NABIRE, ODIYAIWUU.com — Ketua Pemuda Katolik Komisariat Daerah (Komda) Pemuda Katolik Papua Tengah Tino Mote menegaskan, konflik di Kapiraya terjadi akibat urusan tapal batas wilayah adat suku Mee di Kabupaten Deiyai dan suku Kamoro di Kabupaten Mimika, Papua Tengah.
“Konflik Kapiraya yang berujung jatuh korban tewas atas nama Pendeta Neles Peuki dan beberapa korban luka bukan urusan tapal batas pemerintahan antara Pemerintah Kabupaten Deiyai dan Pemerintah Kabupaten Mimika. Konflik tersebut dipicu urusan tapal batas wilayah adat masyarakat di kedua kabupaten,” ujar Tino Mote, SIP di Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Sabtu (29/11).
Menurut Tino pasca konflik tersebut, kedua pemerintah dua kabupaten tersebut dan para tokoh masyarakat dan tokoh adat Mee dan Kamoro serta pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan sengketa tapal batas wilayah adat agar mencari solusi terbaik.
“Selaku Ketua Komda Pemuda Katolik Papua Tengah saya mengusulkan agar Pak Bupati Deiyai dan Bupati Dogiyai beserta tokoh adat Mee dan Kamoro segera bertemu guna membahas tapal batas kedua wilayah sehingga menjadi jelas statusnya. Dengan demikian, jika sudah ada kata sepakat maka di kemudian hari tidak lagi muncul persoalan,” kata Tino.
Tino, tokoh muda dan intelektual Papua Tengah, menegaskan, soal tapal batas wilayah adat suku Mee dan Kamoro tentu sudah diketahui secara turun temurun dari orangtua kedua pihak, baik dari suku Mee maupun Kamoro.
“Sekali lagi, Pak Bupati Deiyai dan Pak Bupati Mimika segera memfasilitasi pertemuan lalu mengklarifikasi wilayah adat suku Mee dan Kamoro. Mediasi ini sangat perlu melibatkan Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan pihak terkait yang dipandang perlu agar memperoleh jalan keluar, solusi yang diterima kedua belah pihak,” ujar Tino.
Pasca penyelesaian tapal batas wilayah adat, kata Tino, kemudian menyelesaikan tapal batas wilayah pemerintahan kedua kabupaten, baik Deiyai maupun Mimika.
“Saya memandang, tapal batas wilayah pemerintahan sesuai foto satelit atau Badan Informasi Geospasial guna menyediakan data dasar dan tematik geospasial untuk mendukung pembangunan seperti perencanaan tata ruang, pengelolaan sumber daya alam, dan mitigasi perubahan iklim,” ujar Tino.
Tino menambahkan, konflik tapal batas kedua wilayah kabupaten tersebut terjadi karena masyarakat adat suku Mee dan Kamoro berpegang batas kepemilihan adat, bukan batas wilayah pemerintahan modern. Hal ini perlu segera dijembatani kedua bupati agar masyarakat juga memiliki pemahaman yang utuh,” ujar Tino. (*)










