Sejak Januari 2007 Pastor Dr Markus Solo Kewuta SVD dipanggil langsung dari Takhta Suci Vatikan mengemban tugas sebagai Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama atau Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID). Pastor Markus, imam SVD asal NTT, menangani Desk Islam untuk wilayah Asia dan Pasifik PCID di Vatikan. “Saya merasa seperti mimpi,” ujar Pastor Markus, ahli Islam atau Islamolog yang mendalami Studi Islamologi dan Arabistik di Dar Comboni, Kairo, Mesir.
TATKALA Pastor Markus mendengar langsung ditunjuk sebagai staf PCID di Vatikan, negara kecil di jantung kota Roma yang dipimpin Sri Paus itu, dalam benak aneka pertanyaan berkelebat. Ia tidak pernah membayangkan mendapat kehormatan untuk bekerja di Vatikan. Apalagi sebagai staf Sri Paus, pemimpin umat Katolik sedunia. Rasa senang, cemas sempat singgah dalam hatinya.
Aneka pertanyaan menghantui. Apa ia mampu bekerja di tempat itu. Apa ia bisa diterima dengan baik. Apakah kemampuan-kemampuan yang ia miliki bisa membuat dirinya diterima untuk bekerja dan mampu menjawab kebutuhan PCID. Padahal, tatkala dipanggil ia tengah menunaikan tugas-tugas hariannya sebagai Rektor Institut Afro-Asia (Afro-Asiatisches Institute/AAI) di kota Wina, Austria.
Panggilan dan pilihan bekerja di PCID, kata Pastor Markus, sudah dibicarakan pihak Vatikan dengan Superior General SVD di Roma dan pimpinan Provinsi SVD di Wina, Austria. Saat itu Vatikan hanya membutuhkan persetujuan pribadinya. Kemudian langkah akhir yaitu izin dari Kardinal Christoph Schönborn, Uskup Agung Wina, yang mengangkat Pastor Markus sebagai Rektor Afro-Asiatisches Institute setahun sebelumnya. Rupanya, izin dari Kardinal Christoph Schönborn yang diupayakan Provinsial SVD Austria, tidak butuh waktu lama.
“Ketika saya tahu bahwa PCID membutuhkan seorang staf yang akan menangani relasi dengan dunia Islam di kawasan Asia dan Pasifik, saya merasa agak tenang. Ini beralasan karena studi-studi saya tiga tahun terakhir bergelut dengan tema itu. Saya merasa cukup disiapkan untuk tugas baru ini. Apalagi, Roma bukan asing lagi bagi saya. Dua tahun masa pendidikan tingkat akhir saya habiskan di Roma sebelum kembali ke Austria pada musim panas tahun 2005. Kembali ke Roma, kota indah dan bersejarah dan boleh tinggal untuk jangka waktu yang agak lama adalah sebuah privilese khusus. Demikian saya diberitahu waktu itu, bahwa sebagai orang biara (SVD) saya akan tetap tinggal bersama komunitas SVD di dalam kota Roma. Akan tetapi setiap hari saya akan ke Vatikan, sebuah negara sangat kecil yang terletak di dalam kota Roma dengan batasan tembok-tembok yang jelas dan dengan sistem pengawasan, sekuriti yang sangat ketat,” ujar Pastor Markus.
Dialog Asia-Pasifik
Pastor Markus mengaku, melalui PCID ia berbicara dari kompetensi dan tanggung jawabnya sebagai pengamat dan pemaju dialog antara umat Katolik dan umat Islam di kawasan Asia dan Pasifik. Di PCID ada juga staf yang menangani Desk Hindu, Jain, dan Sikh seluruh dunia, tetapi tekanannya tentu di Asia. Agama-agama itu lahir dan berkembang paling pesat di kawasan Asia. Selain itu ada juga staf yang menangani Desk untuk Budha, Shinto, dan Kong Hu Cu. Wilayah tanggung jawabnya seluruh dunia, tetapi dalam praktek lebih ke arah Asia oleh karena sejarah asal-usul dan perkembangannya hingga saat ini.
