Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)
Pendahuluan
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura adalah simbol pelayanan kesehatan utama di Tanah Papua, tempat di mana jutaan orang datang untuk mencari harapan dan kesembuhan. Namun, beberapa tahun terakhir, rumah sakit ini justru sering menjadi sumber keluhan. Layanan yang lambat, manajemen tidak tertib, obat sering kosong, serta dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan membuat citra Dok II merosot tajam.
Kondisi itu mencapai puncaknya pada 4 November 2025, ketika Gubernur Papua Mathius D. Fakhiri melakukan inspeksi mendadak ke RSUD Dok II. Ia menemukan pelayanan semrawut dan pasien yang ditolak karena persoalan administrasi. Dalam kunjungan itu, gubernur langsung mencopot Plt. Direktur dr. Aron Rumainum dan dua hari kemudian menunjuk dr. Andreas Pekey, Sp.PD., M.H sebagai penggantinya. Langkah ini menjadi peringatan keras bahwa sistem pelayanan publik Papua tidak boleh dibiarkan sakit terlalu lama.
Pencopotan tersebut bukan sekadar pergantian jabatan, tetapi sinyal perubahan besar. Gubernur memberi pesan tegas bahwa rumah sakit ini harus kembali pada jati dirinya: melayani dengan hati dan profesionalisme. Peristiwa itu menjadi titik balik penting—sebuah kesempatan bagi Papua untuk menata ulang rumah sakit rujukan yang telah lama kehilangan arah dan kepercayaan publik.
Masalah-Masalah Kronis: Luka Lama yang Tak Pernah Disembuhkan
Masalah di RSUD Dok II bukan muncul tiba-tiba; ia menumpuk bertahun-tahun tanpa perbaikan serius. Di balik dinding rumah sakit yang megah, tersimpan luka lama yang membuat pelayanan tak lagi manusiawi.
Pertama, tata kelola dan manajemen yang amburadul. Sebagai rumah sakit berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), seharusnya RSUD Dok II memiliki sistem yang fleksibel dan transparan. Namun yang terjadi sebaliknya: struktur kerja berantakan, laporan keuangan tumpang tindih, dan koordinasi antarunit berjalan tanpa arah. Banyak keputusan diambil tanpa data dan tanpa perencanaan matang. Akibatnya, efisiensi hilang, tanggung jawab kabur, dan pelayanan publik menjadi korban.
Kedua, masalah keuangan yang menahun. RSUD Dok II terjebak dalam lingkaran utang sejak lama. Pada 2018, total utang mencapai Rp 179 miliar, dan pada 2024 kembali muncul tunggakan terhadap distributor obat. Ruang kemoterapi bahkan sempat tidak beroperasi karena tagihan Rp1,2 miliar belum dibayar. Akibatnya, banyak pasien tidak mendapatkan pengobatan yang layak, dan dokter harus menghadapi pasien tanpa dukungan obat dan alat yang memadai. Ini bukan sekadar masalah administrasi, tetapi kegagalan moral dalam mengelola lembaga yang menyangkut hidup manusia.
Ketiga, pelayanan yang kehilangan rasa kemanusiaan. Banyak pasien yang datang dalam kondisi darurat justru diminta menyelesaikan administrasi terlebih dahulu. Padahal, prinsip dasar rumah sakit adalah menyelamatkan nyawa tanpa syarat. Di IGD, pasien menunggu berjam-jam; di poli, antrean panjang tak kunjung berkurang; sementara sebagian tenaga medis bekerja dalam tekanan dan kelelahan tanpa sistem kerja yang mendukung. Dalam situasi ini, pelayanan berubah menjadi sekadar rutinitas birokrasi tanpa empati.
Keempat, fasilitas yang menua dan tidak terawat. Air bersih sering macet, atap bocor, alat kesehatan rusak, dan ruangan perawatan tak nyaman. Semua ini menunjukkan bahwa perencanaan pemeliharaan tidak berjalan. Rumah sakit provinsi seharusnya menjadi contoh kualitas pelayanan, bukan simbol ketidakberdayaan birokrasi. Jika tempat penyembuhan saja tidak sehat, bagaimana mungkin masyarakat bisa sembuh di dalamnya?
Kelima, lemahnya integritas dan moral pelayanan. Kasus korupsi pengadaan genset tahun 2014 adalah satu dari banyak contoh bagaimana kejujuran sering dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Banyak pegawai bekerja tanpa semangat karena merasa sistemnya sudah bobrok. Akibatnya, muncul budaya kerja yang apatis: datang, bekerja seadanya, lalu pulang tanpa kepedulian. Dok II kehilangan semangat pengabdian yang menjadi fondasi pelayanan kesehatan.
Masalah-masalah itu ibarat penyakit kronis yang dibiarkan membusuk. Jika tidak diobati dari dalam, rumah sakit ini hanya akan bertahan sebagai bangunan besar yang kehilangan jiwanya.
