NEGARA yang beradab tidak pernah gentar pada pikiran warganya. Justru dari keberanian mendengar, berdialog, dan berdebatlah peradaban tumbuh. Namun di Indonesia, pikiran warga sering dianggap bahaya laten yang harus dibungkam. Pemerintah tampak lebih nyaman hidup dalam keheningan yang dibuat-buat daripada menghadapi suara jujur rakyatnya. Buku-buku disita, media dibredel, diskusi ilmiah dibubarkan, demonstrasi dikriminalisasi, dan kritik dibungkam atas nama stabilitas. Ini bukan tanda kekuatan negara—ini tanda ketakutan.
Pemerintah yang takut pada pikiran rakyat sejatinya tidak percaya pada dirinya sendiri. Ia gamang atas legitimasi kekuasaan, ragu pada kecerdasan publik, dan panik ketika kebenaran mulai menyingkap kebusukan. Maka kekuasaan bersembunyi di balik dalih moral, hukum, dan keamanan; padahal yang sesungguhnya dijaga bukan bangsa, melainkan kepentingan segelintir orang yang sedang berkuasa.
Sejarah Indonesia penuh dengan pola pengkhianatan terhadap kebebasan berpikir. Dari zaman kolonial hingga era demokrasi, buku selalu menjadi musuh, ide selalu diawasi, dan suara kritis selalu dicurigai. Dulu, karya Pramoedya Ananta Toer dibakar karena dianggap mengganggu ketertiban. Kini, buku tentang Papua, sosialisme, Islam progresif, atau sejarah kritis bangsa kembali diburu aparat. Rezim boleh berganti, tetapi ketakutan terhadap pikiran tetap lestari.
Ketakutan itu kini merembes ke kampus, ke ruang redaksi, hingga ke media sosial. Diskusi mahasiswa dibubarkan dengan alasan “rawan mengganggu stabilitas”. Jurnalis diintimidasi karena menulis apa adanya. Aksi damai diberangus, kritik dilabeli “provokasi” atau “ujaran kebencian”. Negara ingin rakyat berpikir sama, berbicara sama, dan diam serempak saat kekuasaan berbuat salah. Demokrasi yang mestinya menjadi rumah bagi kebebasan kini berubah menjadi kandang bagi kepatuhan.
Padahal, pikiran kritis adalah oksigen demokrasi. Tanpa kebebasan berpikir, bangsa ini akan mati perlahan dalam kepalsuan yang terpelihara. Pemerintah yang benar tidak menakuti pikiran, melainkan menantangnya dengan argumentasi dan keteladanan. Karena kekuasaan yang takut pada pikiran rakyatnya sesungguhnya sedang menggali kuburnya sendiri—pelan tapi pasti. Sebab kebenaran selalu menemukan jalan untuk berbicara, bahkan di tengah kebisuan yang dipaksakan. (Editor)