PCID adalah sebuah kantor di Vatikan yang hadir sebagai buah dari Konsili Vatikan II. Dasar pijakan dan orientasi (guidelines) dari PCID adalah Dokumen Nostra Aetate atau Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristiani. Nostra aetate artinya dewasa kita. Sudah pada kalimat awal dokumen itu, Bapa-bapa Konsili menegaskan realitas sosio-antropologis bahwa dunia sudah sangat majemuk dan akan semakin majemuk.
“Kemajemukan sosial ini secara otomatis membawa serta kemajemukan agama. Ini terjadi bukan hanya di satu wilayah tetapi seluruh dunia. Berbicara tentang pluralitas agama, utamanya Asia, menjadi sorotan utama. Di benua ini lahir berbagai macam agama besar dunia seperti Kekristenan, Hindu, Buddha, Sikh, Jain, Kong Hu Cu, Shinto, dan lain-lain. Islam lahir di dunia Arab tetapi kehadirannya saat ini sangat kuat di wilayah Asia. Indonesia dikenal di dunia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar. Jadi, berbicara tentang urgensi dialog lintas agama sebenarnya adalah berbicara tentang Asia. Kata orang, Asia is the cradle of the religions. Artinya Asia adalah palungan dari agama-agama. Di dalam suasana kemajemukan dunia yang semakin meningkat Gereja Katolik diajak untuk menyadari tugasnya. Tugas dimaksud yaitu pengembang kesatuan dan cinta kasih antar manusia bahkan antar bangsa sambil mencari dan menemukan nilai-nilai yang mempersatukan seluruh umat manusia. Hal ini tentu terlepas dari segala perbedaan yang ada karena umumnya nilai-nilai yang diakui bersama, the commonalities, akan lebih mengikat dan mendamaikan daripada yang berbeda,” jelas Pastor Markus.
Ia menyebut, Asia adalah tempat lahir agama-agama besar. Agama-agama besar ini sudah saling hidup berdampingan secara damai dari abad ke abad dan dari generasi ke generasi. Namun, seperti semua orang tahu bahwa banyak perubahan di berbagai dimensi kehidupan baik global maupun lokal, telah berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas relasi antar umat beragama di berbagai kawasan Asia. Perdamaian lintas agama menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Selain itu, kesuksesan-kesuksesan yang dialami wilayah-wilayah tertentu di kawasan ini, bisa dijadikan sebagai masukan atau kontribusi positif untuk negara-negara atau kawasan-kawasan lain di dunia. Namun, selain tugas di PCID sejak tahun 2015 ia diberi tugas berat lain sebagai Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate yang terintegrasi dalam PCID.
“Yayasan ini, didirikan tahun 1990 oleh Paus Yohanes Paulus II. Tujuannya untuk memberikan beasiswa kepada para murid, profesor atau dosen dari agama-agama non-Kristiani. Mereka datang ke Roma untuk memperdalam ilmu pengetahuan teologis tentang agama Katolik pada universitas-universitas kepausan di Roma. Umumnya untuk satu semester dan membuat banyak pengalaman dialog lintas agama. Akhirnya kami mengutus mereka sebagai duta damai ke negara mereka masing-masing. Sejak saya tangani yayasan ini hampir setiap semester ada murid Muslim dari Indonesia, termasuk Dewi Praswida yang baru saja tamat bulan Juni 2019. Dewi sempat jadi viral setelah menjabat tangan Paus Fransiskus di lapangan Basilika Santo Petrus, Vatikan. Kemudian paling akhir adalah Melilia Irawan, yang baru tamat bulan Februari 2020. Saya sendiri aktif mendampingi dan mengajar mereka,” ujar Pastor Markus, yang mendalami studi Islamologi dan Arabistik pada Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies (PISAI), Roma, Italia dan pemegang gelar Licensiat tahun 2005.
Keluarga sederhana
Pastor Markus Solo lahir di kampung Lewouran, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, 4 Agustus 1968. Ayahnya, Nikolaus Kewuta, seorang petani sederhana. Sedang sang bunda, Gertrudis Lein adalah ibu rumah tangga. Ia lahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Orangtua dan dua kakaknya tak sempat merasakan kebahagiaan saat Pastor Markus ditunjuk Takhta Suci Vatikan sebagai Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama.
