KISRUH kepemimpinan Nahdlatul Ulama mencapai titik paling genting pada 9 Desember 2025, ketika Rapat Pleno PBNU kubu Syuriyah di Hotel Sultan menunjuk KH Zulfa Mustofa sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU. DariKramat Raya, Gus Yahya Cholil Staquf segera menolak keputusan itu sebagai langkah inkonstitusional. Dualisme kepemimpinan pun lahir, meretakkan otoritas organisasi Islam terbesar di Indonesia dan mengguncang kepercayaan jamaah.
Benih krisis ini muncul lebih awal. Ketegangan mulai meningkat ketika Peter Berkowitz, akademisi Amerika yang dikenal membela Israel dan agenda Zionisme, diundang berbicara dalam program AKN NU di Jakarta. Di tengah luka Palestina yang belum kering, memberi panggung kepada tokoh pendukung Isarel dianggap sebagai kesalahan moral yang serius. Banyak nahdliyin melihat keputusan itu sebagai tanda bahwa kepemimpinan PBNU telah kehilangan kepekaan etis.
Namun isu Zionisme hanyalah pintu masuk menuju persoalan yang lebih gelap. Di balik perpecahan, terdapat dugaan keras mengenai perebutan akses terhadap konsesi tambang dan peluang ekonomi strategis. Pembicaraan mengenai kerja sama bisnis yang mengatasnamakan NU semakin sering terdengar. Ketika jabatan ketua berubah menjadi posisi strategis dalam percaturan ekonomi, maka konflik kepemimpinan tak lagi mencerminkan perbedaan prinsip, tetapi perebutan kendali atas sumber daya besar.
Keraguan publik semakin kuat karena absennya transparansi keuangan dalam tubuh PBNU. Tidak ada laporan audit independen yang diumumkan, tidak ada penjelasan mengenai aliran dana dari program nasional maupun bantuan internasional. Dalam kondisi kepemimpinan yang terbelah, gelapnya pengelolaan keuangan menjadi ancaman serius. Tanpa akuntabilitas, organisasi sebesar NU bisa terseret pada penyalahgunaan yang sulit dipertanggungjawabkan.
Ketika integritas moral melemah, celah penyimpangan semakin lebar. NU, yang selama ini menjadi benteng etika publik, tampak rapuh menghadapi tarikan kepentingan politik dan ekonomi. Perpecahan internal membuka ruang bagi aktor eksternal untuk menunggangi konflik. Instabilitas yang terjadi bukan hanya persoalan internal organisasi, tetapi dapat merembet ke ruang publik dan mengganggu stabilitas nasional.
Kini Zulfa Mustofa menggerakkan konsolidasi dari Hotel Sultan, sementara Gus Yahya mempertahankan Kramat Raya. Dua kantor, dua legitimasi, dan dua poros komando menempatkan NU pada situasi paling berbahaya dalam beberapa dekade. Dalam keadaan seperti ini, pertanyaan-pertanyaan mendesak pun muncul: Ke mana PBNU akan diarahkan dengan adanya dua otoritas yang saling menegasikan? Siapa sebenarnya yang mengatur agenda di balik perebutan kursi? Apakah moralitas organisasi masih menjadi kompas, ataukah telah digantikan oleh kepentingan ekonomi dan politik?
Pertanyaan yang lebih dalam perlu diajukan: sanggupkah PBNU keluar dari pusaran ini dengan wibawa yang utuh? Mampukah struktur keulamaan kembali memegang kendali, atau justru akan terseret lebih jauh oleh kekuatan yang bekerja di luar terang mata publik? Dan pada akhirnya, apa makna kepemimpinan ulama jika organisasi tempat mereka berdiri tidak lagi mampu menjaga marwah, tatanan, dan kepercayaan jamaah? (Editor)










