Oleh Yakobus Dumupa
Warga asli Papua, tinggal di Nabire, Papua Tengah
DIALOG antara Jakarta dan Papua adalah topik yang sering dibicarakan, baik di kalangan masyarakat Indonesia maupun internasional, sebagai salah satu solusi untuk meredakan ketegangan yang telah berlangsung selama lebih dari lima dekade.
Papua, dengan segala kekayaan alam dan budaya yang dimilikinya, terus menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi. Meskipun ada berbagai upaya untuk mencapai perdamaian dan kesejahteraan, dialog antara pemerintah pusat di Jakarta dan masyarakat Papua, termasuk kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan, tetap menjadi isu yang sangat sensitif.
Namun, mengapa dialog Jakarta-Papua ini begitu sulit dilaksanakan? Apa yang menyebabkan ketakutan, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat Papua, terhadap dialog yang seharusnya menjadi sarana untuk mencari solusi bersama?
Sejarah Konflik dan Ketidakpercayaan yang Mendalam
Sejak Papua bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, hubungan antara Jakarta dan Papua tidak pernah benar-benar harmonis. Proses integrasi tersebut dipandang oleh banyak pihak, terutama kelompok pro-kemerdekaan Papua, sebagai tidak adil dan cacat hukum.
Ketidakpercayaan antara masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia terus berkembang sejak saat itu. Bagi sebagian besar masyarakat Papua, integrasi dengan Indonesia tidak menguntungkan mereka secara sosial, ekonomi, maupun politik.
Meskipun Papua telah diberi status Otonomi Khusus (Otsus) pada 2001 untuk memberikan lebih banyak kewenangan kepada pemerintah daerah, banyak yang merasa bahwa kebijakan tersebut hanya menghasilkan keuntungan bagi elit-elit politik dan bisnis, sementara masyarakat adat Papua tetap terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan.
Ketidaksetaraan ini memperburuk rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat, yang terus dianggap mengabaikan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Hal ini semakin diperburuk oleh pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan selama bertahun-tahun, baik dalam bentuk tindakan kekerasan, penindasan, maupun diskriminasi rasial terhadap masyarakat Papua.
Oleh karena itu, dari perspektif masyarakat Papua, dialog dengan Jakarta dianggap sebagai sesuatu yang tidak akan memberikan hasil yang memadai, terutama jika tidak ada perubahan yang mendasar dalam kebijakan dan pengakuan terhadap hak-hak mereka.
Pemerintah Jakarta: Ketakutan Akan Perebutan Kedaulatan
Bagi pemerintah Indonesia, dialog dengan Papua merupakan tantangan besar karena potensi perpecahan yang bisa ditimbulkan. Dialog yang terbuka dengan kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua bisa dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap tuntutan kemerdekaan yang selama ini mereka ajukan.
Pemerintah takut bahwa membuka dialog bisa memberi legitimasi pada gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia.
Ada juga kekhawatiran bahwa memberikan ruang bagi diskusi tentang penentuan nasib sendiri akan membuka jalan bagi daerah lain di Indonesia untuk menuntut kemerdekaan atau otonomi yang lebih luas.
Mengingat kompleksitas politik Indonesia yang sangat heterogen, dengan banyak kelompok etnis dan agama yang berbeda, membuka pembicaraan mengenai kemerdekaan Papua bisa memicu tuntutan serupa dari wilayah-wilayah lain. Ini akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, ketakutan pemerintah Jakarta juga berakar dari pendekatan militeristik yang telah digunakan selama ini untuk mengatasi perlawanan di Papua. Pendekatan ini sering kali dianggap sebagai salah satu penyebab utama ketegangan yang ada, namun justru memperburuk situasi.
Pemerintah Indonesia tidak ingin dianggap lemah atau memberikan konsesi politik kepada kelompok separatis yang dianggap mengancam stabilitas nasional.
Papua: Ketakutan Akan Janji yang Tidak Terpenuhi
Bagi masyarakat Papua, dialog dengan Jakarta juga sering dipandang dengan skeptisisme. Papua telah lama menjadi bagian dari Indonesia, tetapi kenyataan yang mereka hadapi sangat berbeda dari janji-janji yang pernah disampaikan oleh pemerintah pusat.