Padahal, ia berharap mereka yang sudah memainkan peranan penting di dalam hidupnya selama ini paling kurang bisa ikut mendengar cerita-cerita perjuangannya. Lebih dari itu, mereka pasti senang dan bahagia, sekalipun mereka tidak akan pernah bisa melihat tempat kerjanya dari dekat.
Maklum. Seluruh anggota keluarga yang sejak semula berjumlah tujuh orang, akhir tahun 2006 tinggal tiga orang. Tahun 1985, mula-mula sang bunda berpulang. Kemudian tahun 1986 seorang kakak laki-laki yang berada persis di atasnya menyusul. Tahun 2005 ayahnya dipanggil Tuhan. Tak lebih dari satu tahun kemudian, Desember 2006 kakak perempuan dan saudari semata wayang pun menutup mata selamanya.
“Kematian kakak perempuan semata wayang hanya beberapa minggu sebelum saya menerima panggilan bekerja di Vatikan. Sejak itu kami tiga bersaudara hidup di tiga tempat berbeda. Kakak sulung saya, Pastor Yosef Bukubala Kewuta SVD bertugas di Surabaya. Kakak laki-laki nomor dua, Mansuetus Kewuta, menikah dan bisa meneruskan keturunan suku. Beliau tinggal di Lewouran. Kedua saudaraku ini selalu mendukung saya dalam doa. Untuk keluarga besar dan umat sekampung Lewouran, kehadiran saya di jantung Gereja Katolik sedunia merupakan simbol kekuatan iman yang lahir dan dihidupkan bersama di dusun kecil dan sederhana itu. Sesuatu yang dianggap khusus seperti ini kebanyakan dilihat sebagai bentuk penyelenggaraan dan kehadiran Tuhan di dalam hidup mereka. Setiap kali berlibur di Lewouran, saya merasakan kebahagiaan mereka,” kata Pastor Markus.
Tahun 1975-1981 Pastor Markus mengenyam pendidikan dasar di SD Katolik Lewouran. Kemudian, pada tahun 1981-1984 ia melanjutkan studi di SMP Katolik Ile Bura, Lewotobi, Flores Timur. Panggilan menjadi pelayan Sabda mengantarnya masuk Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, Flores Timur tahun 1984-1988.
Ia kemudian masuk Novisiat SVD di Nenuk, Keuskupan Atambua, Pulau Timor tahun 1988. Kemudian pada 1989 ia studi Filsafat dan Teologi di Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, Maumere, Flores. Usai menyelesaikan studi Filsafat di Ledalero tahun 1992, ia diutus Seminari Tinggi Ledalero melanjutkan studi teologi di Sekolah Tinggi Teologi milik SVD di Theologische Hochschule Sankt Gabriel, Austria.
Pastor Markus kemudian menyelesaikan studi pada Teologi Theologische Hochschule Sankt Gabriel di Austria tahun 1992–1997 dan meraih gelar Magister Teologi. Pada 3 Mei 1997 ia ditahbiskan menjadi imam Katolik di Austria. Setelah ditahbiskan, tahun 1997-1999 bekerja sebagai pastor pembantu di Paroki Sankt Maximilian, Bischofshofen, Provinsi Salzburg, Austria.
Tahun 1999-2002, ia studi Doktorat (S-3) Teologi Fundamental di Universitas Leopold Franzens di kota Innsbruck, Austria hingga meraih gelar doktor. Tahun 2002-2003 Pastor Markus kemudian studi Islamologi dan Arabistik di Kairo, Mesir. Ia juga melanjutkan Studi Islamologi dan Arabistik di PISAI, Roma, Italia dan menyelesaikannya dengan gelar Licensiat tahun 2005.
Pada 2005-2006 ia menjabat pastor pembantu di Paroki Tritunggal Maha Kudus Distrik X Wina, Austria sekaligus penceramah dialog Kristen-Islam di Dioses Agung Wina. Setelah itu pada 2006–2007 ia menjabat Rektor Institut Afro-Asia di Wina, Austria. Kemudian, sejak Juli 2007 diangkat sebagai staf PCID menangani Desk Islam di wilayah Asia dan Pasifik sekaligus Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate.
