Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
Pendahuluan
Minggu dini hari, 28 September 2025 pukul 00.00 GMT, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi memberlakukan kembali embargo senjata dan sanksi nuklir terhadap Iran. Keputusan ini merupakan hasil mekanisme snapback yang dipicu oleh tiga negara Eropa—Inggris, Prancis, dan Jerman—sebulan sebelumnya. Ketiga negara itu menilai Iran telah melakukan pelanggaran serius terhadap Perjanjian Nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Menurut E3, Iran secara terbuka memperkaya uranium jauh di atas batas yang ditetapkan dan terus mengembangkan teknologi nuklir yang berpotensi digunakan untuk senjata. Teheran menolak tuduhan itu, menyebut sanksi ilegal, dan memperingatkan dunia bahwa mereka akan merespons dengan keras.
Kembalinya sanksi PBB ini tidak hanya berdampak pada Iran semata. Efeknya langsung menjalar ke tiga isu besar: masa depan program nuklir Iran, hubungan penuh permusuhan dengan Israel, dan kekuatan jaringan proksi yang selama ini menjadi ujung tombak pengaruh Teheran di Timur Tengah.
Dampak Terhadap Program Nuklir
Bagi Iran, sanksi ini jelas menargetkan jantung ambisi nuklir mereka. Program yang selama ini dijalankan dengan penuh kebanggaan dan klaim kedaulatan kini kembali dibayangi keterbatasan. Walaupun Teheran telah mengembangkan kapasitas domestik, kenyataannya program nuklir mereka masih bergantung pada jaringan global, baik untuk peralatan maupun pembiayaan.
Pertama, embargo senjata dan larangan transfer teknologi membuat rantai pasok Iran kembali tersumbat. Peralatan penting untuk memperkaya uranium, seperti sentrifugal canggih, sistem vakum, hingga sensor presisi, sulit diperoleh secara sah. Sejak AS keluar dari JCPOA tahun 2018, Iran memang berupaya memproduksi komponen sendiri. Tetapi dengan sanksi baru, jalur gelap yang biasanya dipakai untuk impor menjadi lebih berisiko dan mahal.
Kedua, hambatan ini langsung berimbas pada kecepatan pengayaan uranium. IAEA sebelumnya melaporkan bahwa Iran telah memperkaya uranium hingga 60 persen, padahal batas perjanjian hanya 3,67 persen. Dengan pasokan sentrifugal generasi baru semakin terbatas, langkah Iran untuk menambah stok uranium berkadar tinggi akan melambat. Jalannya menuju kemampuan senjata nuklir tetap ada, tetapi lebih panjang dan berliku.
Ketiga, sanksi ini memperkuat tekanan politik terhadap Iran. Negara-negara Barat kini memiliki dasar hukum untuk menuntut kepatuhan penuh lewat inspeksi IAEA. Setiap pelanggaran dapat menjadi alasan untuk menambah sanksi tambahan di tingkat nasional atau regional. Iran pun menghadapi dilema: semakin menutup diri, semakin besar tekanan; semakin terbuka, semakin berisiko rahasia programnya terbongkar.
Dampak Terhadap Permusuhan Iran–Israel
Hubungan Iran dan Israel sejak lama ibarat api dalam sekam. Setiap perkembangan nuklir Iran dipandang Israel sebagai ancaman eksistensial. Kembalinya sanksi PBB memperkuat posisi Israel, tetapi juga memicu Iran untuk meningkatkan retorika dan ancaman.
Pertama, bagi Iran, keputusan ini adalah kemenangan diplomatik Israel. Tidak heran bila retorika Teheran terhadap Tel Aviv semakin tajam. Pernyataan keras, janji balasan, hingga pamer kekuatan militer kemungkinan besar akan mewarnai hari-hari ke depan.
Kedua, kondisi ini meningkatkan risiko salah kalkulasi. Dalam situasi tertekan, Iran sering memilih strategi “tekanan dibalas tekanan.” Bukan mustahil Iran melancarkan uji coba rudal baru, serangan siber, atau operasi terbatas melalui proksi di Lebanon, Suriah, atau Gaza. Namun, langkah seperti itu sangat rawan menimbulkan eskalasi yang tidak diinginkan. Satu insiden kecil saja bisa berkembang menjadi konfrontasi besar.
