Orang Papua Terpinggirkan di Tambang PT Freeport Indonesia

Aktivitas penambangan PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Sumber foto ilustrasi: aa.com.tr / Anadolu Agency

Loading

Maret 2025 kartu akses orang Amungme diblokir dan kontrak kerja orang Kamoro di Mimika dicabut. 

ANAK-anak menatap bingung di honai pegunungan dan befak pesisir. Orang dewasa menelan kepedihan yang membisu. Ibarat luka lama, ulangan baru. Cerita ini berulang kali menimpa karyawan PT Freeport Indonesia (PTFI). 

Kurun waktu 2017–2018, ratusan pekerja Papua pernah bangkit menolak bekerja di area tambang yang rawan longsor dan tercemar tailing. Mereka menuntut keselamatan, menolak perintah berbahaya, menuntut hak sederhana: dihargai sebagai manusia. 

Tapi manajemen perusahaan raksasa menanggapinya sebagai ancaman efisiensi. Kontrak tidak diperpanjang. Sebagian dipecat lalu keluarga-keluarga mereka merasakan guncangan yang sama seperti pemecatan sebelumnya.

Kini, dua puluh satu pekerja muda merasakan deja vu 2017–2018 itu. Surat pemutusan hubungan kerja (PHK) kontrak datang lewat layanan pesan singkat alias short message service (SMS) dan surat elektronik (e-mail), begitu cepat dan dingin. 

Mereka berdiri di depan kantor manajemen PT Freeport Indonesia. Ada asa, harap ada wajah manusia di balik kata “efisiensi” korporasi. Tapi yang ada hanya layar monitor dan suara mesin yang tak pernah berhenti.

Perlahan Menghilang

Marianus, seorang pekerja berusia 28 tahun, masih ingat detik-detik itu dengan jelas. Pagi itu, ia dan teman-temannya menerima email PHK satu per satu Ponsel Marianus bergetar, layar menampilkan kata “efisiensi” sebagai subjek email. 

Marianus merasakan seperti palu yang menohok ulu hatinya. Rekan-rekannya berdatangan, memandang layar ponsel masing-masing, mata berkaca-kaca. Suasana hening. Hanya suara debu tailing tertiup angin dan dentuman jauh shovel.

Seorang karyawan muda mencoba menelpon pihak human resources (HR). Nada dari balik telepon dingin dan hanya satu kata yang terucap dari sana: “efisiensi.”

Mereka berjalan menuju kantor manajemen, langkah berat, debu melekat di sepatu, aroma oli mesin dan logam terasa tajam di hidung. HR menerima mereka satu per satu. 

Tidak ada empati, hanya suara datar: “kontrak selesai.” Kartu akses dicabut, dunia yang mereka kenal —suara shovel, debu tailing, aroma bahan bakar— seketika terasa asing.

Setiap pekerja merasakan detik itu berbeda, tapi rasa sakitnya sama: tubuh di tanah leluhur sendiri, hati diabaikan oleh dunia modern. Mereka hilang. Tanah tetap diambil. Dunia diam.

Suara Honai dan Befak

Di honai, ibu menyiapkan petatas dan keladi untuk sarapan, sesekali menoleh ke anak-anak yang menatap piring mereka dengan mata campur lapar dan takut.

“Mama… papa pergi kerja tapi sekarang tidak ada lagi?” gumam seorang gadis kecil. Ibu menunduk, menahan air mata, menggenggam tangan anaknya. “Kita harus kuat… hidup harus diteruskan,” katanya pelan.

Di befak, pantai yang dulu ramai anak-anak bermain dan nelayan menebar jala kini sepi. Sagu, ikan, dan kepiting bercampur lumpur abu-abu dari tailing. Air sungai kini keruh setiap musim hujan, membawa sisa tambang dan racun yang tak terlihat, namun terasa di tubuh dan kehidupan sehari-hari. 

Anak-anak mulai menderita batuk berkepanjangan, infeksi kulit, dan gangguan pernapasan. Sementara kesehatan menurun, mata pencaharian keluarga pun terguncang; nelayan dan petani sagu kehilangan hasil tangkapan yang dulu menjadi sumber kehidupan.

Tetangga berdatangan, membicarakan nasib 21 pekerja. “Katanya kontraktor asing baru datang dari Eropa, membawa teknologi canggih, tapi pekerja lokal tetap di pinggir jalan,” ujar seorang tetangga dengan tatapan wajah lesu di atas tanah leluhurnya.
“Benar,” jawab Marianus, menatap Sungai Aikwa yang berwarna coklat. “Mereka peduli emas, tembaga, nikel, perak. Tapi tanah, manusia, budaya… tidak ada artinya bagi mereka.”

Seorang anak menggenggam tangan ibunya. “Mama… kalau papa pergi, siapa yang akan menjaga honai kita?” Ibu menunduk, menahan air mata. “Kita harus kuat… hidup harus diteruskan.”