Menurut Pastor Markus, saat ini para pemimpin dan umat beragama perlu memainkan peran maksimal melalui dialog agar dunia diliputi damai dan sukacita. Semua orang tahu dan sadar bahwa jalan kekerasan, entah verbal atau fisik, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Seorang pemimpin agama bertugas membentuk moral umat berdasarkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya agar menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat, dan dengan itu boleh menerima anugerah surga kelak.
Kalau seorang pemimpin agama melihat tugasnya sebagai penyebar hoax atau fake news, dan merasa bahagia karena menjadi selebriti oleh karena kebohongan, maka dia bukan pemimpin agama. Di dalam struktur keagamaan, mestinya selalu ada sebuah instansi yang lebih tinggi dari agama bersangkutan yang berkompentensi untuk menertibkan pemimpin-pemimpin seperti ini. Di dalam berbagai konferensi internasional, salah satu butir deklarasi bersama yaitu ajakan memerangi hoax atau fake news. Tetapi sayangnya, ajakan itu umumnya tidak sampai ke akar rumput, mungkin karena masalah struktur yang ada di dalam agama-agama tertentu.
“Bulan Februari 2019, sesaat sebelum menandatangani Dokumen ‘Persaudaraan Insani’ di Abu Dhabi, Paus Fransiskus menekankan hal penting di hadapan 700 lebih pemimpin agama sedunia. Kata Sri Paus, kita tidak ada pilihan lain, selain bekerjasama untuk masa depan kita bersama yang lebih baik, kecuali kalau kita berpikir, di depan kita tidak ada masa depan lagi. Oleh karena itu, beliau menyadarkan semua petinggi agama akan tugas mereka yang tak tergantikan untuk menyadarkan setiap umatnya agar berperan aktif dalam membangun jembatan antar agama dan budaya, bukan membangun tembok-tembok pemisah,” ujar Pastor Markus mengutip Sri Paus.
Pastor Dr Markus Solo Kewuta, SVD
Tempat / Tanggal lahir : Lewouran, 4 Agustus 1968
Orangtua
Ayah : Nikolaus Kewuta
Ibu : Gertrudis Lein
Pendidikan
- Sekolah Dasar Katolik Lewouran, Flores Timur tahun 1975-1981.
- SMPK Ile Bura Lewotobi, Flores Timur tahun 1981-1984.
- Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, Flores Timur tahun 1984-1988.
- Novisiat SVD di Nenuk, Pulau Timor tahun 1988.
- S-1 Filsafat dan Teologi di Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, Flores tahun 1989.
- Studi Teologi di Theologische Hochschule Sankt Gabriel (Sekolah Tinggi Teologi milik SVD) di Austria tahun 1992.
- S-2 Teologi di Theologische Hochschule Sankt Gabriel di Austria, tahun 1992–1997.
- Tahbiskan menjadi imam Katolik di Austria tanggal 3 Mei 1997.
- S-3 Teologi Fundamental di Universitas Leopold Franzens, Innsbruck, Austria tahun 1999-2002.
- Studi Islamologi dan Arabistik di Dar Comboni, Kairo, Mesir tahun 2002-2003.
- Studi Islamologi dan Arabistik di Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies (PISAI) Roma, Italia tahun 2003-2005 dan meraih gelar Licensiat tahun 2005.
Riwayat penugasan
- Pastor Pembantu Paroki Sankt Maximilian di Bischofshofen, Propinsi Salzburg, Austria tahun 1997-1999
- Pastor Pembantu di Paroki Tritunggal Maha Kudus Distrik X Wina, Austria sekaligus Penceramah Dialog Kristen-Islam di Dioses Agung Wina tahun 2005-2006.
- Rektor Institut Afro-Asia di Wina, Austria tahun 2006–2007.
- Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue/PCID) menangani Desk Islam di wilayah Asia dan Pasifik sejak Juli 2007.
- Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate (Pendidikan Perdamaian).
Sumber: Buku Jejak dari Rantau karya Ansel Deri (2021). Penerbit: Ikan Paus, Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur