OPINI  

Obor dari Tagineri

Dr Yosua Noak Douw, Douw, S.Sos, M.Si, MA, Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Oleh Yosua Noak Douw

Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua

DI TENGAH diskusi panjang tentang kualitas pendidikan Indonesia, seringkali kita lupa bahwa di wilayah-wilayah paling terpencil, persoalan pendidikan bukan sekadar menyasar kurikulum, urusan membaca dan menulis (literasi) atau hasil asesmen nasional.

Di sana, di pelosok negeri yang dilabeli frasa: gemah ripah loh jinawi, melimpah sumber daya alam, makmur, dan tanah yang subur ada persoalan jauh lebih mendasar semisal apakah anak-anak bisa datang ke sekolah atau tidak. Dalam konteks seperti inilah, kisah Yerry Douw, S.Th, seorang guru dari pedalaman Tagineri, Provinsi Papua Pegunungan, menjadi cermin sekaligus peringatan bagi kita semua.

Kisah perjuangan guru Douw bukan sekadar terkait sosok seorang guru yang mengabdi sepenuh jiwa di daerah terpencil demi masa depan anak didiknya. Lebih jauh dari itu, sosok guru Douw adalah cerita tentang cinta yang paripurna terkait masa depan pendidikan generasinya, tentang keberanian dan tanggung jawab moral-sosial, dan dedikasi tanpa pamrih.

Kisah guru Douw juga terkait keyakinan bahwa pendidikan adalah satu-satunya jembatan masa depan bagi anak-anak tanah Papua. Kisah guru tua yang sudah berpulang asal tanah Meepago (Papua Tengah) sekaligus menempel dalam memori dan dinding batin yang mengingatkan bahwa di balik setiap angka pendidikan nasional, ada sederet manusia yang berprofesi sebagai guru berjuang dan bertaruh waktu, tenaga, sakit yang kerap mendera tetapi setia mengabdi dengan totalitas jiwa demi masa depan anak didiknya.

Fajar yang Menghidupkan

Setiap hari, sebelum matahari menyingsing, guru Yerry sudah bangun dan berdoa untuk murid-muridnya. Pukul empat atau lima pagi waktu Papua, di tengah dingin pegunungan Tagineri, ia menyebut satu per satu nama anak-anak yang pernah ia layani di Nalca, Karubaga, Tagineri hingga Lembah Baliem Wamena. Doa itu bukan rutinitas spiritual, melainkan komitmen moral.

Di banyak tempat lain, guru memulai hari dengan menyiapkan materi pelajaran. Tetapi bagi guru seperti Yerry Douw, membangunkan harapan murid-muridnya dimulai dengan membawa mereka dalam doa. Ia percaya bahwa di tengah keterbatasan fasilitas, medan berat, dan kondisi sosial yang sering tidak mendukung, doa menjadi kekuatan untuk bertahan.

Di Tagineri, dedikasi bukan slogan dalam relung guru Yerry, tetapi napas hidup. Ia menghidupkan kembali sekolah yang tak melakukan aktivitas belajar-mengajar. Ketika dipindahtugaskan ke SD Inpres Porome, Yerry tidak menerima sekolah yang aktif. Ia menerima sebuah sekolah yang lumpuh total: tidak ada murid, tidak ada aktivitas, tidak ada suara tawa anak-anak.

Halaman sekolah ditumbuhi ilalang, pintu kelas berdebu, dan meja kursi membisu tanpa jejak kehidupan. Namun, guru Yerry tidak datang sebagai pejabat baru. Ia datang sebagai seseorang yang percaya bahwa tidak ada tempat yang terlalu gelap bagi sebuah cahaya kecil.

Guru Yerry Douw mengajar enam kelas sekaligus —kelas satu sampai kelas enam. Ia mempersiapkan materi pelajaran setiap malam, membimbing di pagi hari, memotivasi murid di siang hari, dan memberi semangat pada dirinya sendiri ketika rasa putus asa mulai mengintip.

Tetapi ada satu kenyataan pahit: anak-anak tidak datang ke sekolah. Sosok anak didiknya tak tampak bukan karena mereka tidak mau belajar, tetapi karena ditahan orangtua yang menganggap pendidikan tidak penting. Ketidakpercayaan terhadap sekolah sudah menjadi pola turun-temurun. Dan di sinilah perjuangan moral itu dimulai.

Tak Sekadar Ruang Kelas

Selama satu bulan penuh di SD Inpres Porome, guru Yerry Douw berjalan kaki dari kampung ke kampung. Ia berbicara di gereja-gereja, bertemu tokoh adat, mengunjungi tokoh perempuan, berdiskusi dengan pemuda, dan berdialog dengan orang tua.

Kata-katanya tegas, berbalut kecintaan yang bertepi: “Bilamana orang tua menahan anak-anak usia sekolah untuk tidak bersekolah, maka Anda ikut membunuh masa depan mereka di sini. Jika itu terus terjadi, saya tidak akan tinggal diam. Saya akan laporkan ini kepada polisi,” kata guru Yerry Douw.

Pernyataan ini mengguncang masyarakat Tagineri. Itu bukan ancaman, melainkan jeritan moral seorang guru yang melihat masa depan anak-anak tergantung pada pilihan orang dewasa.

