JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura menyurati Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto. Surat itu dilayangkan pihak PTUN akibat tindakan Bupati Yahukimo mengabaikan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dalam perkara 139 kepala kampung (kepala desa) di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan.
Surat PTUN Jayapura kepada Presiden Republik Indonesia tercatat dengan No. 1448/KPTUN.W8-TUN3/HK2.7/X/2025, tertanggal 24 Oktober 2025. Surat pihak PTUN kepada merupakan upaya paksa karena ratusan kepala kampung itu berhasil mengalahkan bupati dalam sengketa tata usaha negara.
“Surat Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura ke presiden adalah bentuk upaya paksa. Hal ini membuktikan bahwa Bupati Yahukimo tidak melaksanakan putusan berkekuatan hukum tetap secara sukarela,” ujar Frederika Korain, SH, MAAPD, kuasa hukum 139 kepala kampung melalui keterangan tertulis kepada wartawan di Jayapura, Papua, Kamis (30/10).
Menurut Rika, sapaan akrab Frederika Korain, mengingat hal tersebut terkait hak kliennya ia meminta Gubernur Papua Pegunungan untuk menjatuhkan sanksi kepada Bupati Yahukimo.
“Saya juga meminta Kepolisian Daerah Polda Papua atau Kejaksaan untuk segera mengusut dugaan tindak pidana korupsi dari modus pengabaian putusan pengadilan tersebut dan segera menangkapnya. Ini melecehkan keadilan dan kewibawaan hukum sehingga harus segera ditindak,” kata Rika.
Rika menegaskan, permohonan peninjauan kembali (PK) kedua oleh Bupati Yahukimo dalam perkara ratusan kepala kampung sebagaimana Putusan Mahkamah Agung No. 174 PK/TUN/2023, tertanggal 24 November 2023 juncto putusan No. 156/B/PT.TUN.MKS tertanggal 14 November 2022 juncto Putusan No. 02/G/022/PTUN.JPR tidak menghambat proses eksekusi.
“Mungkin Pak Bupati belum tahu sehingga perlu kami beritahu. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, telah tegas diatur bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan,” ujar Rika.
Pendiri Veritas Law Office ini lebih lanjut menegaskan, permohonan PK kedua dalam sistem hukum Indonesia, mensyaratkan adanya putusan pengadilan yang saling bertentangan.
“Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2023, Pengajuan PK Kedua bisa dilakukan apabila dalil pertentangan dua/lebih putusan pengadilan berbeda. Dalam perkara ini tidak ada putusan yang saling bertentangan,” kata Rika, pengacara perempuan Papua sambil tersenyum.
Oleh karena itu, ia meminta semua pihak agar membaca aturan hukum baik-baik sehingga tidak bertindak gegabah, menyalahgunakan proses hukum dan melecehkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (*)