Tambang yang Tak Pernah Tidur

Grasberg bergerak seperti dunia lain. Truk-truk besar melaju menabrak debu, shovel mengangkat batuan oranye dan abu-abu, conveyor belt mengalirkan bijih ke pabrik. Container berlabel perusahaan asing menunggu kapal ke China, Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan Amerika Serikat.

Pekerja lokal tetap sekitar 40 persen berada di garis depan dari total karyawan. Namun, di sisi lain mereka berada di posisi minoritas dalam pengambilan keputusan dan kontrol area tambang di tanah leluhur mereka. 

Tangan mereka kotor debu, kulit mereka menempel lumpur tailing, mata mereka menatap conveyor belt yang bergerak cepat. Kontraktor asing berjalan sambil memeriksa tablet. Bahasa Inggris dan Jerman terdengar tajam di udara yang sama dengan bahasa lokal.

Seorang pekerja muda bertanya pada supervisor asing: “Pak… bijih ini akan ke mana?” “Semua ke pasar global,” jawab supervisor. “Setiap ons emas dihitung untuk laba, tidak peduli dari mana asalnya.”

Pekerja menunduk, menatap tangannya sendiri. “Tapi tanah ini… budaya kami… kenapa kami tidak bagian dari keputusan?” Supervisor tersenyum tipis, lalu pergi. Kekuasaan global menguasai tanah lokal, sementara manusia yang menanam dan bekerja hanya jadi penonton.

Perdagangan Mineral Global

Angka yang jauh dari harapan hidup dalam laporan resmi PTFI, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia atau lembaga perdagangan internasional. Setiap tahun, sekitar 500.000 ton tembaga meninggalkan Grasberg, meluncur ke China, Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan Amerika Serikat. 

Dengan harga rata-rata USD 9.500 per ton (Rp 142.500.000 per ton, kurs Rp 15.000/USD), tembaga itu menjadi angka besar di laporan perdagangan global. Sementara tangan-tangan pekerja lokal tetap berdebu di tanah sendiri.

Nikel dan perak menyeberang ke pasar dunia, sekitar 250.000 ton per tahun menuju China dan India, dimanfaatkan untuk industri elektronik dan energi canggih.

Emas murni, sekitar 2.000 kg per tahun, dijual dengan harga pasar USD 1.950 per ons troy. Satu ons troy emas setara 31,1035 gram. Jadi, USD 1.950 per ons troy ≈ USD 62,7 per gram, atau jika dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp 15.000/USD, menjadi ≈ Rp 940.500 per gram. 

Harga per ons (31,1 gram) setara Rp 29.250.000 per ons, yang berarti setiap gram emas bernilai hampir satu juta rupiah. Bagi Marianus, Karel, dan anak-anak di honai, setiap bijih adalah bagian dari rumah mereka sendiri yang diambil, tanpa suara mereka terdengar karena lidah mereka terlanjur kelu.

Dampak Jangka Panjang

Air Sungai Ajkwa tetap cokelat, berbau, dengan ikan yang jarang muncul. Anak-anak yang bermain di tepi sungai sering batuk, menderita infeksi kulit, dan gangguan pernapasan. Sementara itu, di befak, sagu dan kepiting bercampur lumpur tailing; hasil tangkapan nelayan menurun drastis.

Kesehatan memburuk, pendapatan menurun, dan budaya mulai memudar. Anak-anak tidak lagi belajar dari orang tua di honai, tradisi memancing dan menanam sagu terganggu. Kehilangan pekerjaan 21 pekerja muda bukan hanya kehilangan penghasilan; ini simbol bahwa generasi muda Papua kian terpinggirkan dalam ekonomi tambang modern.

Di satu sisi, kantor Freeport ber-AC, layar menampilkan harga emas, kontrak perdagangan, ekspor ribuan ton mineral. Di sisi lain, honai berasap, befak sepi, anak-anak lapar, sungai tercemar, tanah adat tergerus. Mineral Papua menjadi bagian ekonomi dunia, tetapi manusia lokal tetap minoritas dan menjadi orang asing di atas tanah leluhur sendiri.

Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa, Human Rights Watch, dan Amnesty International menyoroti pelanggaran hak atas tanah adat, diskriminasi pekerja lokal, dan kerusakan lingkungan. Media internasional mengangkat kasus ini sebagai contoh kolonialisme modern di negara global south.

Di honai dan befak, hanya ada debu, asap, dan tangisan anak-anak. Marianus berdiri di tengah honai, menatap anak-anak yang bermain dengan sagu dan lumpur.

“Suatu hari dunia akan melihat ini,” gumamnya. “Tapi hari ini… kita hanya bisa bertahan.” Wautee sayang….  Nimo…! (*)

Willem Bobi

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta