Provinsi Festival Papua Tengah

Provinsi Festival Papua Tengah. Gambar: Facebook

ISTILAH “Provinsi Festival Papua Tengah” lahir dari narasi yang beredar luas di media sosial. Sebutan ini muncul sebagai ekspresi kekecewaan publik terhadap arah kebijakan Pemerintah Provinsi Papua Tengah yang dinilai lebih sibuk menggelar festival, lomba, dan kegiatan seremonial ketimbang menghadirkan pembangunan dan pelayanan masyarakat yang nyata. Ketika istilah ini menjadi viral, sesungguhnya ia mencerminkan kritik sosial yang serius terhadap kinerja pemerintah daerah.

Provinsi Papua Tengah dibentuk dengan harapan besar: mempercepat pembangunan, mengurangi ketimpangan, dan menjawab penderitaan rakyat di wilayah yang selama puluhan tahun tertinggal. Namun, realitas yang dirasakan masyarakat justru berbanding terbalik. Di bawah kepemimpinan Gubernur Meki Nawipa, pemerintah provinsi dinilai tidak menunjukkan niat dan arah pembangunan yang jelas. Sepanjang 2025, agenda pemerintah lebih didominasi kegiatan hiburan dan festival yang menyedot anggaran publik dalam jumlah besar.

Sementara panggung-panggung hiburan terus didirikan, persoalan mendasar rakyat dibiarkan menumpuk. Jalan penghubung antarwilayah rusak dan terabaikan, sekolah kekurangan guru, fasilitas kesehatan minim tenaga dan obat, harga kebutuhan pokok melambung, serta pengangguran anak muda Papua kian mengkhawatirkan. Dalam kondisi seperti ini, penghamburan anggaran untuk kegiatan seremonial bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga menunjukkan krisis empati dan kegagalan membaca kebutuhan rakyat.

Festival dan kegiatan seni tentu bukan sesuatu yang keliru pada dirinya. Namun, ketika kegiatan semacam itu menjadi wajah utama pemerintahan, sementara pembangunan dasar nyaris tak bergerak, maka yang terjadi adalah pembalikan prioritas. Pemerintah provinsi tampak lebih mengejar citra dan keramaian sesaat daripada hasil pembangunan yang berkelanjutan. Publik pun wajar mempertanyakan: di mana program unggulan? Di mana peta jalan pembangunan Papua Tengah?

Hingga kini, tidak terlihat adanya terobosan nyata di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, maupun infrastruktur dasar. Tidak ada kebijakan strategis yang menyentuh akar persoalan kemiskinan dan keterisolasian. Yang tampak justru rutinitas kegiatan jangka pendek yang menghabiskan anggaran, memberi kesan ada aktivitas, tetapi minim dampak bagi kesejahteraan rakyat.

Seorang gubernur bukanlah event organizer. Kepemimpinan daerah menuntut visi, kapasitas manajerial, dan keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan jangka panjang rakyat. Mengelola provinsi baru dengan cara menghamburkan uang untuk festival adalah cerminan ketidaksiapan dan ketidakmampuan memimpin pemerintahan secara serius.

Papua Tengah tidak membutuhkan panggung megah dan hiburan berbiaya mahal. Rakyat membutuhkan kehadiran negara melalui pelayanan publik yang layak, pembangunan yang terukur, dan kebijakan yang berpihak pada kehidupan mereka. Jika pola pemerintahan seperti ini terus dipertahankan, maka sebutan “Provinsi Festival Papua Tengah” akan melekat kuat—bukan sebagai prestasi, melainkan sebagai simbol kegagalan kepemimpinan dan pemborosan anggaran publik. (Editor)