Oleh Yosua Noak Douw
Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua
BAYANGKAN sebuah rumah yang fondasinya retak. Alih-alih memperkuat fondasi itu, pemilik rumah justru memotong jatah semen dan pasir untuk perbaikannya. Logikanya, rumah itu akan semakin rapuh, mengancam penghuninya. Analogi inilah yang paling gamblang untuk menggambarkan situasi pemangkasan dana otonomi khusus (otsus) bagi tanah Papua.
Kebijakan ini bukan sekadar persoalan teknis-anggaran, melainkan sebuah langkah kontra-produktif yang menggerus jantung dari filosofi otsus itu sendiri. Bukan tidak mungkin serentak berpotensi memupus asa, harapan mewujudkan keadilan dan percepatan pembangunan di bumi Cendrawasih.
Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, hadir sebagai sebuah rekonsiliasi dan pengakuan. Ia adalah bentuk permintaan maaf negara atas ketertinggalan dan ketimpangan yang terjadi, sekaligus janji untuk memperbaiki masa depan.
Dana otsus adalah nyawa dari janji tersebut. Ia bukan sekadar transfer anggaran rutin, melainkan sebuah affirmative action atau kompensasi fiskal yang dihitung secara khusus. Tujuannya mulia: mengejar ketertinggalan pembangunan manusia dan infrastruktur yang telah berlangsung puluhan tahun.
Secara filosofis, otsus berdiri di atas tiga pilar utama. Pertama, pengentasan kemiskinan dan ketimpangan. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di bidang pendidikan dan kesehatan. Ketiga, percepatan pertumbuhan ekonomi lokal yang berkeadilan. Ketiga pilar ini adalah obat bagi luka lama Papua. Lantas, bagaimana mungkin memotong dana yang menjadi obat tersebut diharapkan dapat menyembuhkan luka?
Program Tersandera
Pemangkasan dana otsus bukanlah angka abstrak di atas kertas. Ia memiliki wajah nyata. Wajah anak Papua yang bercita-cita tinggi, yang menggantungkan pendidikannya pada beasiswa otsus. Ia juga wajah ibu hamil di pedalaman yang membutuhkan layanan kesehatan dasar. Pun aajah para pemuda yang berusaha membangun usaha kecil dengan pendampingan dana otsus.
Sektor pendidikan dan kesehatan adalah yang paling rentan terkena dampak. Program beasiswa, yang telah membuka pintu perguruan tinggi bagi ribuan putra-putri Papua, terancam menyusut. Bukan tidak mungkin kuota dikurangi atau nilai bantuan dipotong. Padahal, pendidikan adalah kunci utama untuk memutus mata rantai ketergantungan dan membangun kemandirian SDM Papua.
Di sektor kesehatan, pemangkasan dana berarti pengurangan layanan puskesmas keliling, sulitnya penyediaan obat-obatan gratis, dan terhambatnya program pencegahan stunting dan gizi buruk. Ketika akses terhadap dua hak dasar ini terhambat, maka tujuan mulia otsus untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua hanya utopia.
Di bidang ekonomi, dana otsus yang dialokasikan untuk pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi juga akan menyusut. Padahal, inilah tulang punggung untuk menciptakan kemandirian ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif yang seringkali merusak lingkungan. Pemangkasan dana ibarat memutus nafas bagi usaha-usaha rintisan masyarakat asli Papua yang sedang berjuang untuk bangkit.
Menumpuk Kekecewaan
Di luar dampak teknis, efek paling berbahaya dari pemangkasan ini adalah erosi kepercayaan. Otonomi khusus adalah sebuah “kontrak politik” dan “kontrak sosial” antara pemerintah pusat dan rakyat Papua. Kontrak ini dibangun di atas kesepakatan bahwa negara hadir secara khusus untuk memperbaiki keadaan. Ketika dana yang menjadi simbol komitmen negara itu dipangkas, yang tertangkap oleh masyarakat di akar rumput adalah pesan bahwa komitmen tersebut diragukan.
Kekecewaan dipastikan segera menumpuk. Kekecewaan adalah bensin bagi bara api persoalan Papua yang sudah lama membara. Kelompok yang selama ini kritis terhadap otsus akan semakin mendapat pembenaran: “lihat, otsus hanya janji palsu Jakarta.”
