OPINI  

Setengah Abad Jalan Trans Papua

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA, Doktor lulusan Universitas Cenderawasih Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Oleh Yosua Noak Douw

Doktor lulusan Universitas Cenderawasih Jayapura Papua

JIKA jalan Trans Papua Jayapura-Wamena tembus, harga akan turun, akses akan terbuka, dan keadilan pembangunan akan hadir di pegunungan. Kalimat ini terus terdengar di telinga masyarakat tanah Papua. Selama lebih dari lima puluh tahun kalimat itu berulang dalam gendang telinga nasyarakat bumi Cenderawasih.

Sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I era Presiden Soeharto hingga pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabumin Raka, nama Trans Papua Jayapura–Wamena berkali-kali muncul dalam dokumen resmi negara. Tetapi di banyak lembah dan gunung Papua Pegunungan, yang terlihat bukan paragraf indah, melainkan kabut tebal, hujan yang mengguyur saban waktu, lumpur, longsor hingga harga barang yang mencekik kantong rakyat kecil.

Belakangan ini, muncul janji baru: pengaspalan penuh Jayapura–Wamena pada 2026 dan mobil sedan bisa lewat. Bersamaan dengan itu, melalui retret para Sekretaris Daerah (Sekda) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) seluruh Indonesia yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Minggu-Rabu (26-29/10) di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, Jawa Barat, peserta dari Papua Pegunungan menyampaikan langsung aspirasi kepada Presiden.

Retret itu merupakan momentum penting dan strategis di mana “teriakan sunyi” pegunungan didengar langsung di meja kekuasaan. Pertanyaan mendasar pun muncul. Misalnya, apakah janji setengah abad ini akhirnya menjadi nyata? Atau hanya menjadi paragraf lain dalam sejarah panjang penantian Papua?

Nadi yang Belum Berdetak

Bagi sebagian orang di luar Papua, Jalan Trans Papua mungkin hanya infrastruktur strategis nasional. Namun, bagi masyarakat tanah Papua yang hidup di ‘atap negeri’, jalan ini adalah urat nadi kehidupan. Ia menentukan sejumlah aspek penting.

Pertama, berapa harga beras, minyak tanah, dan semen di kampung-kampung. Kedua, berapa lama ibu hamil harus bertarung nyawa menuju Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Ketiga, berapa sering guru dan tenaga kesehatan mampu bertahan di tempat tugas. Keempat, berapa persen APBD habis untuk biaya logistik, bukan untuk pelayanan.

Data tahun 2023 menunjukkan, panjang ruas Jayapura–Wamena sekitar 575 kilometer (KM), dengan sekitar 75 KM yang belum diaspal saat itu. Pemerintah kini optimis, pada akhir 2026 seluruh trase akan mulus. Namun, masyarakat Papua menyimpan memori lain: janji yang bergeser, proyek yang macet, dan jalan yang cepat rusak diterjang alam ekstrem.

Karena itu, ketika negara kembali mengumumkan target baru, masyarakat pun bertanya dalam hati: ini janji yang ke berapa? Kapan kami merasakan hasilnya? Karena itu, masyarakat sedang menunggu: mobil truk logistik yang dapat melintas sepanjang tahun, ambulans yang tidak terjebak lumpur, mobil boks yang menekan harga pangan, dan transportasi guru serta tenaga kesehatan (nakes) yang stabil sepanjang musim.

Jika standar teknis hanya dikejar demi simbol, sementara infrastruktur tetap rentan tertutup longsor, maka yang retak bukan hanya aspal tetapi kepercayaan rakyat Papua terhadap negara.

Tanpa Mikrofon Politik

Retret Sekda dan Kepala Bappeda seluruh Indonesia menjadi ruang strategis bagi peserta dari Papua Pegunungan untuk mengangkat isu wilayah dari perspektif orang dalam atau mikrofon politik; bukan sekadar data tetapi realitas hidup. Ada tiga usulan utama yang dititipkan peserta dari Papua Pegunungan kepada Presiden.

Pertama, penguatan konektivitas infrastruktur pegunungan. Trans Papua penting, tetapi tidak cukup. Namun, lebih dari itu dibutuhkan jaringan jalan kabupaten yang saling menghubungkan distrik, jembatan layak, airstrip perintis, simpul logistik dan gudang komoditas, standar akses yang mengakui geografi ekstrem. Tanpa ini, daerah otonom baru (DOB) Papua Pegunungan hanya menjadi struktur administratif, bukan alat pelayanan rakyat.

Kedua, fasilitas pelayanan publik yang benar-benar fungsional. Masih banyak kantor pemerintahan, sekolah, Puskesmas, rumah sakit, dan rumah dinas guru atau nakes yang tidak layak. Usulan konkrit ialah percepatan pembangunan fasilitas dasar, peralatan kesehatan yang memadai, akses energi dan air bersih, sumber daya manusia (SDM) pelayanan yang dijamin mobilitasnya. DOB tidak boleh berdiri di gedung pinjaman.

Ketiga, afirmasi kebijakan untuk wilayah pegunungan. Papua Pegunungan memiliki biaya kemahalan tinggi, akses logistik berat, topografi ekstrem, kerentanan sosial tinggi. Rumus fiskal nasional yang seragam membuat wilayah itu tertinggal dua–tiga langkah dari daerah pantai.

