Pemakzulan Gibran: Serius atau Sekadar Tekanan Politik? - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Pemakzulan Gibran: Serius atau Sekadar Tekanan Politik?

Pemakzulan Gibran: Serius atau Sekadar Tekanan Politik? Gambar Ilustrasi: Istimewa

Loading

WACANA pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencuat ke ruang publik dengan nada yang serius namun aroma politis yang menyengat. Berawal dari surat terbuka Forum Purnawirawan TNI kepada DPR/MPR, isu ini ditopang oleh dugaan pelanggaran etika konstitusional menyangkut syarat usia calon wapres dalam putusan Mahkamah Konstitusi, serta sorotan terhadap kapasitas dan integritas Gibran sebagai pejabat negara.

Secara hukum, Pasal 7A dan 7B UUD 1945 mengatur bahwa presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemimpin negara. Namun pelaksanaannya tidak semudah retorika. Prosesnya panjang dan rumit: membutuhkan mayoritas dua pertiga DPR, persetujuan Mahkamah Konstitusi, dan keputusan akhir MPR. Hingga saat ini, belum ada dasar hukum yang kuat untuk memenuhi syarat tersebut.

Tudingan terhadap Gibran sebagian besar berasal dari dugaan konflik kepentingan dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai usia minimal calon presiden dan wapres. Ayahnya, Presiden Joko Widodo, memiliki hubungan keluarga dengan Ketua MK saat itu, yang kemudian diberhentikan oleh Majelis Kehormatan MK karena pelanggaran etik berat. Namun, tidak ada putusan hukum yang menyatakan Gibran terlibat langsung atau memperoleh keuntungan secara ilegal dari putusan tersebut.

Isu lain seperti dugaan penggunaan akun media sosial “fufufafa” dengan konten tidak pantas, memperkuat tekanan publik. Namun dalam kacamata hukum tata negara, itu belum cukup sebagai dasar pemakzulan. Di sinilah persoalannya: apakah pemakzulan ini benar-benar berangkat dari kerangka hukum dan etika, atau sekadar alat tekanan politik dalam dinamika pascapilpres?

Pakar hukum tata negara menilai bahwa usulan ini sah sebagai bentuk aspirasi, tetapi tidak serta-merta bisa dilanjutkan menjadi proses konstitusional tanpa bukti kuat dan argumen legal yang teruji. Mahfud MD menyebut bahwa alasan hukum secara teori ada, namun akan sangat sulit diproses jika tak didukung mayoritas politik.

Apa pun motifnya, wacana pemakzulan ini menjadi cermin bahwa sistem ketatanegaraan kita tengah diuji. DPR dan MPR harus membuktikan apakah mereka akan bertindak sebagai lembaga pengawal konstitusi atau sekadar alat politik dari kekuatan tertentu. Sementara itu, Gibran dan lingkaran kekuasaan perlu menjawab tudingan publik secara terbuka, tidak cukup hanya dengan diam atau retorika normatif.

Indonesia tidak kekurangan mekanisme hukum untuk menyelesaikan masalah konstitusional. Tapi negara ini akan kehilangan arah jika hukum dikalahkan oleh politik. Pemakzulan bukan alat untuk menyalurkan frustasi politik. Ia adalah mekanisme luar biasa yang hanya boleh digunakan ketika syarat konstitusional benar-benar terpenuhi. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :