Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
Pendahuluan
Awal September 2025 lalu, dunia menyoroti sebuah peristiwa penting di Port Moresby, Papua Nugini (PNG). Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, hadir dalam sidang khusus Parlemen PNG dan bertemu langsung dengan Perdana Menteri James Marape serta Presiden Bougainville Ishmael Toroama. Kehadiran tokoh dunia ini bukan sekadar kunjungan diplomatik biasa. Ia hadir sebagai simbol pengakuan internasional terhadap proses panjang yang dijalani PNG dan Bougainville untuk keluar dari lingkaran kekerasan menuju jalan damai. Fakta bahwa seorang Sekjen PBB mau meluangkan waktu khusus untuk mendukung proses ini menunjukkan betapa penting dan bersejarahnya langkah-langkah yang sudah diambil.
Kunjungan tersebut membawa pesan moral yang kuat. Bahwa konflik bersenjata, betapapun lama dan berdarah, selalu bisa diselesaikan jika ada kemauan politik dari kedua belah pihak untuk duduk bersama. Bougainville dan PNG memberi contoh nyata: luka perang bisa dijahit kembali dengan dialog, kompromi, dan kesediaan mendengarkan. Bagi Indonesia, yang hingga kini masih bergulat dengan persoalan politik di Papua, momentum ini seharusnya menjadi cermin yang layak direnungkan, bahkan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah serupa.
Akar Konflik PNG–Bougainville
Konflik Bougainville tidak lahir dalam ruang kosong. Ia berakar dari masalah struktural yang menumpuk sejak lama, yang melibatkan faktor ekonomi, identitas, dan politik. Pemahaman atas akar masalah inilah yang membuat proses penyelesaiannya menjadi lebih terarah dan realistis.
Pertama, ketidakadilan ekonomi akibat tambang Panguna. Sejak akhir 1960-an, tambang tembaga dan emas Panguna dioperasikan oleh Bougainville Copper Limited, anak perusahaan raksasa tambang Rio Tinto. Tambang ini tercatat sebagai salah satu yang terbesar di dunia, dan selama puluhan tahun menjadi tulang punggung perekonomian PNG. Hampir setengah pendapatan ekspor negara berasal dari tambang ini. Namun, masyarakat Bougainville justru mengalami hal sebaliknya. Mereka tidak merasakan keuntungan ekonomi, malah harus menanggung kerusakan lingkungan, kehilangan tanah adat, dan pencemaran sumber air. Rasa ketidakadilan yang sangat dalam inilah yang kemudian berubah menjadi kemarahan kolektif.
Kedua, perbedaan identitas dan budaya. Bougainville secara geografis lebih dekat ke Kepulauan Solomon daripada daratan utama PNG. Secara etnis, warna kulit, bahasa, dan tradisi, masyarakat Bougainville merasa berbeda. Banyak dari mereka merasa lebih dekat dengan identitas Pasifik lainnya dibandingkan dengan PNG. Rasa keterasingan ini melahirkan keyakinan bahwa mereka adalah bangsa tersendiri, dengan hak untuk menentukan nasib sendiri. Identitas ini, yang kerap disepelekan oleh pemerintah pusat, justru menjadi sumber energi bagi perlawanan.
Ketiga, pengabaian politik. Setelah PNG merdeka dari Australia tahun 1975, Bougainville sempat memproklamasikan kemerdekaannya sendiri. Namun deklarasi itu tidak diakui, dan pemerintah pusat memperlakukan Bougainville sekadar sebagai salah satu provinsi. Sentralisasi kekuasaan di Port Moresby membuat aspirasi politik masyarakat Bougainville terpinggirkan. Padahal, dari segi ekonomi, sumbangan mereka sangat besar. Ketidakadilan politik ini mempertebal rasa diperlakukan sebagai anak tiri, sehingga tuntutan kemerdekaan makin mengeras.
Dari Perang Saudara ke Perjanjian Damai
Akumulasi persoalan ekonomi, identitas, dan politik itulah yang akhirnya meledak menjadi perang saudara. Pada tahun 1988, lahirlah Bougainville Revolutionary Army (BRA), kelompok bersenjata yang menuntut kemerdekaan penuh dan penutupan tambang Panguna. Pemerintah PNG menanggapinya dengan operasi militer besar-besaran. Pertempuran pecah di berbagai wilayah, berlangsung lebih dari sepuluh tahun, dan menelan korban lebih dari 20 ribu jiwa. Infrastruktur hancur, kehidupan sosial lumpuh, dan Bougainville berubah menjadi salah satu zona konflik paling berdarah di Pasifik Selatan.
Namun, kelelahan perang akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk mencari jalan keluar. Tahun 2001, ditandatangani Bougainville Peace Agreement (BPA), sebuah perjanjian penting yang menjadi tonggak perdamaian. Perjanjian ini memberikan otonomi luas bagi Bougainville dan menjanjikan referendum kemerdekaan. Butuh waktu hampir dua dekade untuk menepati janji itu, tetapi akhirnya pada tahun 2019, rakyat Bougainville diberi kesempatan memilih. Hasilnya luar biasa: 97,7 persen memilih merdeka.