Ketiga, meski retorika memanas, Iran tetap rasional dalam hal biaya. Tekanan ekonomi akibat sanksi membuat perang terbuka dengan Israel bukan pilihan realistis. Iran kemungkinan memilih jalur asimetris: serangan drone, roket jarak pendek, atau aksi siber. Tindakan itu cukup untuk menunjukkan perlawanan, tanpa harus menanggung beban perang besar yang bisa melumpuhkan ekonomi mereka.
Dampak Terhadap Kekuatan Proksi Iran
Selain nuklir dan hubungan dengan Israel, sanksi ini juga memengaruhi jejaring proksi Iran di kawasan. Selama ini, pengaruh Iran lebih banyak dijalankan lewat kelompok sekutu di Lebanon, Suriah, Irak, Yaman, hingga Gaza. Kekuatan proksi inilah yang membuat Teheran tetap disegani meski ekonomi domestiknya rapuh. Namun, dengan sanksi baru, aliran dukungan terhadap jaringan ini menghadapi tantangan berat.
Pertama, aliran dana dan logistik untuk menopang Hizbullah, milisi Syiah di Irak dan Suriah, Houthi di Yaman, serta kelompok bersenjata di Gaza akan semakin terbatas. Jalur perbankan internasional diperketat, perusahaan bayangan Iran lebih mudah disasar, dan pengiriman lewat laut maupun darat diawasi ketat. Biaya menjaga jaringan proksi pun melonjak.
Kedua, kondisi ini bisa melemahkan kemampuan tempur proksi. Hizbullah di Lebanon, misalnya, bergantung pada pasokan amunisi dan dana sosial dari Iran. Dengan jalur pasok terganggu, cadangan mereka bisa menipis. Milisi di Irak dan Suriah berisiko terlambat menerima suplai. Houthi di Yaman mungkin tidak lagi bisa melancarkan serangan sesering sebelumnya karena keterbatasan teknologi dan suku cadang. Dengan demikian, daya pukul proksi Iran kemungkinan melemah dalam hal intensitas, meski tetap ada.
Ketiga, Iran tetap memiliki ruang adaptasi. Sejarah menunjukkan Teheran mahir mengakali sanksi, baik dengan barter, penggunaan cryptocurrency, maupun membentuk perusahaan bayangan di negara ketiga. Dukungan dari Rusia dan Tiongkok juga bisa menjadi jalur penyelamat. Artinya, proksi tidak akan lumpuh total, tetapi kemampuan mereka akan lebih terbatas dan penuh risiko.
Kesimpulan
Kembalinya sanksi PBB terhadap Iran membawa konsekuensi yang kompleks. Dari sisi nuklir, laju program Iran dipaksa melambat meski niat politiknya tidak surut. Dari sisi permusuhan dengan Israel, tensi meningkat dan risiko salah kalkulasi makin besar, meski perang besar tampaknya tetap dihindari. Dari sisi proksi, kemampuan mereka untuk beroperasi akan melemah karena aliran dana dan logistik terhambat, walau tidak sepenuhnya hilang.
Dalam situasi ini, Israel dan Amerika Serikat berada di posisi yang diuntungkan. Jika Iran melunak, mereka dapat mengklaim keberhasilan menekan Teheran. Jika Iran melawan, mereka memiliki dalih untuk memperketat tekanan lebih jauh. Sementara itu, rakyat Iran dan masyarakat Timur Tengah tetap menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.
Selama isu nuklir Iran tidak dibicarakan kembali dalam kerangka kesepakatan yang adil, dan selama konflik regional terus dipolitisasi, kawasan ini akan tetap berada dalam bayang-bayang ketidakpastian. Sanksi memang bisa memperlambat langkah Iran, tetapi tidak pernah bisa memadamkan sepenuhnya api persaingan yang sudah lama menyala di Timur Tengah.