Sentimen ini dapat memperlebar jurang ketidakpercayaan dan mempersulit dialog konstruktif. Otsus, yang seharusnya menjadi alat pemersatu dan peredam ketegangan, justru berisiko menjadi sumber konflik baru jika implementasinya dianggap setengah hati.
Pemerintah pusat mungkin beralasan bahwa pemangkasan ini dilakukan dalam rangka efisiensi anggaran negara atau karena adanya penyerapan dana otsus yang dinilai lambat dan bermasalah. Argumen ini memiliki kelemahan fundamental.
Pertama, memotong dana solusi bukanlah jawaban atas lambatnya penyerapan. Justru yang dibutuhkan adalah pendampingan, pengawasan, dan peningkatan kapasitas kelembagaan di Papua untuk menyerap dan mengelola dana tersebut secara lebih efektif dan transparan. Pemangkasan justru akan melemahkan kapasitas yang sedang dibangun itu.
Kedua, membatasi obat karena pasien sulit menelannya bukanlah solusi yang bijak. Solusinya adalah membantu pasien agar bisa menelan, bukan mengambil obatnya.
Apa Solusinya
Alih-alih memangkas, yang diperlukan adalah pendekatan yang lebih cerdas dan visioner. Pertama, memperkuat Pengawasan dan Akuntabilitas. Masalah terbesar dana otsus seringkali terletak pada tata kelola.
Pemerintah pusat, bersama DPRP dan MRP harus membangun sistem pengawasan yang lebih ketat, transparan, dan melibatkan masyarakat sipil. Teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk memantau aliran dana hingga ke level desa, memastikan setiap rupiah tepat sasaran.
Kedua, peningkatan kapasitas aparatur. Investasi yang tidak kalah pentingnya adalah pada sumber daya manusia pengelolanya. Pelatihan berkelanjutan bagi aparatur daerah dalam perencanaan, penganggaran, dan pelaporan keuangan mutlak diperlukan untuk meminimalisir hambatan birokrasi dan penyerapan yang lambat.
Ketiga, pendekatan berbasis kebutuhan dan prestasi. Alokasi dana dapat dirancang dengan sistem yang lebih adaptif. Sebagian dana bisa dialokasikan berdasarkan capaian kinerja (performance-based funding) untuk memacu daerah agar lebih efektif dalam menyerap dan melaporkan penggunaan dana. Selain itu, perencanaan harus benar-benar bottom-up, lahir dari identifikasi kebutuhan riil di kampung-kampung.
Keempat, komunikasi yang jelas dan konsisten. Pemerintah pusat perlu secara aktif dan proaktif menjelaskan kebijakan terkait otsus, termasuk jika ada penyesuaian teknis, kepada seluruh lapisan masyarakat Papua. Hal ini untuk mencegah salah tafsir dan spekulasi yang dapat memicu keresahan.
Kembali ke Khittah
Pemangkasan dana otsus Papua adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, negara berkomitmen mempercepat pembangunan melalui UU Otsus. Namun, di sisi lain ia mengurangi bahan bakar untuk percepatan itu sendiri. Tindakan ini tidak hanya berisiko menggagalkan tujuan jangka pendek otsus, tetapi juga mengikis fondasi kepercayaan yang menjadi pondasi bagi perdamaian dan keadilan jangka panjang di Papua.
Kita harus ingat, otsus bagi Papua bukanlah hadiah, melainkan sebuah hak yang diakui secara konstitusional. Dana otsus adalah instrumen pemenuhan hak tersebut. Mengurangi dana otsus sama halnya dengan mengurangi komitmen negara untuk memenuhi hak-hak dasar rakyat Papua akan pembangunan, pendidikan, dan kesehatan.
Sudah saatnya kita kembali kepada khittah, tujuan awal otsus. Jika tujuannya adalah membangun Papua yang sejahtera, damai, dan bermartabat, langkah yang diperlukan bukanlah pemangkasan, melainkan optimalisasi.
Optimalisasi pengawasan, akuntabilitas, dan kapasitas. Jangan sampai karena alasan efisiensi anggaran jangka pendek, kita justru menggergaji kaki sendiri dengan membiarkan harapan ratusan ribu orang Papua pupus dan mimpi buruk ketimpangan kembali menghantui tanah Cendrawasih. Masa depan Papua terlalu berharga untuk dikorbankan oleh kebijakan yang kontra-produktif.








