pewarta Rupinus Tigau di Kampung Jalae, dan pembunuhan warga sipil tahun 2021.
Kemudian, kasus penembakan membabi buta yang menyebabkan 2 anak SD harus meninggal di rumahnya, Yokatapa, tahun 2022, pembunuhan satu keluarga di Kampung Joparu tahun 2023, dan pembunuhan mama Hetina Mirip, yang diduga jadi korban operasi militer Satuan Tugas Habema di Distrik Sugapa, Rabu (14/5) dini hari.
Selain itu, kasus terakhir yaitu pembunuhan 16 warga sipil yang terus membekas dalam memori kolektif dengan insiden Soanggama Berdarah. Meski demikian, katanya, setiap hari masih berbagai peristiwa pelangaran HAM yang menimpa warga sipil tetapi luput dari pemberitaan media massa.
Saat unjuk rasa pihak Massa Forum Rakyat Bergerak dan Bersuara menyampaikan sepuluh pernyataan sikap kepada Pemerintah Indonesia. Pertama, segera mengusut tuntas kasus Soanggama Berdarah. Kedua, Presiden Prabowo Subianto segera menarik militer non organik yang tengah melakukan operasi di Intan Jaya dan seluruh tanah Papua.
Ketiga, segera selenggarakan investigasi independen atas kasus Soanggama Berdarah. Keempat, hentikan praktek militerisasi yang digunakan untuk kepentingan korporasi ekstratif. Kelima, mengencam keras tindakan MRP yang gagal menjalankan fungsi perlindungan masyarakat adat.
Keenam, menolak eksploitasi tambang di wilayah Intan Jaya. Ketujuh, menyatakan pembunuhan warga sipil di soanggama sebagai pelanggaran ham berat yang harus diselesaikan oleh negara dan menuntut agar pelaku segera diadili.
Kedelapan, menetapkan 15 Oktober insiden Soanggama Berdarah wajib diperingati setiap tahun. Kesembilan, menuntut agar pos-pos militer di seluruh Intan Jaya segera ditarik karena keberadaannya dianggap warga menciptakan ketakutan dan trauma sehingga warga mengungsi.
Kesepuluh, meminta agar militer Indonesia dan TPNPB sama-sama menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan dalam konflik bersenjata dan tidak menjadikan warga sipil sebagai korban. (*)










