Negara Absen, Yesus Hadir

Ketika Negara Absen, Yesus Hadir. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

Di Tanah Papua, pengungsian bukan peristiwa sesaat. Ia adalah luka yang berulang, sunyi, dan terlalu lama dibiarkan. Konflik bersenjata antara TNI–Polri dan TPN–OPM telah memaksa ribuan warga sipil meninggalkan kampung halaman mereka: mama-mama dengan anak di gendongan, orang tua yang berjalan tertatih, anak-anak yang tumbuh tanpa rasa aman. Mereka hidup di hutan, di gereja-gereja darurat, di rumah kerabat, tanpa kepastian, tanpa perlindungan memadai. Ironisnya, di negeri yang mengaku menjunjung tinggi kemanusiaan, negara justru tampak tidak hadir.

Ketika bencana alam melanda wilayah lain di Indonesia—gempa, banjir, atau erupsi gunung api—negara bergerak cepat. Presiden datang, menteri turun ke lapangan, bantuan logistik mengalir, media nasional memberi sorotan luas. Negara hadir dengan wajah kemanusiaan. Namun, ketika pengungsian terjadi di Papua akibat konflik bersenjata, respons negara menjadi lamban, setengah hati, bahkan nyaris tak terlihat. Tidak ada status darurat nasional, tidak ada penanganan serius yang berkelanjutan, tidak ada jaminan hidup layak bagi para pengungsi. Di sini, keadilan terasa timpang, kemanusiaan terasa bersyarat.

Negara seharusnya berdiri netral di hadapan penderitaan warga sipil. Anak-anak Papua yang kelaparan di pengungsian tidak bersalah. Mereka bukan kombatan, bukan ancaman keamanan. Mereka adalah warga negara Indonesia yang hak-haknya dijamin konstitusi. Ketika negara memilih lebih sibuk dengan pendekatan keamanan ketimbang penyelamatan nyawa dan martabat manusia, maka yang terjadi bukan penegakan kedaulatan, melainkan pengabaian kemanusiaan. Kekerasan yang dibiarkan berlarut tanpa solusi politik dan kemanusiaan yang adil hanya akan melahirkan trauma antargenerasi.

Di tengah absennya negara, gereja dan masyarakat sipil sering kali menjadi satu-satunya sandaran. Para pastor, pendeta, relawan, dan warga biasa berbagi makanan seadanya, membuka pintu rumah, dan merawat mereka yang terluka. Pada masa Natal ini, kisah kelahiran Yesus di kandang yang sederhana menemukan relevansinya kembali. Yesus lahir bukan di istana, melainkan di tempat yang terpinggirkan. Ia hadir di tengah mereka yang ditolak, yang disingkirkan, yang tak dianggap. Ketika negara absen dari Papua, Yesus justru hadir dalam wajah para pengungsi yang menderita.

Natal seharusnya menjadi cermin bagi nurani bangsa ini. Damai di bumi bukan sekadar slogan liturgis, melainkan panggilan moral untuk bertindak. Negara tidak boleh terus bersembunyi di balik narasi keamanan sambil menutup mata terhadap penderitaan warganya sendiri. Mengakhiri pengungsian di Papua bukan hanya soal logistik, tetapi soal keberanian politik untuk menempatkan kemanusiaan di atas senjata. Jika negara sungguh ingin dihormati, maka kehadirannya harus dirasakan oleh mereka yang paling menderita.

Di Tanah Papua hari ini, negara mungkin absen. Tetapi harapan tidak sepenuhnya padam. Selama masih ada solidaritas, iman, dan keberanian untuk bersuara, Yesus tetap hadir—menguatkan mereka yang terluka dan mengingatkan kita semua bahwa kemanusiaan tidak boleh dikalahkan oleh kekuasaan. Natal tanpa keadilan adalah hampa. Dan bangsa tanpa keberpihakan pada yang lemah sedang kehilangan jiwanya. (Editor)