OPINI  

Tarian Paradoks Orang Papua

Willem Bobi, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta, Foto: Istimewa

Loading

Oleh Willem Bobi

Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta

DI TANAH yang hijau subur, kaya akan emas, tembaga, dan hutan lebat, orang Papua berdiri di persimpangan jalan: menerima fasilitas dan jabatan dari negara atau menolak simbol-simbol politik yang dianggap asing. Pilihan ini bukan sekadar perkara identitas. Ia juga strategi bertahan hidup di tengah arus deras kompetisi global. Saat dunia menuntut daya saing —dengan pengetahuan, keterampilan, dan inovasi— orang Papua seringkali terjebak dalam dilema politik dan ekonomi yang membuat langkah mereka tertinggal.

Kabut turun perlahan di lembah kesunyian. Hutan menjuntai seperti doa yang belum selesai, dan suara tifa memanggil dari kejauhan. Di tanah yang indah ini, Orang asli Papua hidup dalam tarian dua wajah: wajah yang tersenyum kepada negara ketika gaji dan jabatan ditawarkan. Sebaliknya wajahnya mengeras ketika bendera dikibarkan. Mereka hidup dalam paradoks —setuju sekaligus tidak setuju— menerima sekaligus menolak.

Model kehidupan seperti ini ibarat partikel dalam fisika. Elektron dapat berada di dua keadaan sekaligus sebelum diamati, namanya: superposisi. Demikian juga orang asli Papua, yang satu tubuhnya ada dalam sistem birokrasi Indonesia, sementara hatinya berada di pangkuan identitas Papua. Mereka bisa duduk sebagai anggota DPRD, kepala desa atau aparatur sipil negara yang setiap bulan menunggu transferan gaji. Namun pada saat yang sama, mereka juga berdiri di lapangan terbuka, menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan bintang kejora di dada. Menjadikan kejora sebagai tameng perjuangan untuk mendapatkan gelar, jabatan, dan uang dari Republik Indonesia. 

Cara Bertahan Hidup

Paradoks ini bukan kelemahan. Justru ia adalah cara bertahan hidup. Di hutan yang keras, di kota yang bising, di desa yang jauh dari listrik, orang asli Papua belajar bahwa untuk tetap hidup, mereka perlu menerima uang tunai. Uang pembangunan, dana desa, gaji aparatur sipil negara —yang semuanya menjadi oksigen. Namun pada saat yang sama, mereka tahu bahwa tanpa menolak, jiwa mereka akan mati. Menolak bukan sekadar menolak negara, melainkan menolak untuk dilupakan, menolak untuk hilang dalam arus besar sejarah yaitu tentang Papua.

Menerima dan menolak adalah dua sisi dari satu koin. Menerima uang bukan berarti mencintai, menolak bendera bukan berarti membenci. Orang Papua tidak berdiri di tepi tebing untuk memilih jatuh ke kiri atau ke kanan. Mereka menanam kaki di tengah, berakar di tanah sendiri, sementara angin dari dua arah terus bertiup.

Di kampus, mahasiswa Papua menulis esai tentang identitas. Mereka mengutip teori pascakolonial, menganalisis relasi kuasa, dan menyusun argumen bahwa Papua harus diberi ruang untuk menentukan nasib sendiri. Namun pada saat yang sama, mahasiswa itu juga menempuh pendidikan dengan dukungan dana otsus dan bantuan operasional sekolah yang disalurkan pemerintah. Mereka belajar dari kucuran anggaran negara, sambil di ruang pikirnya terus bergulat dengan pertanyaan tentang identitas dan keberadaan negara yang membiayai mereka.

Di kantor distrik, aparat Papua menandatangani berkas-berkas anggaran. Mereka mengelola dana desa, program sosial, atau pembangunan infrastruktur. Namun di balik tanda tangan yang sah, sering kali ada bisikan: “ini uang otsus (otonomi khusus) bukan uang Indonesia, ini uang Papua yang dikembalikan.” Paradoks itu hadir bahkan di meja kerja, antara tinta basah di kertas dan identitas yang tak bisa dihapus.

Di honai, orang tua masih menceritakan kisah leluhur yang menjaga gunung dan sungai. Mereka mengulang cerita tentang roh nenek moyang yang tidak pernah tunduk pada siapa pun. Di sana, identitas Papua ditanamkan bukan lewat dokumen birokrasi, melainkan lewat kisah, lagu, dan tifa yang dipukul berulang. Dari honai ke kampus, dari distrik ke jalanan kota, paradoks menerima dan menolak itu terus diwariskan, kadang sadar, kadang tidak.

