JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pihak Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengutuk keras bentrok massa dan aparat keamanan yang berujung rusuh di Komplek Yohan, Klademak, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (27/8) sekitar pukul 08.00 WIT.
Rusuh dipicu oleh rencana pemindahan empat tahanan aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) dari Kota Sorong ke kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Keempat aktivis NFRPB yaitu Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek.
“Syukur bagi-Mu Tuhan! ULMWP mengutuk sikap arogansi rezim kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dengan melakukan pemindahan paksa terhadap empat orang tahanan politik Papua dari NFRPB,” ujar Presiden Eksekutif ULMWP Menase Tabuni dan Sekretaris Eksekutif Markus Haluk melalui keterangan tertulis dari Jayapura, kota Provinsi Papua, Kamis (28/8).
Menase dan Markus menegaskan, rezim Presiden Prabowo telah mempertontonkan sikap dan watak rasis, otoriter, arogan terhadap rakyat bangsa Papua. Rusuh Sorong berdarah merupakan potret terkecil dari rencana dan kebijakan jahat tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
“Fakta memperlihatkan bahwa Bangsa Papua rezim ini, semakin terkepung. Operasi militer masih terjadi di wilayah konflik seperti di Intan Jaya, Puncak Papua, Yahukimo, Nduga, Lani Jaya dan beberapa wilayah lainnya. Sebanyak 75.000 orang warga sipil Papua dari wilayah konflik ini menderita dan mengungsi ke tempat yang lebih aman, Pada rezim ini militer menduduki dan menguasai tanah dan Bangsa Papua,” ujar Menase dan Markus.
Sedangkan Wakil Presiden Eksekutif ULMWP Octovianus Mote menambahkan, fakta ancaman hidup pada bangsa Papua berada di depan mata. Karena itu, ia menyerukan komunitas Internasional untuk menghentikan semua dukungan dan bantuan dana, pinjaman dan hibah hingga menyelesaikan konflik politik bangsa Papua.
“Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa segera membentuk tim investigasi untuk berkunjung ke West Papua, melihat situasi dan melakukan investigasi ancaman hidup yang terjadi pada bangsa Papua selama 62 tahun sejak Mei 1963-2025,” ujar Octovianus Mote dari New York, Amerika Serikat, Kamis (28/8).
Menase juga menjelaskan kronologi penahanan para aktivis NRFPB yang berujung rusuh di Sorong pada Rabu (27/8). Menurutnya, pada 21 April 2025, pejuang Papua dari NRFPB Abraham, Nikson, Piter, dan Maxi ditahan setelah mereka mendatangi Kantor Gubernur Papua Barat Daya menyerahkan suatu dokumen yang isinya diduga tentang surat perundingan kepada Pemerintah Indonesia.
Pada 28 April 2025. negara secara sepihak menetapkan keempatnya sebagai tersangka dengan tuduhan makar dan mengganggu stabilitas negara. Pasal yang dituduhkan antara lain Pasal 106 KUHP dan pasal 87 KUHP dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara atau seumur hidup. Selama ini, keempat aktivis tersebut berada dalam tahanan Polres Kota Sorong.
“Pada 11 Agustus, penyidik Polres Kota Sorong menyerahkan empat tahanan politik tersebut kepada pihak Kejaksaan Sorong. Setelah para tapol itu berada di bawah pengawasan mereka, pihak Kejaksaan Sorong mengajukan permohonan pemindahan persidangan ke Pengadilan Negeri Makassar kepada Mahkamah Agung,” kata Menase dan Markus.
Permohonan tersebut, lanjut keduanya, dikeluarkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Kejaksaan Negeri Sorong dengan surat bernomor B-3001/R.2.11/Eoh.2/08/2025 tertanggal 22 Agustus 2025, dengan perihal Permohonan Pengalihan Tahanan dari Rutan/Lapas Sorong ke Rutan/Lapas Makassar.
Alasan yang melatari pemindahan itu tidak dapat diterima dengan akal sehat manusia. Alasannya, kota Sorong tidak aman dan adanya bencana alam. Kedua alasan ini tidak benar dan diciptakan oleh negara kolonial Indonesia untuk membenarkan kebijakan arogansi pemerintah kolonial Indonesia pada bangsa Papua.
“Dengan alasan tadi, negara kolonial Indonesia melalui Kejaksaan Negeri Sorong mengeksekusi secara tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI-Polri di Sorong. Akibatnya, memakan korban jiwa pada masyarakat sipil. Aparat tidak hanya melakukan kekerasan dan penembakan tetapi melakukan penggerebekan rumah Puan Sayang Mandabayang,” ujar Menase dan Markus.
Menase dan Markus menambahkan, aparat juga telah melakukan penangkapan secara paksa terhadap 17 orang. Mereka adalah Marlon Rumaropen (27), Dominggus Adadikam (22), Ronaldo Way (27), Agus Nebore (33), Jose Wakaf (23), Wilando Paterkota (23), Yeheskiel Korwa (15), Anthoni Howay (19), Riknal Drimlol (17), Alexandro Daam (26), Sergius Mugu (25), Jefri Inas (20), Nus Asekim (42), Yance Bumere (32), Yance Manggaprauw, Yansen Wataray (32), dan Suprianus Asekin (43).
“Mereka yang ditangkap tersebut juga tidak luput dari tindakan kekerasan aparat yang dilakukan oleh pihak kepolisian, saat diminta keterangan bahkan ada yang disuruh jongkok dengan sapu ditaruh di lipatan kaki bagian belakang lutut. Bahkan ada anak kecil (15 tahun) juga ditangkap,” katanya.
Pihak ULMWP juga mengutuk tindakan aparat penegak hukum baik, Polri, TNI, dan Kejaksaan Negeri Sorong serta Pengadilan Negeri Sorong. ULMWP juga mendesak untuk segera membebaskan semua yang ditangkap dan ditahan di Polres Kota Sorong. Termasuk, membebaskan Abraham, Nikson, Piter, dan Maxi.
“Kami minta Pemerintah Indonesia, negara anggota PBB, komunitas internasional segera mencari jalan keluar dalam menyelesaikan akar konflik sejarah politik di West Papua secara bermartabat dengan memberikan kebebasan kepada bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis,” kata Menase dan Markus.
Menase dan Markus juga menyerukan kepada rakyat Papua untuk memberikan dukungan solidaritas dalam berbagai bentuk sebagai ungkapan kesatuan, solidaritas kemanusiaan kepada rakyat Papua di wilayah Sorong. (*)