Dibutuhkan formula fiskal baru, dana alokasi khusus (DAK) dan Otonomi Khusus (Otsus) berbasis indeks kemahalan konstruksi (IKK), prioritas pembangunan khusus pegunungan.

Retret Jatinagor menunjukkan bahwa daerah tidak ingin hanya menerima perintah. Daerah perlu menjadi mitra strategis, menyodorkan solusi, dan berbicara jujur tentang realitas di bawah.

Trans Papua

Kesalahan lama pembangunan nasional adalah memisahkan proyek pusat seperti Trans Papua dan pelayanan publik daerah semisal sekolah, Puskesmas, kantor pemerintahan. Padahal, sering kali pusat membangun jalan, tetapi daerah dibiarkan menambal infrastruktur dasar sendirian. Jalan tanpa layanan publik hanya memperlancar arus barang dari luar ke pegunungan, tetapi tidak mengangkat ekonomi lokal.

Karena itu, ada tawaran paradigma baru: setiap segmen Trans Papua yang fungsional harus langsung diikuti oleh Program Strategis Otsus dan Daerah yaitu desa otsus mandiri di simpul-simpul jalan, gudang pangan dan gudang dingin untuk menopang makan bergizi gratis (MBG), bank pangan dan koperasi logistik, sentra usaha mikro dan kecil menengah (UMKM) serta rest area adat, penguatan sekolah dan Puskesmas di sepanjang koridor.

Namun, yang tak kalah penting ialah koridor ekonomi Jayapura–Wamena harus menjadi dokumen negara, bukan sekadar wacana. Kabupaten Tolikara, Yalimo, dan kabupaten lain tidak boleh hanya menjadi wilayah lintasan tetapi harus menjadi hub logistik dan sentra produksi. Setelah 50 tahun penantian, masalah tanah Papua di wilayah pegunungan bukan kurangnya janji tetapi lemahnya tata kelola.

Karena itu ada empat langkah utama yang diharapkan dari negara. Pertama, transparansi progres Trans Papua. Perlu membangun dashboard nasional yang menampilkan berapa kilometer yang diaspal per segmen, titik longsor, progres keuangan dan fisik, status keamanan lapangan. Rakyat berhak tahu, daerah butuh data untuk mengawal.

Kedua, pelibatan masyarakat adat dan gereja. Pembangunan di Papua tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan alat berat atau keamanan. Wilayah ini memiliki pemilik ulayat, gereja, dan kultur kolektif yang kuat. Libatkan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) atau LMAF, gereja, pemuda dan perempuan serta pemilik tanah adat. Ibarat membangun rumah orang, pemilik rumah harus duduk di meja perencanaan.

Ketiga, dana pemeliharaan jalan pegunungan. Tanah labil, hujan tinggi, dan longsor membuat pemeliharaan jauh lebih mahal daripada pembangunan awal. Aspek yang dibutuhkan adalah skema dana jangka panjang yang diakui negara. Tanpa ini, jalan cepat rusak dan negara akan terjebak dalam ‘siklus perbaikan tanpa akhir’.

Keempat, Sinkronisasi RPJMN–RPJPD–RPJMD–Renstra. Papua Pegunungan siap menjadi contoh tata kelola baru: perencanaan pusat dan daerah yang disusun dalam satu peta jalan, bukan berjalan sendiri-sendiri.

Merindukan Diperlakukan Adil

Papua sering digambarkan sebagai wilayah yang jauh, terjal, dan sulit. Bagi masyarakat asli yang lahir dan besar di sini, kondisi itu bukan label. Ia fakta yang menyertai keseharian manusia yang berpijak di atas tanah besar itu saban hari. Namun di balik semua itu, tanah Papua khususnya di wilayah pegunungan memiliki potensi alam besar, energi sosial yang kuat, solidaritas adat yang tinggi, dan keyakinan bahwa Papua adalah bagian penting dari bangsa ini.

Melalui retret nasional, melalui suara masyarakat serta elemen-elemen lainnya, melalui berbagai forum resmi, masyarakat di wilayah itu menitip satu kerinduan dan pesan sederhana: warga masyarakat tidak meminta belas kasihan. Mereka meminta keadilan pembangunan.

Warga juga tidak sekadar meminta jalan tetapi jalan yang benar-benar menghubungkan kehidupan. Warga tidak meminta DOB sebagai nama namun DOB yang bermakna bagi rakyat kecil. Setengah abad penantian Trans Papua harus menjadi alarm moral bangsa. Jika kini kita gagal lagi, yang retak bukan hanya aspal tetapi harapan generasi muda Papua terhadap negara.

Jika janji ditepati, dengan tata kelola yang jujur dan berkeadilan, Trans Papua Jayapura–Wamena bukan hanya menjadi proyek infrastruktur, tetapi menjadi jembatan rekonsiliasi antara negara dan rakyat Papua. Dan dari lembah-lembah yang terlalu lama menunggu, warga percaya: ketika keadilan benar-benar menemukan jalannya, Papua tidak hanya tersambung secara geografis namun tersambung dalam martabat dan harapan.