JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pihak United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat mengatakan, pada Jumat (15/8), Bangsa Papua memperingati 63 tahun perjanjian hitam dan terkutuk dalam hidup bangsa West Papua yaitu Perjanjian New York atau New York Agreement,
“Syukur bagi-Mu, Tuhan! Mengawali pernyataan ini, kami mengajak rakyat Papua untuk menundukkan kepala, mendoakan, dan mengenang korban berkepanjangan di West Papua,” ujar Sekretaris Jenderal Eksekutif ULMWP Markus Haluk melalui keterangan tertulis yang diterima dari Jayapura, Papua, Jumat (15/8).
Menurut Markus Haluk, pihak ULMWP juga menyampaikan turut berduka cita mendalam atas korban kebiadaban aparat keamanan Indonesia terhadap warga sipil di Dogiyai, Intan Jaya, Ilaga Puncak Papua, dan korban warga sipil di sejumlah wilayah konflik lainnya.
“Hari (15/8) ini, Bangsa Papua memperingati 63 tahun perjanjian hitam dan terkutuk dalam hidup bangsa Papua yang disebut New York Agreement. Perjanjian ini ditandatangani oleh dua bangsa asing dan koloni yakni Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kantor Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat,” ujar Markus.
Markus menegaskan, bagi bangsa Papua Perjanjian New York tersebut merupakan perjanjian jahat dan terkutuk yang pernah terjadi dalam sejarah hidup bangsa Papua. Para pihak yang terlibat dalam seluruh proses perundingan telah melecehkan bangsa Papua sebagai sebuah bangsa yang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri menuju kemerdekaan dan kedaulatan politik.
“Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dengan cara Indonesia yang dipraktekkan tahun 1969 menjadi pelengkap derita dan kutukan tadi. Selama 63 tahun Indonesia menduduki West Papua, 26 operasi besar dilancarkan kepada bangsa Papua di berbagai tempat,” kata Markus lebih lanjut.
Pihaknya juga menyoroti, saat ini konflik terus terjadi dan eskalasinya terus meningkat. Sebanyak 75.000 warga sipil sedang mengungsi di sembilan wilayah konflik di West Papua.
Banyak warga sipil, termasuk hamba Tuhan, anak-anak, kaum ibu di Intan Jaya, Nduga, Puncak Papua, Maybrat, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Yahukimo, Paniai, Dogiyai, Mimika dan Jayawijaya telah menjadi korban operasi militer dan kebijakan pemerintahan sipil Indonesia.
Sedangkan Presiden Eksekutif ULMWP Menase Tabuni menegaskan, Bangsa Papua tidak mempunyai masa depan hidup bersama Indonesia. Karena itu pihaknya menyerukan kepada rakyat Papua untuk melindungi dan menjaga diri.
“Kami juga menyerukan untuk menolak setiap kebijakan kolonial Indonesia dan Bersiap melakukan aksi protes perlawanan demi membelah harga diri, bangsa dan tanah air,” kata Menase.
ULMWP juga menegaskan bahwa pada momentum 80 tahun Indonesia merdeka, sudah waktunya Pemerintah Indonesia, Belanda, PBB, USA, dan para pemimpin dunia untuk mendorong penyelesaian konflik status politik West Papua.
Sementara itu, Wakil Presiden Eksekutif ULMWP Octovianus Mote menegaskan, konflik West Papua merupakan satu satunya masalah mendapat perhatian dunia sesudah pemerintahan sebelumnya sudah selesaikan masalah Republik Demokratik Timor Leste dan Nanggroe Aceh Darussalam.
“Masalah konflik West Papua tidak akan menguap dan hilang begitu saja kecuali dibicarakan untuk mencari jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak,” ujar Octovianus Mote dari Hamden Connecticut, Amerika Serikat
Octovianus menambahkan, selama konflik West Papua dibiarkan karena dianggap selesai, korban di kedua belah pihak akan terus berjatuhan dan Pemerintah Indonesia akan menjadi sorotan dunia secara negatif dimata dunia.
“Dunia mengetahui betul akan apa yang kami bangsa Papua hadapi saat ini, yakni sedang mengalami ancaman hidupnya di atas tanah leluhur kami sendiri,” ujar Octovianus lebih lanjut.
Oleh sebab itu, ujar Octavianus, jalan terbaik demi dan untuk menyelamatkan orang dan bangsa West Papua dari ancaman kepunahan hidup dan demi masa depan yang lebih baik yakni dunia bersatu bersama ULMWP.
“Dunia bersama ULMWP satu suara mendorong dan memberikan dukungan kepada kami orang Papua hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat kemudian akan diatur kehidupan kedua bangsa di masa yang akan datang,” kata Octavianus. (*)