Ketegasan guru Yerry berbuah manis. Pihak gereja mulai mendukung langkahnya, tokoh adat mulai saling mendorong agar anak-anak mereka rajin ke sekolah, dan tokoh perempuan mulai bergerak dari rumah ke rumah. Para pemuda mulai mengajak adik-adik mereka kembali ke kelas. Lalu obor pendidikan terus bersinar, perubahan mulai terjadi.

Dari tidak ada murid, kini datang beberapa. Dari beberapa, menjadi puluhan. SD Inpres Porome —yang sebelumnya mati— kini hidup kembali. Obor pengetahuan itu menyala lagi.

Kisah guru kecil Yerry Douw dari pelosok Tagineri kala itu bukan sekadar inspirasi tentang dunia pendidikan. Kisah ini juga adalah semacam sentilan, teguran bagi bangsa yang sering lupa bahwa pendidikan di daerah terpencil membutuhkan lebih dari sekadar dana dan regulasi. Mengapa?

Pertama, perubahan besar selalu dimulai dari dari hal-hal kecil dan orang-orang bersahaja. Di tengah dunia yang memuja popularitas, cara kecil yang diambil Yerry menunjukkan bahwa pengaruh terbesar sering lahir dari hati yang paling tulus. Ia mengingatkan kita bahwa seorang guru bisa menjadi penggerak sosial yang sangat kuat.

Kedua, masa depan tidak ditentukan oleh lokasi tetapi cinta yang lahir dari lubuk hati terdalam, kerja keras, dan ketekunan. Tagineri adalah wilayah terpencil. Namun, kisah besar justru lahir dari tempat terpencil itu. Artinya, kualitas pendidikan tidak selalu ditentukan oleh gedung megah, tetapi oleh komitmen dan semangat.

Ketiga, doa dan kerja nyata harus seiring sejalan dalam ziarah pengabdian semisal di bidang Pendidikan ala guru Yerry Douw. Yerry memulai hari dengan doa, tetapi mengakhiri hari dengan kerja keras. Inilah keseimbangan yang jarang ditemukan: spiritualitas dan etos kerja yang berjalan dalam harmoni.

Keempat, ketulusan lebih penting dari jabatan. Di tengah generasi yang mengejar gelar, Yerry membuktikan bahwa kesetiaan melayani jauh lebih bernilai. Gelar tidak membuat seseorang berdampak; ketulusanlah yang mengubah dunia.

Kelima, pendidikan tidak dapat berjalan parsial atau tanpa bdukungan orang tua dan para pihak, stekholders.

Sebagus apa pun guru dan sekolah, jika orang tua tidak meyakini pentingnya pendidikan, maka masa depan anak-anak akan terputus di rumah. Perubahan sosial selalu dimulai dari keluarga. Keluarga menjadi basis utama dan terpenting dalam keseluruhan proses Pendidikan anak-anak.

 Pesan Moral Tagineri

Secuil kisah Yerry Douw dari Tagineri tentu juga menjadi pesan dan kisah inspiratif ihwal makna dan esensi pendidikan. Pesan Tagineri juga memberikan semangat bagi guru-guru di seluruh negeri—terutama mereka yang bekerja di daerah terpencil, menyusuri medan sulit, menghadapi tantangan sosial, dan kadang harus menjadi guru sekaligus orang tua, motivator, penyemangat, bahkan pelindung bagi murid-muridnya.

Guru adalah panglima perubahan sosial. Setiap huruf yang mereka ajarkan adalah fondasi masa depan bangsa. Ketika seorang guru berjuang, sesungguhnya ia sedang menulis sejarah. Tatkala seorang guru berjuang demi masa depan anak didiknya, di sana ada seruan moral untuk kita semua yang mencintai pendidikan.

Bangsa yang besar bukan hanya dibangun oleh pemimpin yang hebat, tetapi oleh masyarakat yang mencintai pendidikan. Ketika orang tua menahan anaknya untuk pergi ke sekolah, sesungguhnya ia sedang menutup bahkan memadamkan obor bagi masa depan anak-anaknya di rumah sendiri.

Pendidikan tidak akan berhasil jika hanya menjadi urusan guru. Pendidikan berhasil bila menjadi urusan bersama: pemerintah, gereja, tokoh adat, pemuda, dan terutama keluarga.

Kita tidak harus menjadi guru untuk menginspirasi. Kita hanya perlu menjadi manusia yang bekerja tulus, setia pada panggilan, peduli pada generasi berikutnya, dan berani melangkah ketika orang lain memilih diam. Kisah guru Yerry Douw yang sudah berpulang ke rumah-Nya adalah pengingat bahwa perubahan tidak selalu datang dari pusat kota.

Kadang, perubahan itu datang dari sebuah honai kecil, dari sebuah sekolah terpencil, dari seseorang yang percaya bahwa setiap anak Papua —setiap anak Indonesia— berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik. Selama ada satu sosok guru seperti Yerry Douw dari Tagineri tempo doeloe, obor pengetahuan itu tidak akan pernah padam.

Selamat Hari Guru Nasional tahun 2025. Selamat Hari Guru untuk guru Yerry Douw dan semua guru yang telah berpulang di tanah Papua dan seluruh pelosok nusantara.