PEMERINTAH Indonesia terus mengulang narasi pembangunan di Papua seolah itulah jawaban atas semua persoalan. Jalan, jembatan, bandara, kawasan industri, dan proyek strategis nasional dipromosikan sebagai bukti kehadiran negara. Namun di balik narasi yang dipoles rapi itu, ada kenyataan pahit yang sengaja diabaikan: pembangunan di Papua sedang berlangsung di atas pengungsian massal rakyatnya sendiri.
Menurut laporan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang dikutip media independen Odiyaiwuu.com, lebih dari 100.000 orang Papua telah menjadi pengungsi internal akibat konflik bersenjata yang terus berulang. Mereka meninggalkan kampung halaman, ladang, sekolah, dan gereja demi menyelamatkan nyawa. Ini bukan klaim politik. Ini adalah peringatan darurat kemanusiaan yang seharusnya memaksa negara menghentikan segala rutinitas dan bertindak luar biasa.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Negara berjalan seperti biasa. Tidak ada kebijakan nasional yang serius dan terukur untuk menangani pengungsi. Tidak ada jaminan pangan, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan yang layak. Bantuan datang sepotong-sepotong, sementara penderitaan berlangsung bertahun-tahun. Anak-anak meninggal karena penyakit dan kelaparan. Perempuan melahirkan tanpa layanan medis. Lansia mati perlahan di pengungsian. Semua ini terjadi ketika pemerintah sibuk meresmikan proyek pembangunan.
Paradoks ini telanjang dan memalukan: negara membangun, tetapi rakyatnya mengungsi. Infrastruktur dipamerkan, sementara kampung-kampung dikosongkan oleh ketakutan. Jalan dibuka, tetapi kehidupan runtuh. Pemerintah terus memaksakan pendekatan keamanan sebagai solusi tunggal, seolah kekerasan dapat melahirkan stabilitas. Padahal pengalaman menunjukkan hal yang sama berulang kali: setiap operasi keamanan yang mengabaikan keselamatan warga sipil hanya menghasilkan pengungsi baru.
Lebih menyakitkan lagi, pembangunan itu berjalan seiring dengan eksploitasi besar-besaran kekayaan alam Papua. Izin tambang diterbitkan, hutan dibabat, dan tanah adat dialihfungsikan. Negara hadir dengan penuh tenaga untuk melindungi investasi dan proyek ekonomi. Tetapi ketika rakyat Papua membutuhkan perlindungan paling dasar—hak untuk hidup aman dan bermartabat—negara justru absen. Ini bukan sekadar ironi; ini adalah pilihan politik yang sadar.
Pemerintah tidak bisa terus berlindung di balik jargon kedaulatan dan stabilitas. Tidak ada pembangunan yang sah jika dibangun di atas penderitaan manusia. Tidak ada kemajuan yang bermartabat jika harganya adalah pengungsian massal. Pembangunan semacam ini bukan tanda kehadiran negara, melainkan bukti hilangnya nurani negara.
Ketika gereja dan lembaga kemanusiaan bersuara, negara justru curiga dan defensif. Seruan kemanusiaan diperlakukan sebagai ancaman politik. Kritik dianggap gangguan keamanan. Sikap ini memperjelas satu kenyataan pahit: pemerintah lebih takut kehilangan kendali atas Papua daripada kehilangan orang Papua.
Papua tidak membutuhkan pembangunan yang menutup mata terhadap pengungsian. Papua membutuhkan penghentian kekerasan, penanganan pengungsi yang bermartabat, dan keberanian negara untuk menyentuh akar persoalan. Tanpa itu semua, setiap proyek yang diresmikan hanyalah monumen ketidakadilan—pembangunan yang berdiri kokoh di atas luka manusia. (Editor)










