OPINI  

Siapa Dalang “Agustus Kelabu” 2025?

Yakobus Dumupa, Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

PADA akhir Agustus 2025, Indonesia diguncang demonstrasi besar yang tak mudah dilupakan. Gelombang protes berlangsung sejak 25 Agustus hingga awal September, ketika ribuan mahasiswa dan pekerja turun ke jalan menolak kenaikan tunjangan DPR yang dianggap tak masuk akal di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit.

Awalnya kondisi relatif terkendali, meski penuh ketegangan. Namun hanya dalam beberapa hari, situasi berubah drastis. Aksi aspiratif itu meluas menjadi kerusuhan, bentrokan, dan perusakan di berbagai kota. Dari rentetan kejadian inilah istilah “Agustus Kelabu” lahir, simbol bulan penuh luka dan kemarahan.

Aksi pertama dimulai pada 25 Agustus. Di Jakarta, Medan, dan sejumlah kota lain, ribuan mahasiswa dan pekerja turun ke jalan. Isu utama yang mereka suarakan adalah penolakan kenaikan tunjangan DPR. Gelombang ini mendapat simpati publik karena dianggap mewakili keresahan banyak orang.

Namun, tiga hari kemudian, tepatnya 28 Agustus, situasi memanas. Ribuan massa mengepung gedung DPR. Bentrokan dengan aparat tak terhindarkan. Polisi menembakkan gas air mata dan water cannon. Di tengah kekacauan, seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas setelah terlindas kendaraan taktis kepolisian. Kematian ini menyulut kemarahan luas. Pada 29 Agustus, aksi menjalar ke Bandung, Surabaya, Solo, Makassar, dan kota lainnya. Kerusuhan meluas hingga 30 Agustus, dengan serangan ke gedung pemerintah di Surabaya, Malang, dan Mataram. Bahkan pada 1 September, aksi masih berlangsung, meski lebih damai dengan tuntutan “17+8 Demands”.

Sejak awal, Presiden Prabowo Subianto menyebut ada “mafia” yang ikut bermain di balik kerusuhan, meski tidak menyebut nama. Ia menegaskan pemerintah akan menghadapi mereka dengan tegas (Kompas TV, 1/9/2025). Polisi menambahkan, pihaknya masih memburu aktor intelektual yang dianggap menjadi otak di balik kerusuhan, sementara puluhan pelaku lapangan sudah ditetapkan tersangka (Tempo, 31/8/2025).

Nama pengusaha Riza Chalid kemudian ramai dibicarakan. Beberapa menteri mengunggah sindiran di media sosial yang dianggap mengarah padanya. Namun Kapolri Listyo Sigit Prabowo menegaskan penyelidikan hanya bisa berjalan berdasarkan bukti, bukan opini. Sampai kini tidak ada keputusan hukum yang mengaitkan Riza dengan kerusuhan (CNN Indonesia, 2/9/2025). Perlu dicatat, sejak 19 Agustus, Riza memang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai buronan Kejaksaan Agung dalam kasus lain (Detik, 20/8/2025).

Selain pengusaha, polisi juga menetapkan 43 tersangka dari dua kategori: penghasut dan pelaku anarkis. Dari klaster penghasut, enam orang dijerat, termasuk Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen, yang dituduh menyebarkan konten provokatif di media sosial, bahkan ada yang disebut menyebarkan panduan pembuatan molotov (Kompas, 1/9/2025). Penangkapan ini menuai kritik dari kelompok HAM yang menilai pemerintah terlalu represif.

Polisi juga menyebut adanya kelompok anarko yang ikut memperkeruh keadaan. Istilah ini merujuk pada kelompok muda berpakaian hitam yang sering diidentikkan dengan anarkisme, ideologi anti-negara dan anti-otoritas. Dalam praktiknya, istilah anarko sering dipakai secara longgar untuk menuding pihak-pihak yang dianggap merusuh. Polisi menuduh kelompok ini menyusup ke dalam aksi, memicu perusakan, meski belum ada bukti mereka mengendalikan kerusuhan secara nasional (Tempo, 29/8/2025).

Di tengah kekacauan, muncul pula isu keterlibatan TNI dan BAIS. Media sosial ramai dengan kabar bahwa intelijen TNI tertangkap Brimob karena menjadi provokator. Namun TNI segera membantah, menyatakan anggotanya hanya memantau jalannya aksi. Tuduhan itu disebut sebagai hoaks yang sengaja dipelintir (CNN Indonesia, 29/8/2025).

Isu lain diarahkan pada lingkaran politik yang dikenal sebagai “Geng Solo”, istilah populer untuk jejaring politik dekat dengan Jokowi. Beberapa pengamat dan purnawirawan intelijen menuding kelompok ini berperan sebagai operator lapangan. Namun tuduhan itu hanya sebatas opini dan belum pernah dikonfirmasi oleh aparat (RMOL, 2/9/2025).

Pernyataan paling mengejutkan datang dari mantan Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, yang menyebut ada aktor non-negara asing ikut bermain. Ia bahkan menyinggung nama besar seperti George Soros, George Tenet, David Rockefeller, dan Bloomberg. Klaim ini menimbulkan kehebohan, tetapi karena tidak disertai bukti, banyak pihak menilainya hanya sebagai peringatan politik (Kompas, 28/8/2025).

Narasi serupa datang dari media Rusia, Sputnik, yang menuding Soros dan lembaga NED sebagai dalang. Namun klaim itu segera dibantah tim cek fakta internasional yang menyebutnya sebagai disinformasi (Liputan6, 30/8/2025).

Spekulasi lain di ruang publik menyebut partai politik tertentu sengaja menunggangi aksi untuk melemahkan pemerintahan, serta oligarki tambang dan energi yang disebut ikut mendanai kerusuhan demi kepentingan bisnis. Namun semua itu belum memiliki dasar hukum dan masih sebatas gosip politik.

Dengan begitu banyak tuduhan, hingga kini tidak ada satu pun nama yang resmi terbukti secara hukum sebagai dalang “Agustus Kelabu”. Aparat baru menjerat pelaku lapangan dan beberapa penghasut, sementara tokoh-tokoh besar masih berada di ranah spekulasi.

Namun yang jelas, aksi ini lahir dari akumulasi kekecewaan rakyat. Kebijakan DPR yang dinilai menyakiti hati masyarakat, kondisi ekonomi yang semakin berat, serta tragedi kematian seorang anak bangsa menjadi pemicu utama ledakan sosial. Jika suara rakyat terus diabaikan, protes yang semula damai bisa dengan cepat berubah menjadi gelombang besar yang sulit dikendalikan.

Mungkin dalang sejati masih belum terungkap. Tetapi Agustus Kelabu sudah menjadi peringatan keras bahwa kepercayaan rakyat terhadap negara sangat rapuh. Pemerintah dan elite politik tidak bisa terus-menerus menutup telinga terhadap aspirasi masyarakat. Jika hal itu tetap terjadi, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan kembali terulang di masa depan.