TANGGAL 10 Desember 2025 kembali mengingatkan dunia bahwa martabat manusia adalah dasar peradaban. Namun bagi rakyat Papua, Hari HAM Sedunia bukanlah perayaan, melainkan pengingat bahwa negara masih gagal menegakkan keadilan di tanah yang terus memanggil bantuan. Pada hari yang penuh makna ini, rakyat Papua dan pegiat HAM di Indonesia serta seluruh dunia mengarahkan sorotan tajam kepada Presiden Republik Indonesia: “Prabowo Subianto, jangan abaikan HAM Papua!” Seruan ini lahir dari kenyataan bahwa hingga kini, luka yang dijanjikan akan diobati justru dibiarkan menganga.
Selama kampanye, Prabowo Subianto berulang kali menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Indonesia, khususnya di Papua. Ia berjanji menghentikan pendekatan represif dan membuka dialog bermartabat agar perdamaian dapat dibangun di atas keadilan. Rakyat Papua menyambut janji itu dengan harapan baru, sebab bagi mereka negara adalah satu-satunya pintu yang dapat membebaskan dari rantai penderitaan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Namun hingga kini, janji itu tidak terlihat dalam langkah konkret yang mampu mengubah situasi di lapangan. Apa yang terjadi justru kelanjutan pola lama yang menempatkan rakyat Papua sebagai korban yang paling sering dilupakan.
Deretan kasus pelanggaran HAM berat di Papua adalah bukti bahwa negara belum mampu menegakkan keadilan secara setara. Paniai 2014, di mana empat remaja Papua ditembak mati, masih menggantung tanpa pertanggungjawaban yang layak. Nduga (2018) menyisakan ribuan pengungsi yang hidup tanpa kepastian hingga hari ini. Kasus-kasus lama seperti Wasior (2001), Wamena (2003), dan Biak Berdarah (1998) tetap membeku sebagai tragedi besar tanpa penyelesaian. Belum lagi berbagai kekerasan di Intan Jaya, Yahukimo,Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Wamena (2019–2025) yang memperlihatkan betapa rentannya kehidupan sipil di Papua ketika keamanan menjadi alasan untuk menutup ruang keadilan.
Semua kasus ini bukan sekadar catatan masa lalu; semuanya adalah seruan agar negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Ketika Prabowo Subianto berjanji menegakkan HAM di Papua, rakyat menagihnya sebagai tuntutan moral, bukan sebagai retorika politik. Presiden memiliki kewenangan penuh untuk menghentikan impunitas, menata ulang pendekatan keamanan, dan membuka dialog yang selama ini tertutup oleh ketakutan. Mengabaikan penderitaan Papua berarti meremehkan konstitusi yang menjamin hak hidup, rasa aman, dan kesetaraan setiap warga negara.
Dunia pun memperhatikan. Indonesia tidak dapat mempertahankan reputasi sebagai negara demokratis bila Papua terus dibiarkan sebagai wilayah paling rawan pelanggaran HAM. Pada Hari HAM Sedunia ini, suara rakyat Papua bersatu dengan pegiat HAM Indonesia dan komunitas internasional untuk menyerukan hal yang sama: usut tuntas pelanggaran HAM berat, hentikan pendekatan kekerasan, dan hadirkan negara yangmembela korban, bukan melindungi impunitas.
Presiden Prabowo Subianto,Papua menunggu tindakan Anda. Jangan biarkan janji menjadi dusta. Janganabaikan HA M Papua! (Editor)