Otonomi Khusus (Otsus), yang seharusnya memberikan kebebasan lebih bagi Papua untuk mengatur urusannya sendiri, banyak dianggap sebagai kebijakan yang gagal. Dana Otsus yang dialokasikan ke Papua sering kali tidak dikelola dengan baik, dan hasilnya tidak terlihat dalam bentuk pembangunan yang nyata bagi masyarakat.
Selain itu, janji-janji lain yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia terkait kesejahteraan masyarakat Papua, pengakuan terhadap hak-hak adat, dan penghormatan terhadap keberagaman budaya sering kali tidak terealisasi. Ketidakadilan ekonomi, kemiskinan yang meluas, serta kurangnya akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, membuat masyarakat Papua merasa terpinggirkan dan tidak dihargai.
Oleh karena itu, banyak orang Papua merasa bahwa dialog dengan Jakarta hanya akan menjadi sarana untuk pengalihan isu dan pemeliharaan status quo, bukan solusi yang nyata.
Beberapa kelompok pro-kemerdekaan seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), bahkan menilai bahwa dialog dengan Jakarta adalah upaya untuk memperpanjang dominasi Indonesia atas Papua, tanpa adanya keinginan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan akar permasalahan yang ada.
Bagi mereka, dialog hanya akan menjadi sebuah ilusi yang mengarah pada pengakuan ketidakadilan struktural yang sudah terjadi selama bertahun-tahun.
Pemikiran Nasionalisme dan Politik Identitas
Dialog Jakarta-Papua juga terhambat oleh politik identitas yang kerap muncul di kedua belah pihak. Pemerintah pusat sering kali melihat Papua melalui lensa nasionalisme Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan negara.
Papua dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, dan upaya untuk membuka dialog tentang status politik Papua sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan negara.
Di sisi lain, bagi sebagian besar masyarakat Papua, mereka melihat identitas mereka sebagai bangsa yang terpisah dengan budaya, bahasa, dan sejarah yang berbeda dari mayoritas Indonesia. Papua tidak hanya dilihat sebagai bagian dari Indonesia, tetapi sebagai wilayah dengan keberagaman sosial dan budaya yang khas.
Tuntutan mereka untuk menentukan nasib sendiri sering kali diartikan sebagai perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap menindas dan tidak menghormati hak-hak lokal mereka.
Ketika politik identitas ini bercampur dengan narasi separatisme, maka dialog menjadi semakin sulit dilakukan. Setiap pihak merasa terancam dan sulit untuk menemukan titik temu.
Akhirnya, Mengapa Takut Dialog Jakarta-Papua?
Ada banyak alasan mengapa dialog Jakarta-Papua menjadi sesuatu yang begitu sulit untuk direalisasikan. Ketakutan dari kedua belah pihak —pemerintah Indonesia yang khawatir akan ancaman integritas negara, dan masyarakat Papua yang meragukan keinginan Jakarta untuk memberikan keadilan dan pengakuan terhadap hak mereka— merupakan hambatan utama.
Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa dialog adalah jalan yang lebih baik daripada melanjutkan siklus kekerasan, ketidakadilan, dan penindasan. Jika pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua bisa melewati ketakutan-ketakutan ini dan membuka hati untuk saling mendengarkan, mungkin saja akan ada jalan keluar yang lebih damai dan adil.
Menghentikan ketakutan akan perpecahan dan memulai percakapan yang terbuka bisa membuka peluang untuk mencari solusi yang lebih baik bagi masa depan Papua dan Indonesia secara keseluruhan.
Penting untuk diingat bahwa dialog bukanlah tentang menyerah pada satu pihak, tetapi tentang menemukan kesepakatan bersama yang dapat mengarah pada perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan. Meskipun sulit, bukan berarti mustahil.
Dialog Jakarta-Papua tidak harus selalu tentang kemerdekaan atau perpisahan, tetapi bisa juga berfokus pada pembangunan, penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, penghargaan terhadap hak-hak adat, dan penyelesaian ketimpangan sosial ekonomi yang selama ini mendera masyarakat Papua.