JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) merasa prihatin mencermati meningkatnya kekerasan bersenjata dan operasi keamanan di berbagai wilayah di tanah Papua.
Konflik berkepanjangan tersebut menimbulkan korban jiwa, baik dari kalangan masyarakat sipil Papua maupun aparat keamanan. Konflik berkepanjangan itu berujung terjadinya gelombang pengungsian dalam jumlah yang sangat besar.
“Berdasarkan data Dewan Gereja Papua, jumlah pengungsi akibat konflik bersenjata telah melampaui 100.000 orang,” ujar Ketua Umum PGI Pendeta Jacklevyn F Manuputty dan Sekretaris Umum Pendeta Darwin Darmawan melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (16/12).
Menurut Pendeta Manuputty dan Pendeta Darmawan, banyak di antara para pengungsi berada dalam kondisi kemanusiaan kritis. Mereka menyebar sejumlah wilayah terpencil yang sulit dijangkau serta mengalami keterbatasan akses terhadap pangan, layanan kesehatan, dan pendampingan pastoral. Tanpa adanya jaminan keamanan, upaya intervensi kemanusiaan tidak dapat dilaksanakan secara optimal dan berkelanjutan.
“PGI menyadari bahwa penyelesaian persoalan Papua merupakan proses yang kompleks, membutuhkan waktu, dialog yang jujur, serta kerja sama semua pihak. Namun demikian, di tengah situasi konflik yang terus berlangsung, perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keselamatan warga sipil harus menjadi prioritas utama yang tidak dapat ditunda,” kata Manuputty dan Darmawan.
Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam terang perayaan Natal, kelahiran Yesus Kristus sebagai Sang Raja Damai, pihak PGI menyatakan sikap sebagai berikut.
Pertama, mendorong penerapan koridor kemanusiaan sepanjang masa Natal hingga akhir tahun 2025, guna menjamin akses yang aman dan bebas hambatan bagi pelayanan kemanusiaan di wilayah-wilayah terdampak konflik.
Kedua, mengimbau dengan sungguh-sungguh kepada seluruh pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di Papua untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan menahan diri dari tindakan yang dapat memperparah penderitaan masyarakat sipil.
Ketiga, menegaskan pentingnya perlindungan terhadap pengungsi, terutama perempuan, anak-anak, lansia, dan kelompok rentan lainnya, agar penanganan pengungsian dilakukan secara aman, bermartabat, dan berkeadilan.
Keempat, mendesak pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan distribusi bantuan kemanusiaan, termasuk pangan, layanan kesehatan, serta pendampingan psikososial dan pastoral, dapat menjangkau seluruh pengungsi tanpa diskriminasi.
Kelima, mengajak gereja-gereja untuk mengingat dan mendoakan saudara-saudara yang menjadi korban konflik bersenjata di Papua dalam perayaan Natal.
“PGI berharap melalui penerapan koridor kemanusiaan, para pengungsi di Papua dapat merayakan Natal dalam suasana yang lebih aman dan manusiawi, serta merasakan damai sejahtera yang sejati, sebagaimana firman Tuhan ‘Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antaramanusia yang berkenan kepada-Nya (Lukas 2:14)’,” ujar Manuputty dan Darmawan.
Menurut Manuputty dan Darmawan, keterangan pers ini disampaikan sebagai wujud panggilan iman dan tanggung jawab moral gereja untuk berdiri bersama mereka yang menderita.
Media ini sebelumnya memberitakan, sebanyak 2000 ribu warga pengungsi korban konflik TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) sejak 5 Oktober 2025 terancam kelaparan akibat kekurangan kebutuhan makanan dan minuman.
Warga korban konflik yang kebanyakan anak kecil, saat ini berada di tempat pengungsian di Kampung Wuyukwi, Distrik Melagi, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua Pegunungan. Kondisi naas pengungsi diketahui saat Tim Kemanusian Distrik Melagi mencari dua korban konflik di Kampung Yigemili, Melagi, Minggu (2/11) sekitar jam 15.10 WIT.
“Saat tiba di lokasi pengungsian di Kampung Wuyuki ada seorang pengungsi menyampaikan kepada tim kami bahwa mereka kehabisan makanan, terutama beras. Sisa 5 kilo gram yang mereka miliki sedang dimasak ibu-ibu untuk anak-anak kecil,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) Theo Hesegem dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, Minggu (2/11).
Para pengungsi, kata Hesegem, mengeluhkan mereka sudah tidak bisa bertahan lagi di tempat pengungsian. Para pengungsi mengharapkan perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lanny Jaya memenuhi kebutuhan mereka selama berada di lokasi pegungsian.
“Mereka (warga pengungsi) berniat kembali ke rumah mereka masing-masing, tetapi untuk sementara menolak kembali kalau tentara masih tinggal dan bertahan di Unabunggu. Saat tentara melakukan operasi 5 Oktober 2025 mereka merasa takut dan trauma,” kata Hesegem lebih lanjut.
Hesegem mengaku, berdasarkan penuturan pengungsi bahwa usai tim melakukan pemasangan baliho di beberapa titik konflik ada warga pengungsi sempat kembali melihat rumah mereka. Namun, hal itu dilakukan siang dan pagi hari. Warga juga mengaku, saat Hesegem mengunjungi mereka, pengungsi merasa terhibur.
Warga pengungsi mengharapkan Pemkab Lanny Jaya memperhatikan kebutuhan mereka. Pada Selasa (14/10) warga mengaku sempat menerima bantuan. namun saat ini sudah habis mengingat jumlah pengungsi sangat banyak. Mereka masih mengharapkan bantuan bahan makanan (bama) lagi.
“Jumlah beras sangat terbatas. Kami tidak bisa bertahan lagi. Kami berharap ada upaya Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya mengembalikan kami ke rumah masing-masing dan ada jaminan keamanan untuk kami sendiri,” kata Hesegem menirukan suara pengungsi.
Hesegem juga mengharapkan Pemkab Lanny Jaya segera bertindak untuk memberikan bantuan bama tahap kedua kepada pengungsi. Dengan demikian, mereka tidak kelaparan, sakit bahkan terancam meninggal akibat kelaparan.
“Pemerintah juga perlu ingat, apabila pengungsi mengalami sakit dan meninggal dunia di pengungsian akan jadi persoalan besar. Pemerintah harus bantu mengingat kondisi naas yang dialami pengungsi adalah masalah kemanusiaan,” kata Hesegem. (*)










