OPINI  

Rekayasa Nekropolitik dalam Modernitas Kolonial Pemukiman di Papua

Rahma Hairunnisa Regita Putri, mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta. Foto: Istimewa 

Loading

Oleh Rahma Hairunnisa Regita Putri

Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta

PROYEK Jalan Trans-Papua yang sering dipromosikan oleh negara sebagai simbol pemersatu dan kemajuan ternyata menyembunyikan realitas yang jauh lebih kompleks dan kelam.

Infrastruktur tersebut bukanlah entitas netral, melainkan sebuah teknologi politik yang secara sistematis mengubah ruang hidup Papua menjadi medan kematian yang dikelola.

Dalam tulisan ini, jalan raya dipahami sebagai manifestasi kekerasan struktural dan simbol dari rekayasa kekuasaan yang memproduksi penderitaan dalam bentuk paling halus namun sistematis.

Dengan mengintegrasikan teori necropolitics dari Achille Mbembe, ekologi politik sebagaimana dirumuskan oleh Nancy Peluso, serta studi kolonialisme pemukim menurut Patrick Wolfe, tulisan ini mengeksplorasi bagaimana aspal, bulldozer, dan batalyon zeni mereproduksi logika penghapusan masyarakat adat Papua di bawah wajah modernisasi dan pembangunan nasional.

Genealogi Kekerasan Spasial

Infrastruktur jalan di Papua memiliki jejak kekerasan yang panjang. Pada masa kolonial Belanda antara 1920 hingga 1960, jalan dibangun untuk kepentingan ekstraksi sumber daya alam serta memobilisasi tenaga kerja paksa.

Ketika memasuki era Orde Baru, rezim Soeharto melanjutkan logika tersebut dengan pendekatan militeristik, mengubah jaringan jalan menjadi perangkat dari kompleks militer-teritorial untuk mengamankan aset seperti Freeport serta menekan gerakan perlawanan Papua.

Proyek Trans-Papua yang dimulai secara masif pada 2014 hingga sekarang menjadi kelanjutan dari warisan kolonial ini dengan skala yang jauh lebih luas. Panjang jalan mencapai lebih dari 4.300 kilometer, membelah jantung noken adat, menyambungkan pos militer, membuka jalan bagi perusahaan kelapa sawit dan tambang-tambang baru.

Arsip sejarah menunjukkan bahwa pembangunan jalan tidak pernah netral, melainkan anak kandung dari pendudukan dan kekerasan yang terus diperbarui. Trans-Papua highway bekerja dalam tiga mekanisme utama yang saling terkait.

Pertama, jalan menjadi sarana militerisasi logistik. Ia berfungsi sebagai arteri perang yang mempercepat mobilisasi personil dan persenjataan ke wilayah yang dianggap sebagai basis perlawanan.

Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam operasi militer di sepanjang koridor jalan antara tahun 2020 hingga 2024, menjadikan desa-desa adat sebagai zona kontak bersenjata.

Kedua, jalan memfasilitasi ekstraksi akumulatif. Pembangunan infrastruktur membuka hutan adat bagi investasi sawit dan tambang. Di Boven Digoel, misalnya, sekitar 1,2 juta hektar tanah ulayat dirambah setelah akses jalan dibuka. Bagi masyarakat Kamuu, ini berarti mematikan sungai dan memutus relasi dengan nenek moyang mereka.

Ketiga, jalan menciptakan fragmentasi ontologis. Pembangunan jalan memotong lanskap sakral, merusak sistem sasi sebagai pranata adat pengelolaan sumber daya, dan memutus hubungan manusia dengan non-manusia. Etnografi di Pegunungan Arfak menunjukkan hilangnya ritual wor, yakni perburuan kasuari, akibat kebisingan mesin dan hilangnya jalur migrasi fauna.

Dampak Ontologis

Bagi masyarakat adat Papua, hutan bukan sekadar sumber daya, tetapi entitas yang hidup dan berjiwa. Jalan Trans-Papua telah merusak kosmologi relasional ini. Sungai-sungai sakral seperti Fly dan Digul mengalami pencemaran karena sedimentasi proyek, yang turut mengakhiri siklus spiritual yai-iwak atau penghormatan kepada roh air.

Pohon sagu yang menjadi sumber kehidupan, identitas, dan transmisi budaya, dibuldoser untuk pembukaan ruang militer. Ini berimplikasi langsung pada hilangnya pengetahuan perempuan Tehit tentang pengolahan papeda sebagai warisan kuliner dan spiritual. Bahkan suara mesin menggantikan nyanyian honai, mengikis memori kolektif yang selama ini disimpan dalam struktur bunyi alam.

Masyarakat Papua tidak tinggal diam menghadapi kekerasan ini. Mereka membangun bentuk perlawanan yang tidak selalu eksplisit, tetapi sangat strategis. Di Yahukimo, suku Yali secara sengaja merusak jembatan sambil menyanyikan yawi nakal, sebuah mantra adat yang menjadi bentuk pemulihan kosmik menurut logika lokal, meskipun dianggap sebagai vandalisme oleh negara.

LSM lokal seperti Jasoil Tanah Papua mengembangkan peta tanding dalam bentuk atlas digital yang menampilkan batas ulayat, situs sakral, dan zona yang terdampak ekosida. Ini menjadi tandingan terhadap narasi peta resmi milik negara.

Selain itu, aktivis Papua menginternasionalisasi isu ini dengan membawa kasus Trans-Papua ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC), menyebutnya sebagai tindakan ekosida dan genosida kultural.

Proyek Trans-Papua bukanlah semata-mata pembangunan infrastruktur, melainkan bentuk mutakhir dari pemerintahan necropolitik abad ke-21. Ia adalah teknologi negara yang mengubah tubuh, hutan, dan sungai menjadi zona pengorbanan bagi kepentingan akumulasi modal dan keamanan nasional.

Solusi tidak dapat ditemukan melalui perbaikan teknis, melainkan melalui dekolonisasi radikal. Ini berarti mengembalikan otoritas tata ruang kepada masyarakat adat, menghapus dominasi militer dalam wilayah sipil, dan mengakui Papua sebagai entitas politik yang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri.

Studi tentang Papua tidak lagi bisa direduksi sebagai kajian etnografis atas masyarakat minoritas, tetapi harus dilihat sebagai refleksi paling jernih tentang keretakan dalam modernitas Indonesia —yakni sebuah proyek nasional yang dibangun di atas penghapusan epistemologi pribumi.

Kasus Papua memberikan perspektif kritis terhadap proyek infrastruktur di zona konflik global lainnya. Kita dapat melihat paralel dengan jalan BR-319 di Amazon Brasil yang menghancurkan komunitas Yanomami, Tembok pemisah Israel di Palestina yang memecah-belah komunitas atau pembangunan Dakota Access Pipeline di tanah suku Standing Rock Sioux di Amerika Serikat.

Dalam semua kasus ini, infrastruktur berfungsi sebagai senjata perang modern lebih senyap daripada peluru, tetapi lebih mematikan dalam jangka panjang.