Kepada Tuhan, tentang Mereka
Tuhan, malam ini aku menulis pada-Mu
di meja yang penuh debu kenangan
Di luar, hujan jatuh seperti surat-surat dari langit
dan setiap tetesnya memanggil nama Ayah dan Ibu
Aku ingin percaya, rintiknya adalah langkah mereka
yang datang menemuiku dalam diam
Aku membuka jendela dan bertanya pada angin:
“Di mana mereka, yang dulu menuntun kakiku?”
Angin hanya tertawa lirih
membawa aroma tanah basah dan daun yang gugur
Katanya, mereka sekarang beristirahat
di taman yang tidak pernah layu bunganya
Tuhan, Engkau tahu, aku masih menyimpan suara mereka
di sudut terdalam ingatan
seperti lilin kecil yang tak padam meski hujan mengguyur
Kadang aku takut
jika suara itu akan pudar
dan aku tak lagi mampu mengingat tawa mereka
Aku pernah bertanya pada bulan:
“Apakah kau melihat mereka malam ini?”
Bulan mengangguk pelan
memantulkan cahaya yang lembut di wajahku
Katanya, mereka berjalan di antara bintang
menyulam doa untuk anak yang merindukan
Tuhan, aku bukan sekadar ingin tahu
tentang alamat surga atau gerbang emas-Mu
Aku ingin tahu, apakah di sana
mereka masih menatapku dari lengkung langit
atau sesekali berbisik di telingaku
ketika aku hampir menyerah pada dunia
Pohon tua di halaman rumah ikut bicara padaku:
“Mereka menitipkan kekuatan pada akar-akar kami
agar engkau tetap tegak meski angin kencang datang.”
Aku menyentuh kulit pohon itu
dan merasa hangat yang tak berasal dari matahari
Mungkin, itulah pelukan mereka yang tertunda
Tuhan, aku menulis ini dengan jemari yang gemetar
bukan karena dingin
tapi karena takut kehilangan jejak yang menumpuk dalam kata
Jika Engkau membaca surat ini
tolong bisikkan pada mereka:
anaknya masih berjalan, meski tertatih
Aku ingin sekali duduk di tepi surga
memegang tangan mereka
dan menceritakan semua luka yang kupikul
Tapi aku tahu, jalan ke sana
bukan milik langkah yang terburu
melainkan hati yang sabar menunggu waktu
Tuhan, izinkan aku mengirimkan doa
sebagai matahari pagi untuk mereka
menghangatkan istirahat panjangnya
dan menghapus sisa letih yang pernah mereka bawa
Biarlah doa itu berulang setiap hari
seperti mantra yang tak pernah selesai
Maka, malam ini aku menutup suratku
tapi tidak menutup rinduku.
Kepada-Mu, Tuhan, tentang mereka:
aku selalu menulis
selalu bertanya
selalu berharap—
hingga saat Engkau pertemukan kami kembali
di taman yang tak mengenal kata pisah
Nabire, 13 Agustus 2025
Eugene Mahendra Bala Duan lahir 18 Juni 1985 di Lewoleba, Lembata. Saat ini mengabdi sebagai guru di SMP YPPK Santo Antonius, Nabire, kota Provinsi Papua Tengah. Menulis opini di sejumlah media massa dan penikmat sastra.
Puisi di atas lahir sebagai doa persembahan terindah penulis untuk orang tua terkasih: Yasintus Kia Duan dan Bernadetha Gawen. Pasutri guru ini sudah memenuhi panggilan Tuhan, sang Sabda. Semasa hidup, pasutri ini lama mengabdi sebagai guru. Sang ayah meninggal 31 tahun lalu disusul sang bunda pada 5 Oktober 2024.