OPINI  

Papua dan Upaya Menjaga Martabat di Tengah Kekerasan

Dr Ansel Dore Woho Atasoge, S.Fil, M.Th, Doktor Studi Islam lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende, Flores. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ansel Atasoge

Doktor Studi Islam lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

NURANI publik kembali diguncang ketika mendengar kabar berita tentang penembakan lima warga sipil oleh kelompok kriminal bersenjata di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan. 

Bagi saya, peristiwa ini merupakan pengingkaran terhadap nilai paling mendasar dalam kehidupan yakni martabat manusia. Saya ingin menyisipkan gagasan atas kisah pilu ini dari sudut pandang filsafat manusia.

Di mata filsuf Immanuel Kant, manusia bukan ‘alat’, melainkan tujuan itu sendiri. Apa artinya? Martabat manusia tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik, ideologi, atau kekuasaan. 

Tindakan brutal yang merenggut nyawa warga sipil adalah bentuk dehumanisasi yang menghapus nilai kemanusiaan dari ruang konflik. Dalam masyarakat yang beradab, setiap nyawa memiliki nilai tak tergantikan. Kekerasan terhadap warga sipil adalah kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Hannah Arendt dalam Banality of Evil (1963) mengingatkan kita. Bahwasanya,  kekerasan bisa menjadi kebiasaan ketika manusia berhenti berpikir secara moral. Ketika rasa kemanusiaan tumpul, tindakan brutal tidak lagi terasa mengerikan. 

Inilah titik paling gelap dari peradaban. Saat kekerasan dianggap wajar dan tak lagi dipertanyakan peradaban ditendang ke kegelapan yang paling mengerikan. Karena itu, respons negara tak cukup hanya dengan pengerahan pasukan. 

Kita butuh refleksi yang jujur dan mendalam tentang akar kekerasan itu sendiri. Butuh pula keberanian untuk membuka ruang dialog, membangun keadilan, dan memulihkan martabat setiap warga. Tanpa itu, kita hanya ‘mengulang luka’ yang sama, dalam siklus yang tak berkesudahan.

Tanah Papua itu sejatinya ‘rumah’ bagi manusia-manusia yang berhak hidup dalam damai dan bermartabat. Tragedi ini harus menjadi titik balik untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap kebijakan dan tindakan.

Amartya Sen, peraih nobel bidang ekonomi dan filsuf moral pernah mengatakan bahwa pembangunan sejati berkelindan erat dengan ikhtiar memperluas kebebasan manusia untuk hidup aman dan bermakna. 

Kemudian, Martha Nussbaum, filsuf asal Amerika Serikat juga pernah menegaskan bahwa martabat manusia hanya bisa dijaga jika negara menjamin hak-hak dasar seperti rasa aman, kebebasan berekspresi, dan perlindungan dari kekerasan. 

Di titik simpul pemikiran Sen dan Nussbaum, kita boleh ‘memploklamirkan’ bahwa tanah Papua membutuhkan pendekatan yang berakar pada kemanusiaan, bukan sekadar strategi keamanan. Jika tidak, kita hanya memperpanjang luka dan mengabaikan hak paling mendasar yakni hidup sebagai manusia yang utuh.