Papua Disiapkan Sebagai Lumbung Pangan–Energi Nasional, Basis Pertahanan Indonesia di Pasifik

Buku Melihat Potensi Papua: Dari Jendela Energi Terbarukan karya akademisi Universitas Cenderawasih sekaligus Anggota DEN terpilih periode 2026-2030 Dr Ir Johni Jonatan Numberi, M.Eng, IPM. Foto: Istimewa

JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Papua dinilai memiliki peran strategis dalam penguatan ketahanan nasional Indonesia, khususnya di bidang pangan, energi, dan pertahanan negara. Dengan posisi geografis di kawasan Pasifik, Papua bukan sekadar wilayah pinggiran, melainkan halaman depan kedaulatan Indonesia yang harus diperkuat secara struktural dan berkelanjutan.

“Salah satu kekuatan utama Papua adalah sagu. Secara ekologi, Papua merupakan pusat sagu dunia dengan potensi lahan mencapai 4,6–4,9 juta hektare atau sekitar 85–90 persen potensi sagu nasional. Selama ini, sagu dikenal sebagai pangan pokok masyarakat adat, namun sesungguhnya memiliki nilai strategis jauh lebih besar,” ujar akademisi Universitas Cenderawasih Dr Ir Johni Jonatan Numberi, M.Eng, IPM di Jayapura, Papua, Rabu (17/12).

Penelitian Johni Jonatan Numberi menunjukkan, limbah ampas sagu dapat diolah menjadi bioetanol, dengan nilai kalor sekitar ±16,166 MJ/kg. Artinya, kata Johni, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) terpilih tahun 2026-2030, sagu Papua tidak hanya menopang ketahanan pangan, tetapi juga berpotensi menjadi sumber energi terbarukan berbasis biomassa.

Pandangan ini, ujar Johni, diperkuat oleh ahli biomassa nasional Nadirman Haska, yang menilai bahwa sebagian besar potensi biomassa sagu Papua selama ini terbuang percuma karena belum terintegrasi dengan kebijakan industri dan energi. Padahal, dengan pengelolaan yang tepat, sagu dapat menjadi sumber energi bersih dan berkelanjutan.

“Dari sisi kebutuhan, Papua memiliki penduduk sekitar 6 juta jiwa, dengan kebutuhan energi pangan sekitar 4,6 triliun kilokalori per tahun. Secara teoritis, pemanfaatan kurang dari 10 persen potensi sagu Papua sudah cukup untuk mewujudkan swasembada pangan regional, bahkan menopang kawasan Timur Indonesia,” kata Johni, doktor Teknik Mesin jebolan Universitas Indonesia (UI) tahun 2017.

Di sektor energi, lanjutnya, Papua masih menghadapi tantangan serius. Konsumsi BBM Papua diperkirakan mencapai 1,2–1,5 juta kiloliter per tahun, sementara sistem kelistrikan masih sangat bergantung pada diesel. Data PLN dan pemerintah daerah menunjukkan, rasio elektrifikasi Papua sudah berada di kisaran 93–95 persen, namun banyak wilayah hanya menikmati listrik 6–12 jam per hari, dengan biaya operasional yang tinggi.

Dalam konteks ini, pengembangan bioetanol sagu, bersama biodiesel kelapa sawit dan bioetanol tebu, menjadi bagian dari solusi strategis. Energi berbasis sumber daya lokal dinilai mampu mengurangi ketergantungan BBM fosil, menekan biaya listrik daerah, dan memperkuat logistik energi wilayah terdepan serta mendukung agenda transisi energi nasional menuju Energi Baru Terbarukan (EBT).

“Secara ekonomi, skenario pemanfaatan 10 persen potensi sagu Papua diperkirakan mampu menghasilkan 1,8–2,3 juta kiloliter bioetanol per tahun, dengan nilai ekonomi sekitar Rp14–23 triliun. Angka ini bukan hanya relevan bagi APBD Papua, tetapi juga berkontribusi pada penghematan APBN melalui pengurangan impor dan subsidi energi,” ujar Johni.

Lebih dari itu, menurut Johni, ketahanan pangan dan energi Papua memiliki dimensi pertahanan nasional. Wilayah yang mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya secara mandiri akan lebih stabil, tangguh, dan tidak mudah terguncang oleh krisis global, konflik, maupun bencana.

Dengan demikian, kata Johni, penguatan Papua sebagai lumbung pangan dan energi kawasan Timur Indonesia bukan sekadar agenda pembangunan daerah, melainkan strategi besar negara untuk memperkuat kedaulatan dan posisi Indonesia di kawasan Pasifik. (*)