TKD 2026 Dipangkas, Otonomi Dihina

TKD 2026 Dipangkas, Otonomi Dihina. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

Loading

8 OKTOBER 2025, para gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) mendatangi Kementerian Keuangan. Mereka memprotes keras kebijakan pemerintah pusat yang memangkas Transfer ke Daerah (TKD) tahun 2026 lebih dari Rp200 triliun dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah berdalih pemangkasan ini dilakukan karena “kualitas belanja daerah rendah”. Namun alasan itu justru memperlihatkan krisis kepercayaan Jakarta terhadap daerah—dan menjadi bukti bahwa semangat otonomi kini hanya tinggal slogan politik tanpa makna nyata.

Dalam rancangan APBN 2026, pemerintah mengusulkan TKD sebesar Rp 650 triliun, lalu dinaikkan menjadi Rp 693 triliun setelah pembahasan di DPR. Angka itu tetap jauh di bawah realisasi 2025 yang mencapai Rp919,9 triliun. Penurunan sebesar ini tidak bisa disebut efisiensi, melainkan amputasi fiskal terhadap kemandirian daerah. Pemerintah berkilah sebagian dana dialihkan ke belanja kementerian dan lembaga di daerah, tetapi itu hanya memperluas kendali pusat dan mempersempit ruang otonomi daerah.

Pemangkasan ini memukul hampir semua daerah, terutama yang bergantung penuh pada transfer pusat. Banyak pemerintah daerah kini terancam kesulitan membayar gaji ASN, mempertahankan sekolah tetap beroperasi, dan menjaga fasilitas kesehatan agar tidak lumpuh. Ketika pusat memangkas dana sebesar ini, yang dikorbankan bukan sekadar angka dalam neraca, tetapi kehidupan nyata masyarakat di pelosok. Atas nama efisiensi, negara justru sedang memiskinkan daerah yang paling membutuhkan keadilan fiskal.

Kebijakan ini juga menyingkap mental lama Jakarta yang tak kunjung berubah: merasa paling tahu, paling pandai, dan paling berhak mengatur segalanya. Lebih dua dekade setelah desentralisasi, pusat masih enggan melepas kendali. Saat terjadi pemborosan, daerah disalahkan; saat anggaran dipangkas, pusat merasa heroik. Padahal, inilah bentuk baru kolonialisme administratif—di mana pusat bertindak sebagai penguasa moral yang mengatur dari jauh dan menolak mendengar jeritan dari bawah.

Janji pemerintah bahwa TKD bisa ditambah pertengahan tahun jika ekonomi membaik hanyalah hiburan politik tanpa dasar nyata. Tidak ada mekanisme jelas, tidak ada jaminan kepastian, dan tidak ada keberanian mengakui kesalahan. Bagaimana daerah dapat memperbaiki kinerja belanja jika sumber dananya justru dikurangi secara sepihak? Negara menuntut efisiensi, tetapi di saat bersamaan mematahkan kaki daerah untuk berjalan. Inilah bentuk ironi kebijakan publik yang kehilangan arah dan hati nurani.

Pemangkasan TKD bukan sekadar urusan angka, tetapi pesan kekuasaan yang menegaskan siapa penguasa sebenarnya. Pesan bahwa pusat tidak percaya kepada daerahnya sendiri. Pesan bahwa otonomi yang dijanjikan hanyalah alat politik, bukan komitmen moral. Bila paradigma ini terus dibiarkan, maka yang rusak bukan hanya sistem fiskal, tetapi juga fondasi keadilan dan persatuan nasional yang menjadi dasar berdirinya republik ini.

Negara yang adil adalah negara yang berbagi kekuasaan dan kepercayaan. Tetapi hari ini, negara justru menarik keduanya sekaligus. TKD 2026 menjadi simbol paling telanjang dari arogansi fiskal Jakarta—dan otonomi yang dulu dijanjikan sebagai wujud kepercayaan kini berubah menjadi ironi yang menyakitkan. Sebab ketika pusat terus memangkas hak daerah, maka yang sebenarnya dihina bukan hanya otonomi, melainkan juga martabat rakyat yang hidup darinya. (Editor)