Apakah menerima berarti menyerah? Apakah menolak berarti berani? Pertanyaan itu terus menggema di hutan, di pasar, di gedung pemerintahan, bahkan di dalam mimpi. Jawaban tidak pernah tunggal. Sebagian berkata: menerima adalah strategi. Sebagian lagi berkata: menolak adalah harga diri. Dan mungkin, kebenaran ada di ruang di antara keduanya —ruang abu-abu, ruang hening, ruang yang hanya dipahami oleh mereka yang mengalaminya.

Definisi Tunggal

Papua adalah tanah partikel yang menolak definisi tunggal. Seperti cahaya yang bisa menjadi gelombang sekaligus partikel, orang asli Papua bisa menjadi Indonesia sekaligus Papua, bisa setuju sekaligus tidak setuju. Dari luar, mungkin terlihat kontradiktif. Namun bagi mereka, itu adalah satu-satunya jalan untuk tetap hidup, untuk tetap menjadi manusia. Namanya, manusia milenial Papua. 

Namun paradoks ini tidak hanya soal politik dan identitas. Ia juga punya konsekuensi besar terhadap masa depan. Ketika energi dicurahkan untuk menegosiasikan “menerima atau menolak,” ada ruang lain yang sering terabaikan: ruang belajar, ruang inovasi hingga ruang ekonomi. Sementara dunia bergerak cepat dengan kecerdasan buatan, teknologi digital, dan ekonomi hijau, Papua masih sibuk dengan tarik-menarik simbol dan jabatan. Pendidikan tidak hanya kapitalisme licik. Dalam konteks Papua, maju mundurnya pendidikan ditentukan oleh kontestan politik pemilihan umum, siapa dukung siapa, siapa berhutang politik ke siapa, berapa utang politik dan berapa proyek fisik dan tunai yang bisa ditutupi selama lima tahun ke depan? Masih banyak bukti di lapangan.

Di banyak tempat, kita bisa melihat ketertinggalan ini. Infrastruktur pendidikan masih timpang, angka putus sekolah tinggi, dan kompetensi teknis orang asli Papua masih kalah bersaing dengan non-orang asli Papua. Banyak anak Papua yang pintar, tetapi hanya sedikit yang mendapat ruang untuk berkembang secara maksimal. Di bidang ekonomi, potensi sumber daya alam besar, tetapi penguasaan teknologi dan akses pasar sangat terbatas. Akibatnya, keuntungan besar sering mengalir keluar Papua, sementara masyarakat lokal hanya mendapat sisa.

Inilah harga dari tarian paradoks itu. Energi mental, sosial, dan politik yang dihabiskan untuk menjaga dua wajah —menerima dan menolak— kadang membuat daya saing menjadi korban. Dunia tidak peduli siapa yang setuju atau tidak setuju, dunia hanya peduli siapa yang mampu bersaing.

Tentu, menuntut orang asli Papua untuk hanya “fokus pada daya saing” tanpa memahami luka sejarah adalah tidak adil. Identitas tidak bisa dihapus begitu saja demi angka ekonomi. Namun sebaliknya, jika hanya sibuk menolak tanpa menyiapkan generasi untuk bersaing, maka orang asli Papua akan semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Jalan keluar bukan sekadar memilih satu sisi, melainkan merajut identitas yang utuh sambil memperkuat daya saing. Menerima fasilitas negara bisa dijadikan strategi untuk memperkuat pendidikan dan teknologi. Menolak bisa dimaknai bukan sekadar perlawanan simbolik, tetapi juga sebagai dorongan untuk membangun model pembangunan sendiri yang sesuai dengan konteks Papua.

Pada akhirnya, setuju atau tidak setuju bukanlah pilihan final. Itu adalah tarian bolak-balik antara menerima dan menolak, antara kenyataan dan impian, antara uang dan harga diri. Selama tifa masih berbunyi, selama gunung tetap berdiri, orang asli Papua akan terus menari dalam paradoks itu —dengan kepala tegak, hati penuh luka, dan jiwa yang tidak pernah tunduk. Namun tarian itu harus berkembang menjadi tarian daya saing, tarian inovasi, tarian yang mampu membuat Papua berdiri sejajar dengan dunia, tanpa kehilangan jati dirinya.