Oleh Laurens Minipko
Pemerhati Sosial Budaya Papua
NATAL selalu datang membawa simbol yang sederhana namun dalam: sebuah pohon yang dihias, dirawat, dan dirayakan. Pohon Natal bukan alat produksi, bukan komoditas, melainkan penanda kehidupan, harapan, dan kelahiran, yaitu sebuah peristiwa kecil yang justru mengguncang kekuasaan besar.
Namun di negeri ini, di tengah perayaan natal, negara kembali berbicara tentang pohon lain: Pohon sawit. Pohon yang ditanam bukan untuk dirayakan, melainkan untuk dieksploitasi. Perbandingan antara pohon Natal dan pohon sawit bukan sekadar permainan simbol. Ia adalah pertarungan nilai tentang bagaimana negara memandang kehidupan, alam, dan manusia.
Pohon Natal hidup dalam logika perayaan. Ia dirawat agar tetap hijau, bukan untuk diperas hasilnya, tetapi untuk menandai bahwa kehidupan bisa tumbuh bahkan di musim paling dingin. Dalam tradisi Kristen, pohon ini berdiri berdampingan dengan kisah kelahiran Yesus, yaitu sebuh inkarnasi yang berpihak pada yang kecil, miskin, dan tak dianggap penting oleh kekuasaan. Natal mengajarkan bahwa keselamatan tidak lahir dari ekspansi, tetapi dari kerendahan dan relasi.
Sebaliknya, pohon sawit hidup dalam logika akumulasi. Ia ditanam secara monokultur, seragam, dan agresif. Sawit tidak mengenal perayaan; ia hanya mengenal target produksi, efisiensi lahan, dan keuntungan. Hutan harus dibuka, tanah adat harus dialihfungsikan, dan relasi manusi dengan alam harus diputus agar mesin ekonomi dapat berjalan lancar.
Di sinilah kritik terhadap rencana ekspansi sawit, yang kembali menguat dalam wacana pemerintahan Prabowo, menjadi relevan. Sawit direpresentasikan sebagai solusi: untuk energi, swasembada pangan, lapangan kerja, dan kemandirian nasional. Namun seperti banyak proyek pembangunan sebelumnya, pertanyaan etis yang paling mendasar justru diabaikan: siapa yang kehilangan tanah, siapa yang menanggung kerusakan ekologis, dan siapa yang menikmati hasilnya?
David Harvey menyebut proses ini sebagai accumulation by dispossession (akumulasi kekayaan melalui perampasan sistemis ruang hidup orang lain). Dalam kerangka ini, sawit bukan sebatas tanaman, melainkan instrumen kekuasaan yang memindahkan nilai dari komunitas lokal ke pusat-pusat modal. Tanah adat berubah menjadi konsensi, hutan menjadi angka statistik, dan masyarakat lokal direduksi menjadi tenaga kerja murah atau bahkan penghalang pembangunan.
Karl Polanyi jauh hari telah mengingatkan bahaya ketika tanah dan alam diperlakukan semata sebagai komoditas. Dalam The Great Transformation, Polanyi menyebut tanah sebagai “komoditas fiktif” karena ia sejatinya bukan barang yang diciptakan untuk diperjualbelikan. Ketika tanah dipaksa tunduk pada logika pasar, yang runtuh bukan hanya ekosistem, tetapi juga tatanan sosial dan kebudayaan. Ekspansi sawit adalah contoh nyata bagaimana peringatan Polanyi itu terus diabaikan.
Ironinya, semua ini berlangsung di tengah narasi stabilitas, swasembada dan kemakmuran. Negara berbicara tentang ketertiban, investasi, dan pertumbuhan, sementara luka sosial dan ekologis dianggap sebagai biaya yang tak terhindarkan. Stabilitas menjadi kata kunci yang mahal, dan seringkali dibayar dengan pembungkaman suara masyarakat adat, kriminalisasi warga, serta militerisasi ruang hidup.
Melampaui Nilai Ekonomi
Di Papua, makna pohon jauh melampaui nilai ekonomi. Pohon adalah pangan, identitas, dan ingatan kolektif. Sagu, hutan, dan tanah adat bukan sebatas sumber daya, tetapi bagian dari relasi kosmologis antara manusia dan alam. Ketika sawit masuk, yang hilang bukan hanya tutupan hutan, tetapi juga cara hidup. Inilah bentuk kekerasan yang jarang diakui: kekerasan simbolik dan kultural, ketika dunia orang lain dipaksa tunduk pada logika Pembangunan yang asing.
Paus Fransisku dalam ensiklik Laudato Si’ menegaskan bahwa krisis ekologis tidak bisa dipisahkan dari krisis moral. “Segala sesuatu saling terhubung,” tulisnya, dan karena itu kerusakan alam selalu berjalan beriringan dengan ketidakadilan sosial. Paus mengkiritk apa yang ia sebut sebagai paradigma teknokratis, yaitu cara pandang yang melihat alam hanya sebagai objek yang bisa dikendalikan, dieksploitasi, dan dioptimalkan tanpa batas.
Logika sawit adalah contoh nyata paradigma ini. Pohon dilihat bukan sebagai makhluk hidup dalam jejaring relasi, melainkan sebagai mesin penghasil minyak. Negara pun terjebak dalam imajinasi pembangunan yang miskin etika: seolah kesejahteraan hanya bisa dicapai lewat perluasan lahan dan eksploitasi besar-besaran.
Di titik ini, Natal seharus dibaca bukan hanya sebagai perayaan iman, tetapi sebagai titik politik yang sunyi namun tajam. Natal menolak logika penaklukan. Ia merayakan kehidupan yang rapuh, bukan kekuasaan yang perkasa. Ia mengingatkan bahwa yang kecil dan tersisih justru menjadi pusat makna.
Maka pertanyaan yang perlu diajukan kepada negara: pembangunan macam apa yang ingin kita bangun? Pembangunan yang menanam pohon untuk dirayakan, atau pohon untuk menghabisi kehidupan?
Pohon Natal dan pohon sawit berdiri sebagai dua simbol peradaban yang berseberangan. Yang satu mengajarkan perawatan, relasi, dan keberlanjutan. Yang lain mengajarkan ekspansi, akumulasi, dan pengorbanan yang lemah. Di antara keduanya, negara sedang memilih, dan pilihan itu akan menentukan bukan hanya arah ekonomi, tetapi juga wajah keadilan dan kemanusiaan kita.