PNG tidak menutup mata atas hasil referendum itu. Meski keputusan final berada di tangan Parlemen PNG, hasil referendum diterima sebagai fakta politik yang tidak bisa diabaikan. Proses pun dilanjutkan dengan berbagai kesepakatan baru: Era Kone Covenant (2021), Sharp Agreement (2022), hingga Melanesian Agreement (2025). Semua kesepakatan itu menegaskan komitmen PNG dan Bougainville untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara damai, dengan dukungan PBB dan negara-negara Pasifik.
Kunjungan Sekjen PBB: Dukungan Dunia bagi Perdamaian
Kunjungan António Guterres ke Port Moresby memberi bobot lebih pada proses perdamaian ini. Ia hadir dalam sidang khusus Parlemen PNG, berpidato di depan wakil rakyat, dan bertemu langsung dengan pemimpin kedua belah pihak. Dalam pidatonya, Guterres menegaskan bahwa PBB berdiri sebagai mitra netral, siap mendukung proses transisi damai yang tengah berlangsung. Ia memuji keberanian PNG dan Bougainville memilih dialog, dan menyoroti Melanesian Agreement sebagai kerangka kerja yang memberi arah jelas menuju keputusan akhir.
Kehadiran Sekjen PBB mengandung dua makna penting. Pertama, bahwa dunia internasional memberi perhatian besar terhadap cara sebuah negara mengelola konflik internal. Kedua, bahwa penyelesaian damai berbasis dialog bukan hanya urusan domestik, melainkan bagian dari tanggung jawab bersama. PNG berhasil menunjukkan dirinya di panggung dunia sebagai negara yang mampu mengelola perbedaan dengan cara beradab.
Bagi Indonesia, ini adalah peringatan sekaligus pelajaran. Papua bukan sekadar isu internal, melainkan juga persoalan yang dilihat dunia. Cara Indonesia menyikapi Papua akan sangat menentukan bagaimana Indonesia dinilai sebagai negara demokratis atau sebaliknya.
Cermin bagi Indonesia dan Papua
Jika melihat pengalaman Bougainville, ada tiga pelajaran penting yang seharusnya bisa dipetik Indonesia.
Pertama, menghormati suara rakyat. Bougainville diberi kesempatan menentukan pilihan lewat referendum, sebuah proses demokratis yang memberi legitimasi moral yang sangat kuat. Walau keputusan akhir tetap berada di parlemen, proses itu menunjukkan bahwa suara rakyat tidak bisa diredam. Papua pun perlu diberi ruang menyampaikan aspirasi politiknya tanpa harus selalu dicap separatis atau dibungkam dengan kekerasan.
Kedua, pentingnya dialog yang setara. PNG berani melibatkan pihak ketiga, termasuk PBB, untuk memastikan proses berjalan transparan dan adil. Keterlibatan pihak independen menumbuhkan rasa percaya dan mencegah kecurigaan. Indonesia pun perlu berani membuka dialog Jakarta–Papua yang benar-benar setara, bukan sekadar formalitas, agar tercipta kepercayaan dan legitimasi.
Ketiga, perdamaian adalah proses panjang yang butuh kesabaran. PNG tidak menyelesaikan konflik hanya dengan satu pertemuan, melainkan dengan serangkaian kesepakatan bertahap. Indonesia juga harus menyiapkan kerangka kesepakatan jangka panjang dengan Papua, agar masalah ini tidak terus berulang. Pendekatan keamanan semata hanya akan memperpanjang luka, sementara pendekatan keadilan, kesejahteraan, dan penghormatan martabat manusia justru akan membuka jalan damai yang lebih permanen.
Penutup
PNG dan Bougainville kini berada di persimpangan sejarah: apakah Bougainville akan merdeka atau tetap bersama PNG dengan status khusus. Namun, cara mereka menempuh jalan damai sudah menjadi teladan yang patut dicontoh. Dari perang saudara yang berdarah hingga ke meja perundingan yang menghasilkan kesepakatan politik, perjalanan itu membuktikan bahwa dialog adalah jalan terbaik.
Indonesia seharusnya belajar dari tetangga dekatnya. Papua tidak bisa didekati hanya dengan operasi keamanan atau slogan-slogan kosong. Papua membutuhkan jalan damai yang nyata, dan itu hanya bisa lahir dari keberanian duduk bersama, mendengar, dan menghormati suara rakyat. Kehadiran Sekjen PBB di Port Moresby adalah pengingat bahwa dunia selalu menilai bagaimana sebuah negara mengelola perbedaan.
Bila PNG mampu bangkit dari perang yang berdarah dan memilih jalan damai, mengapa Indonesia tidak bisa membuka ruang dialog bermartabat dengan Papua?










