KENYAM, ODIYAIWUU.com — Ruben Benyamin Gwijangge, intelektual muda Papua dari Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, Selasa (23/12) melayangkan Surat Terbuka kepada Presiden Republik Indonesia Jenderal Purnawirawan H. Prabowo Subianto ihwal kondisi Nduga yang memilukan sejak tahun 2018 hingga saat ini.
“Sejak 2018 rumah warga Nduga berubah jadi ruang ketakutan. Kampung-kampung kosong. Gereja-gereja sunyi. Sekolah-sekolah kehilangan tawa anak-anaknya. Rakyat Nduga hidup di lokasi pengungsian,” ujar Benyamin Gwijangge di Kenyam, kota Kabupaten Naduga, Papua Pegunungan, Selasa (23/12).
Berikut petikan surat terbuka Benyamin Gwijangge selengkapnya.
Kenyam, 23 Desember 2025
Kepada Yth
Presiden Republik Indonesia Bapak H. Prabowo Subianto
di
Jakarta
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salom.
Salam sejahtera
Salam hormat
Sebelumnya, saya memohon maaf menulis surat terbuka ini. Surat ini saya layangkan penuh hormat sebagai sesame anak bangsa dari Nduga, Papua Pegunungan.
Bapak Presiden yang kami hormati.
Surat ini kami tuliskan bukan dari ruang kebencian, melainkan dari luka panjang yang belum sembuh. Bukan dari kemarahan, tetapi dari jeritan sunyi anak-anak, ibu-ibu, orang tua, dan rakyat kecil yang telah kehilangan rumah, tanah, dan masa depan mereka sejak tahun 2018 di tanah Ndugama.
Bapak Presiden yang kami kasihi
Nduga bukan sekadar wilayah administratif di peta Indonesia. Ia adalah rumah. Ia adalah rahim kehidupan. Ia adalah tempat di mana doa-doa sederhana rakyat dinaikkan kepada Tuhan di dalam honai (rumah khas kami), di kebun kebun, di bibir sungai, dan di kaki gunung serta lembah dan hutan yang setia menyimpan sejarah manusia Papua.
Namun sejak 2018, rumah itu berubah menjadi ruang ketakutan. Kampung-kampung kosong. Gereja-gereja sunyi. Sekolah-sekolah kehilangan tawa anak-anaknya.
Rakyat Nduga hidup dalam pengungsian bukan karena mereka ingin meninggalkan tanah leluhur, tetapi karena mereka ingin tetap hidup.
Bapak Presiden,
Kami percaya Bapak memahami makna kemanusiaan di tanah ini. Sejarah mencatat, pada tahun 1996, Bapak Presiden hadir di Nduga sebagai bagian penting dalam operasi pembebasan sandera Tim Peneliti Taman Nasional Lorentz.
Bapak tentu menyaksikan langsung wajah tanah ini, medan beratnya dan —yang terpenting— wajah manusia Papua yang hidup di dalamnya. Dari pengalaman itu, kami percaya Bapak tahu bahwa Papua bukan hanya soal keamanan, tetapi soal manusia.
Karena itu, dengan rendah hati namun tegas, kami memohon: tariklah pasukan non-organik dari Ndugama. Langkah itu bukan sebagai tanda kelemahan negara, tetapi sebagai tanda kebesaran jiwa seorang pemimpin.
Bukan sebagai kompromi terhadap kekerasan tetapi sebagai keberpihakan pada kehidupan. Keamanan sejati tidak lahir dari laras senjata, tetapi dari rasa aman rakyat di rumah mereka sendiri.
Hari ini, ribuan rakyat Nduga hidup sebagai pengungsi di tanahnya sendiri: anak-anak tumbuh tanpa pendidikan layak. Ibu-ibu melahirkan tanpa layanan Kesehatan. Orang tua meninggal tanpa sempat kembali ke kampung halaman. Ini bukan sekadar statistik kebijakan. Ini adalah tragedi kemanusiaan.
Bapak Presiden,
Di tengah semangat Natal yang mengajarkan kasih, damai, dan pemulihan hidup, kami berharap sebuah kebijakan yang memulihkan martabat manusia. Kiranya penarikan pasukan non-organik dari Ndugama menjadi Kado Natal 2025 bagi rakyat Nduga, dan juga bagi wilayah-wilayah lain di Papua yang telah lama hidup dalam pengungsian dan ketakutan.
Natal bukan hanya perayaan iman, tetapi panggilan moral untuk membiarkan manusia pulang ke rumahnya, hidup tanpa rasa takut, dan membangun masa depan dengan tangannya sendiri.
Kami tidak meminta keistimewaan. Kami hanya memohon hak paling dasar sebagai manusia: pulang, hidup, dan membangun kehidupan di tanah leluhur kami.
Kiranya Tuhan Yang Maha Esa menuntun hati dan kebijaksanaan Bapak Presiden agar keputusan yang diambil hari ini kelak dikenang sebagai keputusan yang menyelamatkan kehidupan, bukan memperpanjang penderitaan.
Dengan hormat dan pengharapan. Atas nama suara kemanusiaan dan pengharapan rakyat Nduga.
Tuhan memberkati Bapak Presiden
Ruben Benjamin Gwijangge