Jalan Keluar: Membenahi dari Akar, Bukan Sekadar Mengganti Kepala
Perubahan sejati hanya mungkin terjadi bila pembenahan dilakukan dari akar persoalan. RSUD Dok II membutuhkan perombakan menyeluruh, bukan sekadar mengganti direktur atau mempercantik bangunan.
Pertama, lakukan audit total atas seluruh aspek manajemen. Pemerintah harus menurunkan tim independen yang melibatkan auditor, akademisi, dan praktisi medis untuk memetakan masalah keuangan, pelayanan, dan pengadaan. Audit ini menjadi dasar perencanaan strategis yang konkret dan terukur. Tanpa data dan transparansi, reformasi hanya akan menjadi slogan kosong.
Kedua, perbaiki pengelolaan keuangan BLUD agar benar-benar akuntabel. Semua penerimaan dan pengeluaran harus dilaporkan secara digital dan diawasi secara terbuka. Pengadaan obat dan alat kesehatan wajib melalui sistem yang transparan dan efisien. Pemerintah provinsi bisa menggandeng BPKP untuk melakukan audit triwulanan sehingga celah penyimpangan tertutup rapat.
Ketiga, bangun kembali pelayanan yang berpusat pada manusia. Rumah sakit harus kembali pada nilai dasarnya: menyelamatkan nyawa tanpa membedakan status sosial. Tenaga medis perlu pelatihan ulang mengenai empati, etika, dan komunikasi dengan pasien. Unit khusus harus dibentuk untuk membantu masyarakat miskin mengurus administrasi tanpa menghambat layanan medis. Prinsipnya jelas: selamatkan dulu, urus kemudian.
Keempat, lakukan revitalisasi fasilitas dan alat kesehatan secara bertahap. Pemerintah perlu membuat program tiga tahun untuk memperbaiki gedung, memperbaharui alat medis, dan memperkuat infrastruktur dasar seperti air, listrik, dan sanitasi. Setiap perbaikan harus disertai dengan sistem pemeliharaan berkala agar tidak kembali rusak dalam waktu singkat.
Kelima, tegakkan integritas dan kepemimpinan yang kuat. Direktur baru harus menjadi contoh nyata dari semangat reformasi. Ia harus berani menindak pelanggaran disiplin, menolak pungutan liar, dan memastikan rumah sakit bebas dari praktik tidak etis. Kepemimpinan yang bersih bukan hanya soal jabatan, tetapi keteladanan moral yang menggerakkan semua orang untuk bekerja dengan hati.
Keenam, libatkan masyarakat dalam pengawasan publik. RSUD Dok II harus membuka kanal pengaduan yang mudah diakses, mengadakan forum konsultasi, dan rutin melaporkan perkembangan pelayanan kepada publik. Dengan melibatkan masyarakat, transparansi menjadi budaya, bukan kewajiban administratif.
Jika langkah-langkah itu dilaksanakan dengan konsisten dan berani, Dok II akan kembali sehat—bukan hanya dari segi fasilitas, tapi juga dari roh pelayanannya.
Penutup
Pencopotan pimpinan RSUD Dok II Jayapura bukan akhir cerita, melainkan awal dari babak baru perjuangan membangun pelayanan kesehatan yang bermartabat di Papua. Rumah sakit ini adalah wajah negara di mata rakyat kecil; ketika pelayanannya gagal, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun runtuh. Karena itu, pembenahan total harus dilakukan dengan kesungguhan, keberanian, dan kejujuran.
Perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Ia membutuhkan waktu, konsistensi, dan kepemimpinan yang tegas. Audit dan reformasi hanyalah permulaan; yang lebih penting adalah menumbuhkan kembali semangat pengabdian di hati setiap pegawai dan tenaga medis. Dok II harus menjadi rumah bagi nilai kemanusiaan—tempat di mana semua orang, tanpa kecuali, diterima dengan empati dan dilayani dengan hormat.
Pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat harus berjalan bersama dalam proses ini. Pemerintah menyediakan kebijakan dan anggaran, tenaga medis menjalankan tugas dengan dedikasi, dan masyarakat menjaga serta mengawasi agar perubahan tetap di jalurnya. Bila ketiganya bergerak seirama, maka Dok II bisa kembali menjadi kebanggaan Papua.
Kita berharap suatu hari nanti, orang-orang yang datang berobat ke RSUD Dok II tidak lagi membawa rasa cemas dan ketakutan, melainkan keyakinan bahwa mereka akan pulang dengan harapan baru. Sebab rumah sakit ini sejatinya bukan hanya tempat mengobati tubuh, tetapi juga tempat menyembuhkan kepercayaan. Dan itulah alasan mengapa pembenahan total RSUD Dok II Jayapura tidak bisa ditunda lagi—karena yang sedang dipertaruhkan adalah nyawa dan martabat manusia Papua.









